[Nasional-m] Protestantisme di Persimpangan Jalan (2)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Feb 15 01:37:44 2003


SUARA PEMBARUAN DAILY

Eksklusif

Protestantisme di Persimpangan Jalan (2)
Kristen Kultural, Islam, dan Militer
Oleh Wartawan "Pembaruan" Cyprianus Aoer

PERBINCANGAN tentang "Protestantisme di Persimpangan Jalan" pada lokakarya
di Yogyakarta, 31 Januari hingga 3 Februari lalu masih belum dapat menemukan
akar masalah yang menyeluruh. Penyebabnya antara lain, akumulasi dari
matinya upaya mencari teologi lokal yang khas Indonesia. Budaya lokal belum
dijadikan dasar pengembangan ritus agama yang kontekstual (inkulturasi) dan
agama dijadikan komoditi politik.

Dalam konteks itu, menarik disimak pernyataan budayawan dan dosen
Universitas Diponegoro, Darmanto Jatman. "Saya duduk di pinggir karena di
tengah-tengah orangnya protes melulu. Padahal, agama telah membesarkan
kita," ujarnya. Untuk memperlihatkan sikapnya itu, Darmanto sejak awal duduk
di sudut luar seolah-olah ia terpinggirkan.

Ia menyoroti peserta yang mengajukan kritik pedas kepada lembaga gereja.
"Sebenarnya di mana posisi kita dalam peta kekristenan di Indonesia? Kita
bersikap protes dan kritis, apakah karena kita tidak punya posisi di jemaat
masing-masing? Saya dikenal Kristen kultural, yang sulit diterima di
kalangan Kristen sendiri," katanya.

Secara historis pada abad ke-16 (31 Oktober 1517), gerakan Protestantisme
muncul sebagai protes terhadap gaya pewartaan Gereja Katolik yang berpusat
di Roma. Protestan berkembang luar biasa hebatnya dengan prinsip pluralisme.


Darmanto mengakui bahwa perlu teologi atau gerakan pembebasan. "Apakah kita
sudah melakukan itu? Kalau kita tidak mau berdoa, kita tidak ada pijakan
bersama dengan umat karena nggak seia sekata dalam iman," ujarnya sinis.

Agama kultural dan agama spiritual (gereja) menjadi perbincangan hangat,
karena secara sosiologis dan psikologis orang juga mengenal agama secara
kultural. Di kalangan NU kebudayaan dengan mudah diterima karena budaya itu
sudah ada sebelum Islam datang di Indonesia.

"Saya berontak terhadap Gereja Kristen Jawa tentang lagu-lagu yang dipilih.
Tapi, pada saat saya sedih, saya pakai lagu-lagu Jawa," ujar Darmanto.
Artinya, sebagai orang beragama ada keterbelahan jiwa. Misalnya, pada satu
sisi sebagai Protestan terbelah antara rasa dan pikiran. "Di sini lain, kita
semua orang pintar. Perpecahan inilah yang secara sosiologis susah kita
tembus," katanya lagi.

Menyangkut masalah yang sama, Salim yang menggantikan Ulil Abshar Abdalla
dari Lembaga Pengkajian Islam Liberal memberikan tanggapannya. "Karena saya
dari NU, maka saya akan bercerita tentang Islam NU, bukan Muhammadiyah atau
yang lainnya. Memang, ada NU kultural dan NU struktural. Wilayah kultural
merasa bahwa teman-teman yang di politik tidak banyak bekerja di wilayah
bawah. Di NU sangat sedikit profesional," ungkapnya.

Salim menyatakan hal itu menjadi problem di lingkungan kelompok-kelompok
penganut agama. Ia mengungkapkan banyak orang Islam yang tadinya terjun di
masyarakat, lalu pindah ke politik.


Perlu Politik

Dalam lokakarya itu juga mengemuka soal gereja perlu berpolitik. Tujuannya
agar gereja dapat melakukan humanisasi. Tugas Kristen membela manusia untuk
memanusiakan manusia. Tugas spiritualnya adalah membebaskan orang-orang dari
ikatan kebudayaan atau dari kebudayaan supaya menjadi manusia yang
universal.

Menanggapi hal itu, Asmara Nababan menyatakan Indonesia berada dalam masa
transisi menuju satu rezim yang demokratik. Setidaknya itulah yang
didokumentasikan secara resmi dalam TAP MPR tahun 1999 sampai 2003 dan
perubahan UUD. "Tuntutan ke arah demokrasi ini sudah dicoba dilakukan,
tetapi setelah berjalan selama empat tahun ini saya agak meragukan apakah
benar Indonesia sedang menuju demokrasi?" tanyanya.

Pertanyaan bagi gereja dan orang-orang Kristen adalah apa tantangan yang
harus dijawab? Apakah orang gereja mampu memberikan sumbangan bagi
terwujudnya demokrasi itu? Pilihannya perlu kendaraan politik antara dua
hijau, yakni "Islam atau militer".

Sejak tahun 1965 sampai 1966 dengan pertimbangan pragmatis, akhirnya hijau
militerlah yang dipilih. Hijau Islam dinilai menjadi ancaman yang serius
terhadap Kristen. Pilihan tersebut menimbulkan banyak soal.

