[Nasional-m] Makna Substantif Gelar Haji

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Feb 10 23:36:07 2003


KOMPAS
Selasa, 11 Februari 2003

Makna Substantif Gelar Haji
Oleh Abd Rohim Ghazali

SETIAP tahun, ada ratusan bahkan ribuan penduduk Indonesia berangkat dan
kembali dari tanah suci Mekah dengan atribut baru: sebagai Bapak Haji atau
Ibu Hajjah. Harapan kita, dengan atribut baru itu, akan lahir suasana
kehidupan baru yang lebih baik. Harapan ini perlu ditandaskan, karena
bertambahnya jumlah hujjaj (mereka yang pergi haji) belum berimplikasi
secara signifikan bagi perubahan masyarakat ke arah lebih baik.

Kondisi yang tidak ekuivalen antara jumlah hujjaj dengan membaiknya perilaku
masyarakat, tidak hanya monopoli negara kita, tetapi juga negara lain.
Suasana inilah yang pernah mendorong guru besar Al-Azhar Kairo, Dr Sayyid
Razak Thawil (1997), menolak pemakaian gelar "haji" bagi yang telah
melaksanakan ibadah itu. Alasannya, karena pada zaman Rasulullah SAW,
sahabat bahkan tabi'in gelar haji itu tidak pernah ditemukan.

Ia jelaskan, nilai ibadah seseorang tergantung keikhlasan hamba menghadap
Allah dan apabila (riya), bisa merusak ibadah, bahkan mengurangi pahala dan
tidak mendapat nilai di sisi Allah. Syekh Abdul Badi Ghazi, direktur Ma'had
Duat-secara lebih tajam menambahkan alasan-bahwa penggunaan gelar haji
sering merusak kesucian ibadah, akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa
isi.

Legitimasi formal

Sejatinya, gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat
spiritualitas seseorang. Artinya, gelar itu hanya berhak dimiliki oleh
mereka yang telah menunaikan rukn (fondasi) Islam kelima. Namun, apakah
legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial?
Inilah persoalan krusial yang sulit dijawab. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda, "Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian
dan atribut yang dipakai, tetapi dari (keimanan) yang ada dalam hati-hati
kamu sekalian". Artinya, ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan
kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang
disandangnya. Tetapi, sampai sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan
membekas dalam hati, lalu terefleksi dalam kehidupan sehari-hari.

Prosesi ibadah haji-seperti ditegaskan sosiolog Muslim terkemuka Iran Dr Ali
Shariati-sarat dengan simbol-simbol semangat kemanusiaan yang anggun dan
mendasar. Aktualisasi dari simbol-simbol itu dalam wujud sikap dan tingkah
laku sehari-hari merupakan isyarat dari kemabruran haji seseorang (Shihab,
1992:215). Jadi kebenaran (mabrur) yang substansial dari ibadah haji adalah
ketika yang bersangkutan mampu meningkatkan kualitas amal saleh seperti
kedermawanan, kerendah-hatian, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya
setelah kembali dari menunaikan ibadah haji.

Jika sifat-sifat itu tidak meningkat secara kualitatif, bahkan sebaliknya
semakin angkuh, sombong dan membanggakan gelar hajinya, tentu saja,
pengorbanan uang, waktu, dan tenaga untuk pergi haji ke tanah suci, sia-sia
saja di hadapan Tuhan, atau bahkan di hadapan manusia. Karena itu, jika
banyak orang yang telah menunaikan ibadah haji, namun kehidupan
sehari-harinya di masyarakat secara umum tidak meningkatkan kesalehan, maka
amat wajar, bahkan sudah seharusnya gelar-gelar haji itu tidak perlu
disandang. Kalau tidak, ia akan menjadikan tampilan fondasi Islam kelima itu
kontraproduktif, memperburuk citra, dan mereduksi makna agungnya.

