[Nasional-m] Negeri Ini seperti Mobil Bobrok

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Sep 29 00:12:01 2002


Suara Merdeka
Minggu, 29 September 2002

Djaduk Ferianto
Negeri Ini seperti Mobil Bobrok

SM/dok

DJADUK Ferianto lahir di Yogyakarta, 19 Juli 1964. Tak lulus dari Fakultas
Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta, dia malah suntuk sebagai pemusik. Kini
di samping aktif sebagai Art Director of Music ''Pasar Rakyat 76'' di
Indosiar, dia memimpin Kua Etnika, Orkes Melayu Banter Banget, dan Orkes
Sinten Remen. Apa komentar pria yang senantiasa ingin menghasilkan musik
berkualitas itu tentang industri dunia pertunjukan? Berikut wawancara
dengannya.
Kesenian Anda kian bersifat komunal, mudah dimengerti, dan sangat dekat
dengan publik. Mengapa berbeda dari musik Anda terdahulu yang cenderung
personal?
O, konteksnya telah berbeda. Di Kua Etnika, terutama pada nomor-nomor
''kontemporer'' yang menggunakan elemen-elemen tradisi memang penikmatnya
sangat segmented. Itu memang sesuatu yang tak terhindarkan lantaran konteks
dan kebutuhannya memang berbeda.
Kini persoalannya menjadi lain. Pentas rakyat yang kami kerjakan saat ini
berangkat dari konsep pasar rakyat. Sebuah konsep yang memungkinkan
pemunculan ruang yang mendudukkan semua hal dalam posisi sama atau egaliter.
Awalnya memang bertolak dari Djarum 76 yang ingin melahirkan image baru.
Bersama dengan cerpenis Agus Noor, Butet, dan kawan lain, saya lantas
memunculkan pertunjukan yang paling pas. Pada mulanya memang bukan sebuah
pasar malam sebagaimana yang disaksikan di televisi.
Saat mendapatkan order, kebetulan kami sedang membikin klip di arena pasar
malam Alun-alun Jogja. Kemudian ide itu dikembangkan menjadi pertunjukan
yang ada di ''Pasar Rakayat 76'' itu.
Jelas berbeda dari Kua Etnika. Itu warnanya Orkes Sinten Remen. Di Kua
Etnika lebih banyak komposisi etnik, sedangkan di Sinten Remen lebih
terfokus kepada komposisi umum. Meski demikian, keduanya berpijak pada
komunikasi. Saya tidak meninggalkan komunikasi.
Anda seperti sedang membidik sesuatu dengan komunikasi paling pas. Apakah
komunikasi di Kua Etnika tak bisa digunakan di Orkes Sinten Remen atau Orkes
Melayu Banter Banget?
Saya tak ingin meninggalkan publik hanya lantaran tak menggunakan ''bahasa''
yang pas. Dalam bahasa pemasaran, membawa pasukan sekompi untuk sekadar
menembak tikus kan mubazir. Pendek kata, sebaiknya kita melihat pangsa pasar
dulu. Siapa sih yang akan kita garap? Audiensnya siapa. Di ''Pasar Rakyat
76'' kami jelas lebih banyak masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun,
lantaran diputar di Indosiar tentu akan terjadi lintasan kelas pemirsa. Itu
akan berbeda lagi jika diputar di RCTI.
Wah, Anda mengulang-alik budaya yang sangat cepat dong. Bukankah mobiltas
Anda melintasi warna-warna musik begitu tinggi?
Itu bukan sekadar persoalan ulang-alik. Musik itu bahasa yang sangat
universal. Jika kita berbincang tentang kelas-kelas, kamar-kamar, atau
masyarakat yang membikin, tentu saya akan berbeda dari teman-teman
seprofesi. Mungkin ada yang menganggap musik itu bisa dikelas-kelaskan.
Mungkin ada yang bisa dikamar-kamarkan. Bagi saya, musik itu universal. Yang
membedakan hanya personality-nya.
Saya tidak mau berdiri pada satu titik saja. Apa pun yang ada pada diri
saya, saya ekspresikan. Kali ini saya membikin musik serius, besok tiba-tiba
dangdut, keroncong, atau bahkan sewaktu-waktu bikin orkestra yang serius
banget. Dan, tak perlu heran bila kemudian main di Teater Gandrik.
Kesenian masa depan itu serbamulti. Artinya, setiap pemusik bisa main musik
di tradisi sekaligus modern. Yang saya lakukan sekarang sebenarnya sudah
dilakukan di seni rupa. Mereka meluapkan gelora bahasa ekspresi tak lagi
sekadar di atas kanvas. Saya beruntung belajar di seni rupa. Saya bisa
mengungkapkan ekspresi tanpa batasan-batasan yang terlalu mengikat. Ya,
