[Nasional-m] Menyatukan Hari Besar Islam

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Feb 12 00:48:09 2003


 http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16
Selasa, 11 Februari 2003

Menyatukan Hari Besar Islam
Peneliti Matahari dan
Oleh : T Djamaluddin

Seperti Idul Fitri yang baru lalu, pada Idul Adha 1423 juga terjadi
perbedaan. Muhammadiyah telah menetapkan Idul Adha jatuh pada 11 Februari
2003 berdasarkan hisab wujudul hilal. Pemerintah menetapkan dalam sidang
itsbat, Idul Adha jatuh pada 12 Februari.

Keputusan itu didasarkan pada hasil rukyat yang dilaporkan dari 45 titik
pengamatan (38 dilaporkan ke Depag dan 7 tambahan laporan dari NU) yang
menyatakan tidak terlihat hilal.

Hal itu didukung dengan hasil hisab bahwa posisi bulan di Indonesia saat
Maghrib 1 Februari 2003 terlalu rendah, kurang dari 1 derajat.

Hasil hisab juga menyatakan di beberapa wilayah Indonesia Tengah dan Timur
pada saat Maghrib bulan belum ijtimak (segaris bujur dengan matahari,
batasan bulan baru astronomis), walau sudah wujud di atas ufuk.

Kenyataan itu sekali lagi menunjukkan bahwa sumber perbedaan adalah
kriterianya, bukan antara hisab dan rukyat. Persis yang juga mendasarkan
keputusannya pada hisab berpendapat Idul Adha jatuh pada 12 Februari.
Alasannya, karena tidak di semua wilayah Indonesia hilal telah wujud. Ini
berbeda dengan Muhammadiyah yang menggunakan prinsip wilayatul hukmi,
sebagai satu wilayah hukum wujudul hilal di suatu daerah berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia.

Mencermati perkembangan praktek penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan
Idul Adha, kita bisa merujuk akar masalahnya pada kriteria yang digunakan
oleh dua ormas besar: NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Ormas lain,
seperti Persis, walau sedikit berbeda kriterianya secara garis besar berada
pada salah satu kriteria NU atau Muhammadiyah.

Untuk mencari titik temu, perlu kita memahami kesamaannya dan perbedaannya
serta kemungkinan untuk dipersatukan. Tanpa banyak diketahui oleh masyarakat
umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai dilakukan oleh
masing-masing ormas tersebut.

NU yang dikenal kuat mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah
dengan memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria
hisab imkanur rukyat untuk menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah.
Muhammadiyah yang dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal,
mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang berbagai praktisi hisab
rukyat, termasuk dari NU dan Persis.

Muhammadiyah
Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya
awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa
berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadhan dan
bulan-bulan qamariyah lainnya. Ini berbeda dengan NU yang menyatakan hisab
hanya sebagai pembantu rukyat.

Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang
posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya
kriteria yang disebut hilal. Tidak ada satu pun dalil dalam hadits atau
Alquran yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan
secara kuantitatif dalam kriteria hisab.

Menurut pendekatan astronomis, hilal adalah penampakan bulan yang paling
kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtimak. Inilah yang
kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan
wujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada
bulan.

Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal
patut dihargai. Itu merupakan syarat untuk munculnya hilal. Tetapi syarat
itu belum cukup. Hilal telah wujud bisa juga terjadi sebelum ijtimak.

Hal itu terjadi di Indonesia pada Dzulhijjah 1423 saat ini. Di Kalimantan
bagian selatan, Sulawesi bagian selatan, Nusa Tenggara, dan Papua bagian
selatan, bulan telah wujud pada saat Maghrib 1 Februari, tetapi belum
terjadi ijtimak.

Kasus ekstrim terjadi pada bulan Syaban 1423 (Oktober 2002). Saat itu di
sebagian besar Indonesia bulan telah wujud, tetapi belum terjadi ijtimak.
Kriteria wujudul hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtimak
sebelum maghrib (ijtimak qablal ghurub).

