[Nasional-m] Bela Hak Dianggap Kriminal

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 22:00:51 2002


Sriwijaya Pos
Kamis,  26 September 2002

Bela Hak Dianggap Kriminal

AKSI para petani dalam memperjuangkan haknya sering dipandang pihak keamanan
sebagai tindakan melawan hukum. Bahkan seringkali dianggap kriminal. Bagi
kaum tani, tindakan demikian adalah usaha-usaha untuk mematahkan perjuangan
petani sehingga tidak ada lagi petani yang berani menyuarakan kebenaran akan
haknya sebagai seorang petani.
Hal ini diungkapkan salah seorang petani dari Ogan Komering Ulu (OKU) Tamsi.
Menurut Tamsi, pihaknya beberapa kali mengadukan persoalan sengketa lahan,
tetapi tidak pernah ditanggapi. Malah dianggap sebagai pengganggu keamanan.
Tidak jarang para pentolan-pentolan petani itu ditangkapi.
Kasus yang sempat mencuat adalah ditangkapnya petani bernama Subowo karena
dituduh pencuri kelapa sawit. Padahal, kata Subowo, dirinya disuruh panen
oleh Gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad.
Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang Daby K Gumayra, SH
mengaku kalau aksi-aksi yang digerakkan petani dianggap mengganggu
stabilitas keamanan. Ia mengibaratkan konflik pertanahan ini seperti gunung
es saja. Tingginya konflik lahan petani berhadapan dengan investor,
dipandang beriringan dengan tingginya tingkat kriminalitas.
Proses kriminalisasi ini terus berlangsung. Bahkan, tidak jarang
petani-petani yang membangkang dan dianggap melawan, ditindak tegas. Ini
seolah sebuah skenario yang tersusun dengan rapi.
“Memindahkan wilayah konflik ke wilayah kriminalitas, pentolan aktivis
petani pun seolah ditenderkan,” alumni Kelompok Pecinta Alam Wigmam Unsri
ini mengibaratkan.
Parahnya lagi dengan konflik lahan petani yang tidak diselesaikan secara
tuntas. Jalan keluar yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
kerapkali tidak menyentuh akar masalah. Bahkan lewat jalur Kredit Koperasi
Primer Anggota (KKPA), out put-nya tetap tumpang tindih. Petani seringkali
merasa tidak memiliki lahan.
“KKPA tidak jauh beda dengan jargon Perkebunan Inti Rakyat (PIR) pada zaman
Orde Baru,” tegas alumnus Fakultas Hukum Unsri Palembang.
Modus operandi kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh pejuang petani sangat rapi
dan terorganisir. Ketua Divisi Hak-Hak Petani Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Palembang DD Shineba mengatakan, minimal ada tiga faktor yang berperan dalam
proses kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh pejuang petani yaitu pengusaha
perkebunan, kepolisian dan kejaksaan. Hal ini merupakan potret buram
terhadap masyarakat petani, yang menjadi buruh harian di
perkebunan-perkebuan besar di seluruh Indonesia.
Di Sumsel, dari Januari 2001 sampai dengan September 2002 telah 45 orang
petani yang ditangkap. Dan para petani ini merupakan pemimpin dari
organisasi-organisasi petani lokal (OTL). Kejahatan terhadap para OTL ini
bisa disebut kejahatan non konvesional.
Kalau Pemerintah Provinsi (Pemprop) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
memiliki niat baik untuk menyelesaikan konflik tanah, segera membentuk tim
bertugas mereformasi aturan agraria. Untuk ketegasan saja, persoalan
sengketa lahan tidak selesai hanya cukup dengan ganti rugi belaka.
“Sepertinya persoalan ini tidak populer di mata Gubernur Rosihan,” katanya
seraya menegaskan tidak populernya kasus-kasus agraria lebih disebabkan
karena pemerintah masih memegang paradigma kekuasaan.
Staf Divisi Hak-Hak Petani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang Hendro
Setiawan mengatakan, tidak selesainya kasus agraria karena Pemerintah
memandang diskriminasi terhadap petani sehingga kerapkali konflik horizontal
terjadi.
Dalam catatan LBH Palembang, sampai dengan September 2002 terjadi sengketa
lahan seluas 201.171,08 Ha dengan jumlah korban 57.644 Kepala Keluarga (KK).
Sengketa ini berupa pengambilalihan hak atas tanah, baik itu pemilikan,
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan.
Beberapa mekanisme penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh Pemerintah
Daerah adalah dengan menggunakan pola kemitraan seperti Mengelola Hutan
Bersama Masyarakat (MHBM), Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dan Inti
Plasma. Akan tetapi pola kemitraan tersebut di beberapa tempat tidak
direspon oleh kaum tani yang tetap menginginkan tanahnya kembali. (syh)