[Nasional-m] Napak Tilas Monoteisme sebagai Sumber Moralitas

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Feb 11 01:12:02 2003


Kompas
Selasa, 11 Februari 2003

 Napak Tilas Monoteisme sebagai Sumber Moralitas
Oleh Abd A`la

KEHADIRAN Idul Adha di tengah ketidakpastian kehidupan yang saat ini dialami
umat manusia secara umum, dan umat Muslim secara khusus, memiliki makna amat
penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran dan makna agama yang
substansial. Idul Adha merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa
simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan
nilai-nilai universal Islam.

Makna terpenting Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani
ajaran monoteisme Nabi Ibrahim (AS) yang bersifat transformatif. Dalam
perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim
mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki.
Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan
eksistensi itu sendiri. Tanpa Allah, yang ada hanya kekacau-balauan,
kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu
berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi
itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan
"menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur,
harmonis, dan seimbang.

Pengorbanan atau persembahan yang dilakukan Ibrahim merupakan manifestasi
dari hal itu. Peristiwa ini memiliki dua dimensi yang bersifat vertikal dan
horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya
pendekatan diri (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam rangka menangkap
nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Proses ini mengondisikan umat manusia
melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempitnya sehingga
dapat "menjumpai" Tuhan. Secara horizontal, hal itu melambangkan keharusan
manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Wahyu Tuhan
kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yang lalu diganti binatang
kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh merendahkan manusia
lain, menjadikannya sebagai persembahan, atau melecehkannya dalam bentuk apa
pun. Sebab, manusia sejak awal dilahirkan setara dan sederajat. Nilai-nilai
yang merepresentasikan kesetaraan dan sejenisnya perlu diaktualisasikan ke
dalam realitas kehidupan sehingga dunia dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan
hakiki.

Tuhan pada hakikatnya tidak membutuhkan apa-apa, termasuk persembahan.
Perintah itu hanya untuk menguji ketaatan manusia dalam merespons pesan dan
perintah ilahi dan kesediaannya untuk tidak dikungkung kediriannya yang
subyektif, atau impuls-impuls kejahatan yang menipu. Persembahan sekadar
suatu simbol yang melambangkan makna yang lebih substansial, yaitu ungkapan
ketaatan untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang sejatinya selalu
bersesuaian dengan nilai kemanusiaan perenial.

Monoteisme Islam

Berdasarkan monoteisme Ibrahim, Rasulullah (SAW) mengajarkan, seorang Muslim
dituntut untuk menyembah hanya kepada Allah (tauhid uluhiyah), dan pada saat
yang sama harus pula meyakini, Allah adalah Tuhan yang Mahaesa, bersifat
mutlak, dan transendental (tauhid rububiyah). Keyakinan seperti itu
menunjukkan, segala sesuatu yang selain Allah merupakan makhluk yang tidak
memiliki hak sedikit pun untuk diperlakukan sebagai Tuhan atau disikapi
seperti Tuhan. Pada saat yang sama, hal itu menggambarkan ketidakbolehan
manusia untuk diperlakukan semena-mena atau direndahkan karena manusia di
hadapan Tuhan adalah sederajat.

Implikasi logis dari hal itu adalah munculnya tauhid sebagai nilai moral
transformatif dalam kehidupan sosial. Ke-tauhid-an Islam adalah akidah yang
menumbuhkan moralitas pembebasan manusia. Dengan demikian, ada hubungan tak
terpisahkan antara ide monoteisme pada satu pihak, dan pengembangan moral
kemanusiaan universal pada pihak lain. Kedua aspek itu merupakan dua sisi
dari satu mata uang yang sama. Surat al-Mâ`ûn (107) menggambarkan secara
nyata nilai-nilai itu. Surat ini mengungkap dengan jelas, orang yang tidak
memiliki solidaritas sosial dan nilai-nilai semacam itu, memiliki posisi
yang sama seperti orang yang mendustakan agama.

