[Nasional-m] Kebijakan Insentif Harga Pertanian dan Kendala Struktural Petani

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 30 02:12:02 2002


Media Indonesia
Senin, 30 September 2002

Kebijakan Insentif Harga Pertanian dan Kendala Struktural Petani
Andi Irawan, Dosen Jurusan Agrobisnis/Ekonomi Pertanian FP Universitas
Bengkulu


PEMERINTAH telah menyiapkan tiga insentif baru bagi petani saat memasuki
musim tanam 2003 mendatang. Ketiga insentif tersebut adalah menaikkan harga
gabah kering panen (GKP) sebesar 15%, menaikkan harga gabah kering giling
atau setara beras dari Rp2.470 per kg menjadi Rp2.840 per kg, dan
memberlakukan kenaikan bea masuk spesifik beras dari Rp430 menjadi Rp735 per
kg. Selain itu, pemerintah mengusulkan pemberian subsidi agar pupuk di
tingkat usaha tani dapat terjangkau. Besarnya dana yang disubsidi berkisar
Rp1,2-1,5 triliun. Dengan demikian diharapkan harga pupuk di tingkat petani
turun dari Rp1.400 menjadi Rp1.150 per kg, SP-36 dari Rp1.800-2.000 menjadi
Rp1.400 per kg dan NPK dari Rp2.000-2.500 menjadi Rp1.750 per kg.
Kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai insentif bagi petani guna memberikan
keuntungan yang layak dan meningkatkan pendapatan mereka. Selanjutnya
diharapkan dapat memacu produktivitas, sehingga meningkatkan produksi padi
nasional. Demikian informasi yang kita terima dari Menteri Pertanian ad
interim M Prakosa pada rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di
Jakarta Kamis 12 September 2002 yang lalu. Tentu kebijakan pemerintah untuk
memberikan insentif harga ini perlu didukung karena sesungguhnya produsen
domestik kita tidak menghadapi pertandingan dan persaingan pasar yang fair
dari produsen negara-negara lain. Mengingat negara-negara lain sebenarnya
memberikan subsidi terselubung kepada produk pertanian dan pangan mereka,
serta memberi bantuan kepada petaninya.
Walaupun demikian, terlalu simplikatif rasanya bila dikatakan bahwa tarif
impor, kebijakan harga dasar, dan subsidi pupuk dapat memacu produktivitas
dan menaikkan pendapatan petani. Hal ini karena ada kendala struktural yang
menyebabkan kenaikan harga tersebut tidak mampu memacu produktivitas mereka.
Tidak naiknya produktivitas juga berarti tidak meningkatnya pendapatan
mereka.
Kalau kita lihat temuan-temuan empiris tentang perilaku produktivitas beras
Indonesia yang telah dilakukan sejumlah peneliti seperti Mubyarto dan
Fletcher (1975), Tabor (1988), Hutauruk (1996), dan Irawan (1998), semua
riset ini menunjukkan elastisitas produktivitas terhadap harga adalah
inelastis. Ambil contoh hasil penelitian Irawan: nilai elastisitas
produktivitas padi terhadap harga beras adalah 0,0109 untuk Jawa dan 0,008
untuk luar Jawa. Artinya, kalaupun harga dinaikkan 100%, produktivitas padi
hanya naik sebesar 1,09% untuk Jawa dan 0,8% untuk luar Jawa. Dengan
demikian, dapat disimpulkan kenaikan harga yang tinggi sekalipun tidak bisa
menaikkan produktivitas yang signifikan.
Kita tahu bahwa untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek, butuh
intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi biokimia dan mekanisasi
pertanian. Padahal, ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika
menggunakan padat intensifikasi pada lahan-lahan sempit seperti yang
dimiliki petani kita tersebut. Untuk menerapkan intensifikasi padat yang
secara ekonomis menguntungkan dibutuhkan skala ekonomi yang besar (baca:
lahan pertanian yang luas), sedangkan kita tahu 89,4% petani kita hanya
memiliki lahan di bawah dua hektare, yang sekitar 48,5%-nya bahkan hanya
memiliki lahan rata-rata seluas 0,17 hektare.
Inilah sebabnya mengapa nilai elastisitas produktivitas padi terhadap harga
beras inelastis. Yang menunjukkan walaupun harga beras naik, produktivitas
tidak akan jauh berbeda dengan harga beras sebelum naik, karena teknologi
yang diterapkan juga tidak jauh berbeda dari sebelumnya, sedangkan untuk
menggunakan teknologi yang lebih padat modal seperti penggunaan mesin-mesin
pertanian, penggunaan zat pemacu tumbuh atau teknologi kultur jaringan dan
sebagainya tidak efisien secara ekonomi pada lahan-lahan sempit yang
dimiliki oleh petani kita.
Kepemilikan lahan yang sempit itulah kendala struktural yang menyebabkan
petani tidak mampu memanfaatkan kenaikan harga tersebut untuk meningkatkan
produktivitas usaha taninya. Ada dua alternatif untuk mengatasi kendala
struktural kepemilikan lahan tersebut. Pertama, kebijakan land reform.
Kebijakan ini bertujuan agar para petani memiliki luas lahan yang memberikan
keuntungan untuk dikelola. Kebijakan ini telah ditempuh oleh hampir semua
negara yang sukses pertaniannya seperti Belanda, Australia, dan Brasil.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini dapat direalisasikan dalam wujud
pembangunan areal pertanian baru yang luas di luar Jawa untuk dibagikan
kepada buruh-buruh tani, para petani gurem, para peladang berpindah dan
perambah hutan yang diikuti dengan bimbingan untuk berusaha tani secara
modern dan komersial.
Kedua, konsolidasi lahan. Upaya konsolidasi lahan progresif yang pernah
diusulkan sejumlah pengamat, bahkan pernah direncanakan untuk diterapkan
oleh Menteri Pertanian pertama kabinet Gus Dur adalah corporate farming.
Mekanisme corporate farming ini adalah lahan-lahan pertanian sempit yang
saling berdekatan dikonsolidasi menjadi suatu hamparan yang luasnya menjadi
puluhan bahkan ratusan hektare. Yang perlu diperhatikan dalam mekanisme
konsolidasi ini hendaknya tidak melalui mekanisme semikomando bahwa
pemerintah mewajibkan para petani tersebut untuk melakukan konsolidasi
lahan, tetapi melalui mekanisme pasar yang bersifat win-win solution.
Pemerintah bisa menghubungkan sekelompok petani yang memiliki lahan pada
wilayah yang saling berdekatan dengan pengusaha yang bonafide dengan track
record agrobisnis yang diakui untuk bekerja sama secara sukarela melalui
pola kemitraan win-win solution. CF ini dilakukan dengan MoU yang jelas
antara pengusaha sebagai pengelola proyek corporate farming dan para petani
sebagai rekanan mereka. Pemerintah berposisi sebagai wasit agar dalam
realisasi MoU tersebut tidak terjadi kerugian salah satu pihak akibat
wanprestasi (ingkar janji) baik dari pengusaha ataupun dari petani.
Dari apa yang dipaparkan di atas saya ingin mengingatkan para decision maker
kebijakan pertanian kita bahwa sesungguhnya kebijakan pendukung harga
pertanian apa pun bentuknya termasuk tarif impor, kebijakan proteksi dasar,
dan subsidi pupuk hanyalah kebijakan yang bersifat second order condition
(syarat kecukupan) saja. Ia hanya akan bermanfaat menolong para petani jika
kebijakan yang bersifat first order conditionnya (syarat keharusan) telah
dilaksanakan. Artinya mengatasi kendala struktural yang dihadapi petani,
yakni kepemilikan lahan yang sempit, harus terlebih dahulu di laksanakan
sebelum kita melaksanakan kebijaksanaan pendukung harga.***