[Nasional-m] Belajar pada Golkar

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Feb 10 23:36:05 2003


Media Indonesia
Senin, 10 Februari 2003

Belajar pada Golkar
H Saifullah Yusuf, Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor


DALAM sejarah politik kepartaian Indonesia sejak kemerdekaan hingga
reformasi, barangkali tak ada kekuatan politik yang seunik Golongan Karya
(Golkar). Sebagai partai politik pemerintah selama Orde Baru (Orba) yang
oleh banyak kalangan sering disebut-sebut menggunakan kekuasaan
semiotoritarian, Partai Golkar tetap survive meskipun tatanan politik yang
semula ia tegak telah tumbang. Dalam masa transisi politik setelah Pak
Harto, banyak pihak yang menduga, partai hegemonik selama Orba itu akan
habis kehilangan pendukungnya akibat kesalahan-kesalahan Orba yang melekat
pada Partai Golkar. Sepanjang rentang waktu pascakejatuhan Orba, pelataran
politik Indonesia disesaki dengan banyak pernyataan hingga demonstrasi
menghujat Golkar. Bahkan konsolidasi politik yang dilakukan oleh Ketua
Golkar, Akbar Tandjung, ke daerah-daerah mendapat pressure terus-menerus
oleh gerakan massa kontra-Golkar.

Tetapi perkiraan Golkar akan segera habis setelah lengsernya Pak Harto,
patronase politiknya, ternyata meleset. Partai Golkar memperoleh 23.741.758
suara (22,44%) sehingga menduduki 120 kursi DPR. Dengan perolehan suara
sebanyak itu berarti partai yang selama Orba dijuluki single majority
berhasil menempati urutan kedua setelah PDIP yang meraup 33% suara. Dengan
komposisi itu, berarti Partai Golkar telah melewati massa kritis yang
dialaminya. Daya tahan Golkar agaknya akan terus diuji dengan vonis
Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Ketua Golkar, Akbar Tandjung, dalam kasus
dana Bulog. Dengan vonis ini, akankah Golkar kembali bisa lolos dari badai
politik yang menerjangnya?

Pertanyaan itu pantas disampaikan mengingat faktor Akbar Tandjung selama
pasca-Soeharto menjadi ikon Partai Golkar yang sudah telanjur melegenda
dalam belantara politik Indonesia. Di puncak kesulitannya, Golkar di bawah
kepemimpinan Akbar Tandjung ibarat seorang pendekar Tai Chi yang tengah
memainkan jurus-jurus lenturnya dan membalikkan keadaan justru dengan
meminjam tenaga lawan.

Kelenturan jurus Tai Chi Partai Golkar ini tampaknya tak lepas dari figur
sang ketua umum. Sebagai politikus yang memiliki jam terbang cukup lama,
Akbar yang juga mantan Ketua PB HMI ini sangat mahir membaca situasi. Ia
tahu kapan yang tepat untuk melakukan lobbying dan berkompromi, dan ia tahu
pula pada saat mana harus menggebrak. Kemampuan politik ini teruji pada
setiap fase kritis yang dihadapinya, seperti Munaslub Golkar 1989, SU MPR
1999, hingga kemampuannya menyelesaikan 'secara politis' kasus Bank Bali
dengan mengomunikasikan adanya 'Golkar Putih' dan 'Golkar Hitam'.

Taruhlah, dalam beberapa waktu ke depan dia akhirnya jatuh, kemampuannya
bertahan begitu lama dalam karier politiknya yang penuh terpaan badai
politik merupakan kepiawaian politik tersendiri yang jarang dimiliki
politikus Indonesia. Sekadar perbandingan, untuk kasus Yanatera Bulog,
Presiden Abdurrahman Wahid, yang tidak pernah divonis pengadilan apa pun,
terpaksa harus meninggalkan kursi kepresidenan. Alih-alih lengser dari
jabatannya, dengan kemampuan bermain politiknya ia tidak banyak mendapatkan
pressure politik yang berarti.