Khotbah Haji Wada’ (dan ibadah haji harus berlabuh dalam Idul Adha) yang
disampaikan Rasulullah (SAW) mengukuhkan hubungan itu. Dalam ibadah haji
itu, Nabi menyatakan tentang keharusan manusia untuk menjaga hak dan
kehormatan orang lain, serta memperlakukan manusia lain seperti
memperlakukan diri sendiri. Menurut Rahman (1979: 25), khotbah Nabi itu
merepresentasikan prinsip-prinsip yang harus menjadi intisari perkembangan
yang mendasari gerakan Islam dalam kemajuannya yang aktual dan tujuan yang
ingin dicapainya. Prinsip itu adalah humanitarianisme, egalitarianisme,
keadilan sosial dan ekonomi, kebajikan, serta solidaritas sosial.

Konkretnya, tauhid-kata Nasr (1975: 29)-merupakan alfa dan omega Islam.
Unity selain bersifat pernyataan metafisik tentang karakteristik zat yang
absolut, juga merupakan suatu cara integrasi, wahana untuk menjadi utuh, dan
sebagai realisasi kesatuan dalam semua eksistensi. Melalui prinsip-prinsip
itu, umat Islam secara metafisik-vertikal harus meyakini keesaan Tuhan, dan
pada saat yang sama mereka dituntut mengusung nilai-nilai itu ke ruang
publik dalam bentuk pengembangan moralitas yang dapat mencerahkan kehidupan.

Meneguhkan moralitas

Pengembangan tauhid seperti diungkap sebelumnya menjadi niscaya untuk
dikembangkan dalam konteks kekinian karena (sebagian) masyarakat Muslim
cenderung memaknai tauhid sekadar percaya dan meyakini keesaan Allah.
Monoteisme dipangkas dari maknanya yang substantif sehingga Islam mengalami
reduksi pada implementasi rukun Islam yang lima. Dengan demikian, tauhid
belum menjadi faith in action yang menjadi rujukan moral dalam segala sikap
dan perilaku.

Pengembangan tauhid dalam kerangka pemahaman yang holistik itu mensyaratkan
adanya kesiapan umat Islam untuk merekonstruksi keberagamaan mereka dengan
cara memahami dan memaknai ajaran dan nilai agama secara menyeluruh dan
menghindari sejauh mungkin pemahaman yang sepotong-potong, parsial. Dalam
sisi itu, umat Islam perlu menyikapi ritual-ritual agama selain sebagai
konkretitasi bentuk kepatuhan kepada Tuhan, juga mereka perlu menangkap
makna intrinsik-yang sebagian besar bersifat moral-yang terdapat pada
upacara keagamaan itu.

Pada sisi itu, udlhiyah (sacrifice) dalam Idul Adha perlu dimaknai dalam
kerangka pembumian nilai agama yang memiliki spektrum moral yang luas.
Pengorbanan merepresentasikan upaya pencapaian nilai-nilai kebaikan sejati
yang pada prinsipnya bersifat moralitas perenial dan universal, seperti
melepaskan egoisme, narsisme, dan sejenisnya, berlaku adil kepada siapa
saja, dan mengembangkan kesederajatan dalam kehidupan.

Melalui pemaknaan semacam itu, Idul Adha bersifat signifikan dalam
meneguhkan keberagamaan substansial; keber-tauhid-an yang berimplikasi nyata
dalam kehidupan. Hari Raya Haji mengingatkan kita peristiwa keagamaan yang
menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, berawal dari penghambaan diri
manusia kepada kepentingan sendiri.

Karena itu, Idul Qurban harus menjadi proses pembebasan manusia dari segala
sifat yang membuat manusia lupa jati dirinya sebagai makhluk Allah, yang
satu dengan lain memiliki kesetaraan, juga perbedaan yang tidak harus
dipertentangkan. Dalam kesetaraan dan perbedaan itu manusia seharusnya
menjalin kerja sama hakiki, serta membuang jauh-jauh segala bentuk
permusuhan, serta segala rupa kejahatan yang lain.


Abd A`la Staf pengajar Fakultas Adab dan Program Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel, Surabaya