Simbol kesalehan

Haji, pada tingkat aktualnya merupakan latihan bagi manusia untuk kesalehan
sosial seperti meredam kesombongan, kediktatoran, gila hormat, dan keinginan
menindas terhadap sesamanya. Sebab, dalam haji manusia harus mencopot
pakaian kebesarannya. Pakaian sehari-hari yang menciptakan ke-"aku"-an
berdasarkan ras, suku, warna kulit, eselon kepangkatan, dan lain-lain, harus
ditanggalkan dan diganti pakaian "ihram" yang sederhana, tidak membedakan
kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat dan status sosial lainnya.
Egoisme ke-"aku"-an lebur dalam ke-"kita"-an, kebersamaan, kesamaan sebagai
manusia yang hadir, berada dan menuju hanya kepada-Nya. Ditegaskan dalam
Alquran: "Tunaikan ibadah haji dan umrah (hanya) karena Allah...." (QS,
2:196). "Dan Allah adalah tujuan perjalanan...."(QS, 24:42)."

"Haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif, cinta
harta. Dalam berhaji manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum.
Bahkan, sebaliknya (sangat) dianjurkan untuk rela berkorban apa saja
miliknya termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana dicontohkan Nabi
Ibrahim AS yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (lihat
QS, 37:99-113).

Lebih jauh, haji juga merupakan latihan bagi manusia untuk mengendalikan
nafsu birahi, amarah, dan berkata keji (tidak senonoh) Ditegaskan dalam
Alquran: "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan ibadah haji, maka
tidak boleh berhubungan suami istri, berbuat fasik dan berbantah-bantahan
dalam masa mengerjakan haji..." (QS, 2:197).

Dalam rangkaian ibadah haji, selain wuquf di Arafah yang menjadi inti haji
(al-hajju 'arafah), yang menjadi lambang kebersamaan, miniatur sejati
hakikat perjalanan umat manusia. Juga diharuskan melontar tiga jumrah
(berhala) yakni ula, wustha, dan uqba, yang menjadi isyarat-menurut istilah
Shariati, "trinitas".

Dalam tataran teologis "trinitas" berarti keyakinan dan penghambaan manusia
terhadap tiga eksistensi Tuhan (musyrik, politeisme), dan dalam tataran
sosiologis berarti penghambaan manusia pada tiga nafsu yang dimiliki:
totalisme dalam kekuasaan, kapitalisme dalam kepemilikan dan hedonisme (free
sex) dalam pergaulan sesama atau antarjenis.

Totalisme kekuasaan disimbolkan Alquran dalam sosok Fir'aun, seorang kaisar
Mesir kuno yang memiliki kekuasaan mutlak, diktator, dan tiran. Kapitalisme
diumpamakan seperti Qarun yang menghimpun kekayaan tiada batas, dan
hedonisme (free sex) diumpamakan seperti Qabil, putra Adam yang rela
membunuh saudaranya Habil, hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan birahi
lawan jenisnya. Atau kaum Sadum, umat Nabi Luth AS, yang diazab Tuhan karena
kebiasaan mereka mengumbar nafsu birahi sesama jenis (karenanya kemudian
disebut sodomi, dari kata Sadum). Dalam ibadah haji, "trinitas" itu harus
dilempari, dilawan.

Aktualisasi

Haji merupakan perjalanan menuju bayt Allah (rumah Tuhan). Karena Tuhan
Mahasuci, manusia yang akan menuju ke rumah-Nya pun diupayakan dalam keadaan
suci. Artinya, untuk berhaji dibutuhkan kesiapan, bukan saja kesehatan fisik
dan kecukupan materi, tetapi yang lebih penting adalah kesehatan mental, dan
kesiapan spiritual. Lahirnya para haji yang kurang menunjukkan kualitas
kehajiannya, bisa jadi karena kekurangsiapan dalam menjalankan syariat Nabi
Ibrahim AS itu. Selain mungkin kurang paham dengan makna haji sebenarnya.

Dari uraian itu, kiranya makna substantif ibadah haji bukan pada huruf "H"
atau "Hj" di muka nama seseorang. Bukan pula, misalnya, karena yang
bersangkutan resmi menjadi anggota Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia
(IPHI), tetapi pada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatannya yang
membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya "bekas"
kesalehan yang disimbolkan dalam prosesi ibadah haji seperti tersebut di
atas, kiranya usulan guru besar Universitas Al-Azhar Kairo yang dikutip di
awal tulisan ini mungkin ada baiknya dipertimbangkan untuk dijadikan "fatwa"
yang resmi dan harus diikuti.

Abd Rohim Ghazali Peneliti di The Amien Rais Center