[Nasional-m] Dari Cadar hingga Gedung Pemerintahan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 9 Jan 2003 21:20:53 +0100


Suara Merdeka
Jumat, 10 Januari 2003  Karangan Khas

Dari Cadar hingga Gedung Pemerintahan
(Tanggapan atas Tulisan Sri Suhandjati Syukri)
Oleh: Syarif Hidayat

FENOMENA cadar, jilbab ataupun sejenisnya secara historis bukanlah persoalan
baru di Indonesia. Bahkan banyak karya ilmiah baik berupa buku,
jurnal-jurnal dan sebagainya telah mengupas tuntas pembicaraan masalah
tersebut. Rangkaiannya pun dapat dipastikan berhubungan dengan masalah
gender.

Sebagaimana disangkakan oleh Sri Suhandjati dalam tulisanya tentang "Cadar
dalam Perspektif Agama dan Budaya" (Suara Merdeka, Jumat, 20 Desember 2002).
Hanya saja tulisan tersebut tidak berusaha untuk memunculkan sesuatu yang
baru untuk dikonsumsi bagi dialektika keilmuan di tengah-tengah masyarakat.
Bahkan secara holistik apa yang diutarakan panjang lebar dalam tulisan
tersebut sekadar mengulangi atau bersifat review (mengingatkan kembali).

Meskipun demikian, melalui tanggapan tulisan ini saya mencoba memberikan
beberapa catatan yang berupa tambahan atau ulasan kritis untuk lebih
menajamkan apa yang menjadi persoalan sebenarnya.

Pertama, di akhir tulisannya Sri Suhandjati menyimpulkan bahwa cadar, jilbab
ataupun sejenisnya adalah persoalan konstruk budaya . Saya kira banyak
kalangan sepakat akan pernyataan tersebut.

Namun ada yang kurang pas ketika mengaitkan fenomena cadar dalam tradisi
Islam dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Yunani kuno,
sebagaimana beliau kutip dari pendapatnya Menachem M Brayer, 1986 yang
selengkapnya berbunyi, "Selain itu, ada mitos di kalangan kaum Yahudi
kerlingan mata perempuan yang sedang menstruasi bisa mengundang malapetaka,
karena memiliki kekuatan khusus yang disebut mata iblis yang dapat
menimbulkan bencana alam maupun bencana yang lain

Oleh sebab itu, perempuan yang sedang menstruasi diharuskan memakai cadar".
Akibatnya Sri Suhandjati secara historis gagal menunjukkan adanya suatu
change and continuity tradisi cadar dalam Islam hingga sampai ke Indonesia.
Untuk itu, argumen yang telah ada membutuhkan pendalaman kajian yang
bersifat interdisipliner dan multidisipliner.

Pendekatan interdisipliner dibutuhkan untuk mendialogkan suatu khas budaya
seperti cadar dengan budaya yang ada sehingga tidak disalahpahami. Jika
cadar adalah konstruk budaya, maka persoalan tersebut tidak boleh tertutup,
eksklusif atau sepi dari perbincangan, karena budaya memiliki sifat yang
elastis dan dinamis.

Pendekatan multidisipliner berarti dibutuhkannya dialog dengan berbagai
pihak sebagai konsekuensi Indonesia bukanlah negara Islam.

Hal ini dipandang penting untuk menghindari adanya pemaksaan dari pihak
Islam ata pun pihak di luar Islam sendiri untuk menderegulasikan jilbab.

Sebagaimana kasus sebelumnya di beberapa pendidikan menengah atas dan
pertama yang mewajibkan dan tidak mewajibkan jilbab. Bahkan ketika IAIN
Syarif Hidayatullah resmi menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) persoalan
jilbab menjadi kerumitan tersendiri di antara tuntutan mahasiswa yang ada
sebagai konsekuensinya.

Kedua pendekatan di atas tidak boleh berat sebelah dan harus berbanding
lurus (linear) untuk menghindari kekuatiran negara ikut campur tangan.
Biarkanlah jilbab dan cadar ada dalam kesadaran religius masyarakat tanpa
harus ada unsur paksaan dari negara. Sebab segala sesuatu yang
pelaksanaannya me ngandung unsur paksaan hasilnya akan kontradiktif.

Kedua, semestinya Sri Suhandjati dalam tulisan tersebut lebih
menitikberatkan pada analisa mengapa atau apa yang mendasari
perempuan-perempuan muslimah di Indonesia memakai cadar?

