[Nasional-m] Book Review "Pseudo-demokratis"

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Feb 2 23:36:05 2003


SUARA PEMBARUAN DAILY


Pseudo-demokratis

Judul buku: Kepemimpinan Soeharto

Sub-judul: Dalam Bingkai Teologi

Penulis: Elieser S Hadmodjo

Penerbit: Yayasan KELOPAK, Tahun 2002


Tebal: xxvi+160 halaman

Mencari makna dari istilah "pseudo-demokratis" dalam ensiklopedi atau kamus
bahasa mana pun, tidak akan kita jumpai - kecuali dalam buku yang diberi
judul Kepemimpinan Soeharto (Dalam Bingkai Teologi). Buku ini adalah karya
tesis yang telah diuji kesahihannya.

Berbeda dengan karya ilmiah pada umumnya, buku ini tidak memberi kesan
angker bagi pembaca karena Elieser S Hadmodjo mencoba menampilkan karyanya
dengan bahasa lugas yang populer. Berlatar belakang dunia teknik, penulis
memang berani memaparkan hal-hal yang dulu dianggap tabu pada masanya. Tentu
pemaparan itu didasari oleh perhitungan matematis yang matang, sehingga
unsur kehati-hatian di dalamnya turut pula diperhitungkan guna menghindari
kefatalan atau kebablasan dari proses kreatifnya.

Beberapa kutipan yang mendukung teori, turut pula melengkapi tersusunnya
buku ini. Namun, kutipan-kutipan itu tidak mengurangi keasyikan pembaca yang
akan hanyut ke alur yang mengalir seperti novel spionase (selalu menimbulkan
rasa ingin tahu). Kesan pembelajaran tanpa beban atau paksaan sekaligus
pencerahan akan dijumpai dalam buku ini karena tiap bab menyajikan
sedikitnya dua teori atau pendekatan.

Dari judul yang ditampilkan, buku yang terdiri dari enam bab itu lebih tepat
dikatakan sebagai biografi Soeharto, yang disusun berdasarkan penelusuran
kurun waktu pemerintahannya selama tiga puluh dua tahun. Tertata apik
menyuguhkan sejumlah kajian teori seperti sejarah, politik, ekonomi,
kepemimpinan/manajemen, teologi, dan etika. Dikemas praktis, yaitu singkat,
padat, jelas, dan komunikatif, sehingga tetap bisa dijadikan acuan referensi
karena penulis telah membuat intisari dari kumpulan teori yang disusun dalam
buku ini.

Dalam Bab 1 dikisahkan sejarah seorang putra bangsa yang memegang peran
penting dalam menentukan nasib sebuah bangsa. Penulis menampilkan berbagai
kutipan pandangan "mereka" yang pernah dekat maupun "mereka" yang
mengkritisi sepak terjang kepemimpinan Soeharto yang tidak lepas dari
peristiwa 30 September 1965. Ada tiga temuan versi tentang peristiwa G-30/S
itu sendiri, yaitu versi "resmi" Orde Baru, versi keterlibatan TNI AD dan
versi keterlibatan Asing (halaman 3-13).

Misteri di balik tragedi itu sendiri memang masih diselimuti kabut, dan
tulisan itu tidak berpretensi untuk menyingkapnya. Tidak pula ada maksud
atau kesan penulis untuk menghakimi sang tokoh. Dalam hal ini penulis hanya
ingin memaparkan tentang suatu peristiwa yang pernah terjadi (sejarah suatu
bangsa) yang melibatkan seorang Soeharto, sehingga ia berhasil mencapai
puncak karier sebagai pemimpin bangsa.

Bab 2 yang diberi judul Sepak Terjang Soeharto, membahas soal perjuangan
seorang anak petani yang berusaha untuk menjadi seorang pemimpin besar. Ada
dua faktor yang menunjang keberhasilannya, yaitu faktor keberuntungan dan
faktor keterampilan (halaman 48-53).

Model kepemimpinan Soeharto (dalam Bab 3) sebagai perbandingan antara Barat
dan Timur melahirkan kekuasaan yang otoriter (halaman 70) yang pada akhirnya
menciptakan demokrasi yang semu atau "pseudo-demokratis" (halaman 84). Bahwa
gaya kepemimpinan Soeharto dapat digolongkan kepada kelompok otokratis,
namun dikemas dengan sangat cantik dalam penerapannya, sehingga enak
disajikan menjadi "pseudo-demokratis" (halaman 122).

Menjadi klimaks dari cerita sejarah seorang Soeharto, dibahas dalam Bab 4
sebagai detik-detik menjelang batas akhir kekuasaan dan pasca-kejatuhan
Soeharto yang juga menggambarkan pengkhianatan orang-orang terdekatnya.
Tentara membelot, Golkar menyeberang, teknokrat mundur, Soeharto terisolasi,
dan kemudian jatuh (halaman 89-91). Antek-anteknya juga bergerak cepat "cuci
tangan" dari segala hubungan dengan keluarga Soeharto, bahkan berbalik
memusuhinya (halaman 93).

Dalam Bab 5 penulis menganalisis kepemimpinan Soeharto dalam tiga bingkai
teologi, sebagai ciri yang membedakan buku ini dengan buku biografi umum
lainnya. Ketiga bingkai teologi yang dimaksud adalah: (1) Etika Kristen, (2)
Kepemimpinan Kristen, dan (3) Perbandingan Kepemimpinan Soeharto dengan Raja
Daud.