"Kalau kita melihat transisi tahun 1998, pergantian Soeharto ke Habibie
menunjukkan kekuatan demokratik tidak cukup kuat untuk memaksakan
penggantian rezim secara total. Lantas pergantian 1998 dilakukan dengan
tingkat kompromi yang tinggi. Sekarang reaksi gereja terhadap transisi 1998
secara politik yang paling menonjol adalah mendirikan 15 partai Kristen,"
paparnya.

Asmara menyimpulkan sementara bahwa gereja dan orang Kristen secara politik
belum dapat membebaskan dirinya. "Kita tidak bergerak dari tahun 1960 hingga
sekarang," kata Asmara.

Kehadiran partai politik Kristen sempat ditanggapi secara sinis oleh
beberapa peserta. Mereka menanyakan, apa kepentingan Kristen di bidang
politik? Kalau tujuannya untuk diri sendiri, memang diperlukan partai
politik Kristen. Namun, kalau demi keadilan, kemanusiaan, bukankah itu juga
tujuan banyak orang di luar Kristen? Bahkan lebih baik orang Kristen bekerja
sama dengan kelompok-kelompok lain dan bukan berjalan sendiri. "Karena itu,
harus diredefinisi peran partai politik Kristen," tandas Asmara.

Peserta menyadari, adanya pilihan hijau militer atau Islam, karena mayoritas
orang Kristen sangat tidak memahami Islam secara benar. Islam dianggap
sebagai ancaman yang harus dihadapi. Orang Kristen tidak siap memilih Islam
karena pengetahuan dan pemahamannya tentang Islam sangat miskin.

Pilihan hijau militer kemudian menjadi masalah. Dulu militer dianggap
menjadi salah satu pintu masuk demokratisasi. Studi militer sesudah tahun
1990 menunjukkan justru militer menjadi problem utama dalam demokratisasi di
negara mana pun. Di Cina hanya 30 persen anggaran tentara yang harus dicari
sendiri, sementara di Indonesia lebih dari 80 persen.

"Selama Indonesia tidak punya agenda untuk memperbaikinya, militer selalu
menjadi ancaman bagi demokratisasi," ujar Nelson Siregar. Hal yang sama juga
dilontarkan Bert A Supit, Trisno, Wiwin, dan Ratty Supit.

Peserta lokakarya juga menyoroti gerakan polarisasi masyarakat yang semakin
tinggi. Hal ini mendorong tiap kelompok untuk memutlakan pilihan-pilihan
dasarnya untuk menjadi pijakan bersama dalam proses kebangsaan. Sebagian
kelompok Islam, misalnya, mencoba memperjuangkan syariat sebagai landasan
bersama bagi proses berbangsa.

Perbincangan juga sangat menarik ketika ada kesan kelompok militer
mempertegas nasionalisme di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bingkai itu sebagai harga mati bagi pijakan bersama. Namun, ada
yang mempertanyakan adanya ketegangan di internal militer sehingga cenderung
tidak lagi kokoh secara institutional untuk mempertahankan NKRI.

Persoalan bagi kekristenan adalah menentukan pilihan aktivitas politik.
Memang, ada upaya untuk mendorong terjadinya perubahan kebijakan negara dan
selama ini masih dianggap secara efektif melalui partai. Namun, tidak dapat
disangkal bahwa di luar partai semakin berkembang pula gerakan masyarakat
yang mendukung berkembangnya civil society dan menjadi penyeimbang dalam
penentuan kebijakan-kebijakan negara.

Realitas tersebut bertumpu pada pertanyaan besar, bagaimana gereja bisa
mendorong dan mendampingi warganya untuk mengambil peran sertanya? Peran itu
bisa ditempuh melalui partai politik, atau gerakan nonpartai.

Masalah keruwetan ekonomi juga disinggung, karena disadari bahwa kehidupan
ekonomi masyarakat memprihatinkan. Bagaimana gereja mendorong pengembangan
ekonomi kerakyatan berbasis agraris dan kelautan? Digarisbawahi pula
pentingnya pengembangan ekonomi yang ramah lingkungan dan melepaskan diri
dari perangkap utang.

Soal lain yang juga didiskusikan dalam lokakarya itu adalah sistem hukum dan
peradilan di Indonesia. Ketidakpastian hukum dan keputusan peradilan yang
tak memenuhi rasa keadilan masyarakat dianggap mendominasi hukum di
Indonesia. Kondisi itu semakin menambah sikap apatis masyarakat dan
mendorong terjadinya berbagai tindakan anarkis. Muncul penafsiran yang
beragam dan subjektif terhadap kebenaran dan keadilan. Persoalannya,
bagaimana gereja mendorong berkembangnya sistem hukum dan peradilan yang
tidak memihak, serta memenuhi derajat keadilan yang maksimal?

Berbagai pertanyaan yang muncul itu masih sulit dijawab. Pertemuan di
Kaliurang menghasilkan rumusan-rumusan umum. Malahan persoalan baru muncul
dan perlu jawaban konkret yang dapat dijadikan pegangan jemaat. Pertemuam
itu telah menghasilkan pekerjaan rumah, sehingga perlu dibuat pertemuan
lanjutan berskala lebih besar melibatkan semua penganut agama, aktivis
masyarakat, dan para para pakar. Pertemuan lanjutan lebih besar itu
dijadwalkan berlangsung Juni 2003.


Last modified: 14/2/2003