ekspesi itu kan tidak ada batasnya.
Sebetulnya yang saya kerjakan di musik itu kepanjangan tangan seni rupa. Di
musik pun, saya seperti mencampuradukkan tube cat. Isi musik atau bunyinya
jadi macem-macem. Saya tidak menganut satu isme. Oke sekarang saya surealis,
apa pun bisa saya lakukan. Saya bikin keroncong, dangdut, atau apa pun.
Ada aturan khusus yang masih dianut?
Ya. Aturan khususnya adalah kualitas. Tanggung jawabnya ya kepada kualitas
itu. Apa pun yang saya lakukan dengan teman-teman harus bisa
dipertanggungjawabkan. Misalnya saat menggarap keroncong, kami benar-benar
melakukan studi. Demikian pula saat menggarap dangdut, kami tak main
ngawur-ngawuran. Kami mencari referensi, menyurvei. O, ternyata keroncong
membutuhkan kemasan berbeda. Karena itu, jangan heran bila kami tampil
ngepop atau funky.
Ketika menggarap dangdut saya juga berguru dengan orang-orang yang paham
dengan dunia dangdut. Alhasil, kami bisa memainkan dangdut secara lebih
segar.
Malah saat menggarap ilustrasi musik untuk film Telegram, Slamet Rahardjo,
saya mengaransir ''Renungkanlah'' menjadi lagu yang sangat bernuansa melayu.
Pada saat yang sama, saya menggarap musik untuk Mayat Terhormat-nya Butet
yang juga bernuansa dangdut sehingga pengenalan saya terhadap dangdut makin
dalam.
Ternyata dangdut itu berkembang dari orkes melayu, gambus, sampai ke kemasan
terkini. Dangdut sekarang sudah sudah cukup muatan kreativitas. Ada
keberagaman warna, sekalipun warna indianya terlihat lebih dominan. Dangdut
juga sangat cepat berubah. Kami belajar dari perubahan itu sehingga musik
kami pun cepat berubah.
Ada garis merah yang mempersatukan selain kualitas?
Yang jelas, kreativitas itu nomor satu. Kami ingin mencoba angle lain dari
sesuatu yang sudah jadi mainstream. Umpama memainkan dangdut, pasti kami
garap dengan angle lain. Aransemen dan cara membawakan pasti berbeda dari
dangdut mainstream. Artinya, kami mengisi celah-celah kreativitas yang belum
dikerjakan oleh pemusik lain.
Gampangnya, kami tidak mau atau menolak menjadi epigon. Kami selalu berusaha
mencari sesuatu yang baru.
Jika ada yang mengikuti, kami segera pindah jalur atau warna. Kami juga
menggarap segala sesuatu secara detail. Hal-hal yang hanya sebagai pendukung
pun tidak diabaikan. Dalam bahasa anak muda, kami selalu ingin tampil beda.
Sebenarnya dalam bermusik Anda ingin melakukan pemberontakan atau
mengukuhkan sesuatu yang sudah jadi anutan umum sih?
Kami berusaha menjadikan sesuatu yang dianggap ecek-ecek sebagai sesuatu
yang indah dan digemari orang. Di Kua Etnika tidak ada kelas-kelasan. Yang
pandai musik Barat tidak harus dianggap lebih top ketimbang musik tradisi.
Pandangan-pandangan kuno yang menganggap musik memiliki kelas-kelas harus
dilawan.
Artinya, Anda dan kawan-kawan sedang mendekonstruksi mainstream. Ada contoh
konkretnya?
Di Sinten Remen kami memainkan kerocong, namun kami hanya mengambil
spiritnya. Kami mainkan semua itu dengan memperhitungkan keinginan publik.
Misalnya saja kami kemudian tampil dengan kostum berbeda. Kami juga hadir
dengan beat berbeda. Itu menyebabkan tampilan sebuah orkes tak ketinggalan
zaman.
Isi liriknya pun diperbarui sehingga ada relevansi dengan berbagai persoalan
yang sedang berlangsung. Seni tradisi harus dikontekstualkan secara
terus-menerus. Intinya, spirit keroncongnya harus tetap ada.
Anda juga memainkan humor dalam bermusik. Mengapa?
Republik ini kan sedang mbasiyo. Saya justru sedang memainkan musik jungkir
balik untuk semakin meyakinkan publik betapa kita memang sedang hidup dalam
dunia jungkir balik, dunia lucu, dunia yang penuh ha ha hi hi. O, ya saya
sedang mempersiapkan nomor ''Republik Mobil Bobrok''. Anda setuju kan jika
saya memahami negeri ini sebagai sebuah mobil bobrok yang untuk berjalan pun
sangat sulit lantaran tak tahu harus melakukan apa pun. (Triyanto
Triwikromo-25j)