***

Lebih aneh lagi, kalau dideteksi dengan saksama opini di sebagian
masyarakat, terutama kelas menengah, ada semacam kerinduan masa lalu ketika
harga-harga masih murah, kedamaian, dan kestabilan banyak dinikmati. Dan,
masa lalu itu bagi sebagian dari pandangan mereka adalah identik dengan Era
Orba di mana partai beringin masih dengan megah berkibar. Merebaknya
nostalgia ini tentu masih membutuhkan penelitian agar secara metodologis
bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, jangan-jangan nostalgia seperti ini hanya
berasal dari kejemuan terhadap hiruk pikuk gerakan reformasi yang tidak
kunjung bisa mengatasi berbagai persoalan yang muncul setelah tumbangnya
Orba, yang notabene juga melahirkan tumpukan kekecewaan. Namun, setidaknya,
kesimpulan bersifat tentatif ini bisa menjadi regangan hipotetik di masa
depan Golkar, partai ini masih memiliki napas begitu panjang dan bisa
menimbulkan kejutan. Untuk menjawab 'keanehan' tersebut ada beberapa
penjelasan yang bisa diberikan.

Pertama, selama 30 tahun Partai Golkar berkuasa para perintisnya telah
meletakkan dasar-dasar pelembagaan sebagai partai modern. Di dalam Partai
Golkar misalnya proses pengaderan berjalan mapan dan berjenjang. Mereka yang
bertengger di posisi pimpinan partai rata-rata harus merintis dari bawah,
dengan begitu bisa mengasah loyalitas sekaligus pengalaman me-manage
organisasi sekaligus konflik.

Dengan proses seleksi yang agak ketat seperti itu sebenarnya bisa dimengerti
kalau ada pihak yang mencurigai terjadinya diaspora kader-kader partai
beringin yang memunyai posisi penting di parpol lain sebagai bagian dari
skenario besar Partai Golkar untuk menanam sel-sel politik.

Kedua, ketidaksiapan partai-partai lain melakukan tackling terhadap bola
politik yang digiring Partai Golkar pada masa Orba. Kelemahan partai-partai
di luar Golkar terlihat dari ketidakpastian mereka menjalankan agenda
sistematis saat memperoleh kekuasaan. Ketika partai-partai berkuasa umumnya
mereka menjalankan pemerintahan dengan 'insting sekenanya' alias serabutan.
Mereka tidak memiliki agenda untuk Indonesia jangka panjang, sehingga rakyat
sering berada dalam posisi skeptis terhadap partai-partai yang ada, karena
berorientasi kepentingan jangka pendek.

Ketiga, selama tiga dekade berkuasa Partai Golkar berhasil mengidentikkan
dirinya sebagai koalisi besar keluarga pegawai negeri (birokrasi), TNI, dan
kalangan profesional. Dengan identifikasi ini, Partai Golkar bisa memiliki
sumber pendukung agak permanen dalam jumlah cukup besar, yang bila
dikombinasikan mungkin mencapai sepertiga penduduk Indonesia.

Dengan ketiga faktor tersebut maka kita bisa memahami kenapa Partai Golkar
tetap eksis dalam era Reformasi ini. Dan bukan sekadar eksis, dengan
kekuatan terbesar kedua di parlemen, tapi tiba-tiba posisinya berbalik dari
partai yang dihujat di masa awal kejatuhan Soeharto menjadi kekuatan yang
menentukan bagi keseluruhan proses politik hari ini. Lalu bagaimana dengan
pemilu mendatang? Apakah Golkar akan kembali meraih tempat yang pernah
didudukinya selama tiga puluh tahun sebagai pemenang pemilu? Jawabnya, belum
tentu demikian. Karena masih ada variabel lain yang lebih kompleks seperti
kohesi internal, patronase politik dan pergeseran transformasi, basis sosial
ekonomi masyarakat. Tetapi poin penting yang perlu digarisbawahi, hendaklah
partai lain bisa belajar kepada partai warisan Orba itu. Tentu dengan
meninggalkan semua hal yang menyebabkannya menuai hujatan. Layaknya belajar
silat, petarung yang baik harus mempelajari bagaimana kelebihan jurus-jurus
lawannya, sehingga bukan hanya bisa mengadopsi teknik-teknik keunggulannya,
namun juga mengetahui titik kelemahannya. Dengan begitu ia baru akan bisa
mengalahkan lawannya di kemudian hari. Tentunya dalam sebuah pertarungan
politik yang beradab dan bermartabat.***