Pada bagian itu penulis hendak mengajak para pembacanya untuk menyimak
alternatif yang disodorkan oleh gaya kepemimpinan Kristen bagi
tindakan-tindakan kepemimpinan Soeharto yang telah dibahas di muka (halaman
122). Ada kesan aktif- rekreatif dalam menelusuri bab itu. Untunglah penulis
telah memagari ruang lingkup pembaca dalam suatu bingkai teologi.

Pesan moral yang secara tersurat ingin disampaikan oleh penulis, adalah
"pertobatan" manusia. Pesan ini hadir lewat tampilan tokoh Raja Daud sang
penguasa Israel. Penulis telah mengambil risiko yang cukup berani karena
membandingkan kedua tokoh dari sudut latar belakang keluarga, militer dan
kepemimpinan. Namun, ada perbedaan yang sangat menonjol antara kedua tokoh
(Daud dan Soeharto), yaitu hal "pertobatan". Diceritakan bahwa Raja Daud
mengakui dosanya dan merendahkan dirinya di hadirat Tuhan menjadi seperti
kanak-kanak (halaman 141).

Menjadi pertanyaan renungan bagi penulis, "Akankah seorang Soeharto yang
mantan jenderal besar berbintang lima sanggup mengikuti teladan Raja Daud,
yaitu menyerahkan dirinya kepada Tuhan sebagai ujud pertobatan?"

Pada bagian ini (halaman 126-141) penulis memancing imajinasi pembaca untuk
mengandai-andai: "Jika saja Soeharto (dan kroni-kroninya) punya kesempatan
dan kemampuan membaca buku ini, seharusnya beliau (mereka) masih boleh
berbangga diri karena penulis mensejajarkan dirinya (baca: Soeharto) dengan
Raja Daud (dan pasukannya)". Suatu penghargaan luar biasa dari seorang
penulis.

Masuk pada bab terakhir (Bab 6), penulis memberi judul Kepemimpinan Soeharto
Belum Usai. Kalimat itu terbukti bahwa selengser Soeharto dari jabatannya,
tidak menjamin bahwa persoalan negeri ini akan selesai. Sebaliknya, masalah
justru tambah besar (halaman 143) karena Soeharto meninggalkan kehancuran,
tetapi masih terlalu pagi untuk menarik suatu kesimpulan yang berimbang
tentang apa yang telah ia capai - dan itu juga bukan fokus dari penulisan
buku ini (halaman 144).

Soeharto telah lengser. Namun, tetap saja mendapat banyak kecaman dari
berbagai kalangan. yang pada umumnya bernada sinis dan negatif. Tidak
sedikit pula buku-buku diterbitkan untuk mencaci maki dan menggali akar-akar
kesalahan mantan penguasa negeri 32 tahun.

Situasi itu sangat berbeda dengan karya-karya yang pernah diterbitkan selama
beliau masih berkuasa. Umumnya buku atau karya-karya tersebut muatannya
lebih banyak memberi sanjungan dan pujian dengan berbagai gelar atau julukan
manis yang dialamatkan kepada diri Soeharto (dan kroni-kroninya).

Sebagai karya ilmiah (tesis) yang telah dikondisikan dengan pembaca awam
(sekuler), telaah yang ada dalam buku ini, yaitu kepemimpinan Soeharto bisa
diukur - baik atau buruk, sukses atau kurang sukses. Namun dalam hukum
moral, atau tinjauan secara filosofis etika Kristen - barangkali sosok
Soeharto hanya bisa didekati melalui kaca mata "kuda" - searah dan tanpa
memiliki kandungan sebagai 'penghakiman' atau penilaian dengan ukuran baik
dan jelek terhadapnya.

Kaidah yang digunakan hanyalah sepenggal "tinjauan filosofis - teologi yang
tidak searah dengan keimanan Soeharto" (halaman 107).

Pascakejatuhan Soeharto telah pula menimbulkan berbagai istilah baru
(neologi), yang sebetulnya bukan baru tetapi dimunculkan kembali. Misalnya,
istilah kolusi, nepotisme, reformasi, dll. Berdasarkan teori-teori yang
dipaparkan dalam buku ini, ada istilah yang kerap dimunculkan oleh penulis
sebagai rangkuman definisi sikap dan tindakan nyata kepemimpinan Soeharto,
yaitu "pseudo-demokratis".

Artinya, buku ini sangat baik untuk dikaji lebih dalam lagi, baik dari
teori-teori yang dipaparkan di dalamnya, maupun kasus-kasus dan
istilah-istilah yang dimunculkan. Bentuk kemasan yang praktis ini juga dapat
menjadi acuan bagi penulisan karya-karya lain yang akan memperkaya dunia
aksara bangsa Indonesia.

Buku ini sangat bermanfaat bagi para pemimpin atau calon pemimpin, baik di
organisasi, perusahaan (swasta dan nonswasta), karena buku ini bisa menjadi
panduan yang sangat berguna dalam mengambil sikap atau menentukan pola
kepemimpinan.

Buku yang pada awal tulisannya dipersembahkan penulis untuk istri tercinta
kiranya patut dipertimbangkan untuk dipersembahkan bagi banyak orang. Karena
lewat buku ini penulis juga mengajak khalayak pembaca untuk belajar dan
bercermin dari sejarah. Buku ini juga merupakan wujud nyata dedikasi dan
tanggung jawab penulis dalam menyikapi situasi yang terjadi saat
ini.Menyadari bahwa tulisan ini merupakan bentuk lain dari suatu tesis,
sangat dimaklumi jika ditemukan beberapa istilah yang masih agak asing di
telinga pembaca. Karena itu, sebagai kritik dan saran, hendaknya penulis
menyertakan arti istilah-istilah bahasa Latin pada cetakan berikutnya.

CLAUDIA MAGANY

Last modified: 30/1/2003