Dengan bahasa yang lebih sederhana faktor-faktor apa yang melatarbelakangi
sehingga perempuan-perempuan muslimah di Indonesia akhir-akhir ini banyak
yang menggemari cadar? Pendekatan yang pas untuk ini selain historis,
sosiologis juga yang tidak kalah pentingnya adalah pendekatan
antropologis-phenomenologis, sehingga tidak muncul kesan menggurui atau
menjustifikasi, setuju atau tidak setuju.

Satu tantangan teologis mengapa muncul. fenomena cadar. Kemungkinannya
adalah terjadinya kegamangan teologis di kalangan umat Islam. Implikasinya
terlihat tidak hanya persoalan cadar, bahkan makna jihad pun mengalami
fundamentalisasi makna.

Kegamangan teologis yang saya maksudkan yaitu usaha untuk mencari defensi
diri, kelompok di antara kekuatan budaya global yang ada saat ini, sehingga
cenderung mencampuradukkan antara hukum dengan yang moral.

Atho' Muzdhar membagi wilayah Islam itu menjadi dua aspek: 1). Aspek hukum,
yaitu sesuatu perbuatan yang memiliki implikasi hukum atau sanksi; 2). Aspek
moral atau bahasa sederhananya seyogianya. Yakni suatu perbuatan yang tidak
memiliki sanksi apabila tidak dikerjakan.

Cadar, jilbab dan sejenisnya harus mampu didudukkan di antara salah satu dua
aspek tersebut. Jika tidak, agama akan kehilangan elan vitalnya sebagai
pengemban misi pembebasan dan rahmatan lil 'alamin.

Belum lagi jika dihadapkan pada fenomena pakaian perempuan muslimah di
Indonesia yang cenderung secara formal Islam tetapi substansinya bahkan
mengundang kekerasan dan kejahatan.

Sebagaimana yang disinyalir oleh Sri Suhandjati pada alinea keenam ketika
mengutip firman Allah SWT QS An-Nuur, 30-31 yang menganjurkan untuk menahan
nafsu syahwat akibat dari implikasi memandang lawan jenisnya. Bagi saya akan
sangat sulit kiranya menjelaskan ini sebagaimana sudut pandang yang
dilakukan oleh Sri Suhandjati.

Ketiga, selanjutnya satu hal yang patut kita hargai adalah kemampuan mereka
yang memakai cadar di dalam memegang teguh prinsip. Seandainya jika kita
bertanya kepada mereka, dengan pertanyaan di atas, jawaban yang pasti adalah
karena cadar merupakan anjuran agama.

Apakah firman Allah SWT QS An-Nuur: 30-31 yang dijadikan dalil justru
seharusnya dikenakan bagi mereka kategori yang ambivalen t.

Dari hal ini, terlihat bagaimana eratnya dialektika yang terjadi antara
agama dan budaya. Satu sisi agama yang memengaruhi budaya dan di sisi lain
tidak jarang justru budayalah yang memengaruhi terhadap penafsiran teks-teks
agama. Inilah yang tidak tampak dari tulisan tersebut bagaimana fenomena
cadar dapat berkembang dan menjamur di Indonesia.

Berbicara mengenai memegang teguh prinsip, semangat yang demikian dalam
banyak kehidupan berbangsa dan bernegara hilang ditelan bumi. KKN,
pembunuhan secara vulgar adalah akibat hilangnya dialektika agama dengan
budaya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, di banyak instansi pemerintah
termasuk Departemen Agama (Depag) sendiri sebagai lembaga yang nota-benenya
dihuni oleh orang-orang yang banyak makan asam garamnya agama justru menjadi
salah satu sarangnya KKN.

Keempat, terakhir yang menjadi catatan saya dari tulisan Sri Suhandjati
adalah tidak ter-cover-nya fenomena yang lebih mendasar, yakni mengapa
tradisi bercadar lebih banyak tumbuh di lembaga-lembaga pendidikan yang
de-jure kurikulum agama sangat minim?

Ini penting untuk melihat ternyata cadar lahir dan berkembang dari sebuah
kesadaran pertimbangan yang rasional. Bagaimanapun saya harus mengakui
sedikit-banyaknya tulisan Sri Suhandjati cukup berharga untuk membuka
cakrawala kesadaran kita bersama di dalam memahami agama beserta
atribut-atributnya. Semoga tanggapan tulisan ini ada manfaatnya. (18)


-Syarif Hidayat, Pengurus Badko HMI Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.