Ada masalah lain. Dalam astronomi, kita kenal bulan baru untuk fenomena
konjungsi atau ijtimak, segarisnya bulan dan matahari untuk memulai fase
baru dengan penampakan bulan sabit. Bulan baru astronomi atau ijtimak, tidak
ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah.
Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul
hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati.
Ijtimak masih lebih baik, karena sewaktu-waktu masih bisa dibuktikan dengan
gerhana matahari. Wujudul hilal hanya ada dalam teori.

Para astronom pemburu bulan sabit benar-benar mencari ketinggian minimal
atau umur bulan paling muda (dihitung sejak ijtimak) untuk melihat bulan
sabit pertama (hilal), tidak cukup sekadar bulan di atas ufuk. Hilal atau
bulan sabit pertama tidak hanya ditentukan oleh ketinggian bulan atau
ijtimak-nya sebelum maghrib, tetapi juga oleh transparansi udara dan
kepekaan mata manusia. Jadi, kalau mau berterus terang, wujudul hilal dan
ijtimak qablal ghurub saja sebenarnya tidak punya landasan astronomis
sebagai penentu awal bulan.

Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa
tergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat telah
direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal.

Dalam perkembangannya, wujudul hilal tidak cukup perlu kriteria ijtimak
qablal ghurub. Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang
ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata
manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal.

Nahdlatul Ulama
NU sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan
mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali).

Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal
bil fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut
hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian
mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30
hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai
alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.

Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sering kali, sumpah
dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dalam
beberapa kasus, bulan yang masih di bawah ufuk menurut perhitungan astronomi
dilaporkan terlihat dan diambil sebagai dasar penetapan awal bulan, misalnya
pada penetapan Idul Fitri 1413/1993. Namun sejak 1994, PBNU telah membuat
pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat
menyatakan hilal tidak mungkin dirukyat.

Secara lebih tegas dinyatakan kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila
tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.

Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul
Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal
masih di bawah kriteria imkanur rukyat 2 derajat.

Namun prinsip itu belum secara konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa
Timur justru menerima kesaksian tersebut. Tampaknya kriteria imkanur rukyat
2 derajat belum diterima di seluruh jajaran NU atau belum disosialisasikan.
Padahal itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal
ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.

Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadhan 1394/16 September
1974 yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi yang berbeda. Tidak ada
indikasi gangguan planet Venus.

Perhitungan astronomis menyatakan tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda
azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut
bulan-matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit

Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi
sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996.

NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat. Lagi-lagi,
sebagai bagian proses ijtihad penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut
dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idul Fitri
1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal, padahal bulan sudah di
bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat.

Tetapi sebenarnya "didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat" belum
sepenuhnya terlaksana. Kriteria imkanur rukyat 2 derajat belum sempurna,
masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang
ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai
pedoman yang ditetapkan.

Menuju Titik Temu
Permasalahannya kini telah mengerucut. Masing-masing ormas Islam harus
secara terbuka mengkaji ulang kriteria yang digunakannya. Masing-masing
punya kekurangan yang bila dikaji lagi terbuka peluang untuk mendapatkan
solusi tunggal yang bisa disepakati bersama tanpa menghilangkan prinsip
masing-masing.

Dapat dikatakan saat ini mereka pada posisi menuju titik yang sama. Dengan
maju satu langkah lagi titik temu itu bisa dicapai secara bersama.

Kriteria MABIMS yang sebenarnya berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan
rukyat sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali
Muhammadiyah.

Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas
Islam. Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya, berkeberatan
karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan ilmiahnya.

Kalau ditimbang, kriteria wujudul hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah
juga tidak ada dukungan ilmiahnya. Ini jalan menuju titik temu. Baik
Muhammadiyah maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu
pengetahuannya.

Kriteria wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca 4
November 2002) dan kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU (dan
Persis pra 4 November 2002) sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap
Muhammadiyah, NU, dan Persis terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom
bersedia menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi
fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar astronomi.