[Nasional-m] Kinerja Ketahanan Pangan 2002 dan Prospek 2003

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 7 Jan 2003 23:36:01 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY

Kinerja Ketahanan Pangan 2002 dan Prospek 2003
Oleh Achmad Suryana

ahun 2000 sektor pertanian telah pulih kembali dari krisis dan memasuki
tahun 2003 kinerja sektor ini diharapkan dapat lebih baik lagi. Pernyataan
itu disampaikan Menteri Pertanian Profesor Bungaran Saragih dalam refleksi
akhir tahun pada akhir Desember 2002.

Kinerja sektor pertanian tersebut berdampak positif bagi perwujudan
ketahanan pangan, yang dicerminkan oleh kemampuan masyarakat mengakses
secara fisik dan ekonomi atas pangan dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi
yang baik, aman dan halal dikonsumsi, serta dapat diperoleh secara kontinu.
Dalam konteks ini, pertanian berperan penting dalam penyediaan pangan dari
sumber domestik dan peningkatan kemampuan masyarakat mengakses pangan
melalui peningkatan pendapatannya, khususnya para petani dan pelaku
agribisnis lainnya.


Kinerja 2002

Sejalan dengan penilaian untuk sektor pertanian, kinerja ketahanan pangan
tahun 2002 lebih baik dibandingkan dengan kondisi tahun 2001. Paling tidak,
ada tiga indikator kinerja yang mendukung kesimpulan ini. Pertama,
berdasarkan angka ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS) ataupun angka
sementara yang dimiliki Departemen Pertanian, secara umum produksi bahan
pangan tahun 2002 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Produksi pangan sumber karbohidrat padi, jagung, ubi jalar dan singkong naik
masing-masing sekitar 3,4%, 5,0%, 8,6%, dan 9,3%. Produksi buah-buahan dan
sayuran tumbuh di atas 10%, gula sekitar 12%, minyak sawit naik walaupun
kurang dari 1%. Populasi ternak babi dan ayam ras pedaging tumbuh pesat
mencapai 15%; dan populasi sapi, domba, dan ayam bukan ras (kampung) tumbuh
antara 2% sampai 4%.

Memang harus diakui pula, beberapa komoditas pangan mengalami penurunan
produksi yang cukup besar, di antaranya kedelai turun 10.2% dan teh minus
1.6%.

Kedua, indikator kinerja ketahanan pangan lainnya adalah dinamika pergerakan
harga. Kalau harga-harga pangan relatif stabil, maka ketahanan pangan akan
cukup mantap. Pada awal 2002 harga beras terutama di Jakarta mengalami
lonjakan yang tinggi, yaitu naik sampai 20% hanya dalam dua minggu. Gejolak
harga ini dapat segera diatasi setelah pemerintah mengambil kebijakan
memasok beras dengan tingkat harga sebelum terjadi kenaikan ke berbagai
pasar di Jakarta dan beberapa kota besar. Dalam waktu dua minggu dan dengan
jumlah operasi pasar beras yang tidak besar yaitu di bawah 20.000 ton, harga
beras kembali turun pada tingkat yang wajar. Selanjutnya, harga beras
relatif stabil sepanjang tahun termasuk pada bulan November dan Desember di
musim paceklik dan memasuki bulan puasa.

Pada tingkat petani, harga gabah juga stabil dan secara rata-rata berada di
atas harga dasar pembelian pemerintah, yaitu sekitar 1.500 rupiah sampai
1600 rupiah /kg Gabah Kering Giling (GKG).

Kinerja positif ekonomi beras ini dapat diartikan pula bahwa pelaksanaan
Instruksi Presiden No 9 tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan
oleh berbagai instansi terkait cukup efektif. Misalnya dari sisi penyediaan,
kebijakan penerapan tarif impor beras sebesar 430 rupiah per kg, walaupun
pelaksanaannya belum seluruhnya efektif, tetapi telah mampu menjadi
penghambat membanjirnya beras impor dan sekaligus menjadi katup pengaman
penyediaan pangan pada saat pasokan dalam negeri berkurang.

Dari sisi konsumen, dengan adanya distribusi beras murah untuk keluarga
miskin yang mencapai lebih 9,5 juta jiwa dengan volume 2,2 juta ton beras,
mengurangi tekanan munculnya lonjakan harga sehingga sepanjang tahun tidak
terjadi fluktuasi harga yang besar.

Memasuki hari-hari besar keagamaan, mulai dari bulan puasa, Lebaran, Natal,
sampai Tahun Baru 2003, ternyata pergerakan harga beberapa pangan penting di
berbagai pasar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, relatif stabil,
kecuali untuk cabe merah. Harga beras, gula, dan minyak goreng sedikit
meningkat tetapi dalam batas yang wajar. Untuk hasil-hasil peternakan ada
lonjakan yang tinggi sewaktu memasuki awal puasa dan tiga hari menjelang
Lebaran, namun setelah itu kembali pada tingkat harga yang normal.

Ketiga, membaiknya ketahanan pangan nasional dapat pula diukur dengan
menurunnya angka kemiskinan dan membaiknya pendapatan masyarakat. Menurut
data BPS, pada tahun 1999 penduduk miskin sebanyak 48,0 juta orang, pada
tahun 2001 menurun menjadi 37,1 juta jiwa, dan tahun 2002 warga miskin ini
diperkirakan turun lagi menjadi 35,7 juta. Demikian pula, dengan menggunakan
nilai tukar petani (NTP) sebagai ukuran, secara umum pendapatan petani tahun
2002 lebih baik dari tahun sebelumnya. Kecuali di Jawa Timur, NTP di
provinsi lainnya di Jawa meningkat. Di luar Jawa, selain di Sumatera
Selatan, Sulawesi Utara, dan NTB yang NTP-nya turun lebih dari 4,8%, di
provinsi lainnya NTP cukup stabil bahkan ada yang naik cukup tinggi melebihi
5% seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

Dari penilaian ketiga indikator kinerja tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kondisi ketahanan pangan nasional tahun 2002 jauh lebih baik dari tahun
sebelumnya.


Prospek 2003

Faktor utama yang mengancam keberlanjutan situasi kondusif ketahanan pangan
yang dicapai tahun 2002 ini adalah perilaku iklim dan bencana alam. Memasuki
tahun 2003 Indonesia dibayangi oleh kekhawatiran potensi dampak anomali
iklim El-Nino moderat yang terjadi tahun 2002. Gejala alam ini telah
menyebabkan mundurnya waktu tanam bagi usahatani di lahan yang tidak
beririgasi baik sampai sekitar satu bulan. Akibatnya, panen padi akan mundur
dan terjadi penumpukan panen pada bulan Maret dan April, dengan luas panen
5,7 juta hektare atau 35% lebih tinggi dari keadaan normal. Apabila saat itu
curah hujan masih tinggi, maka akan mengakibatkan kualitas padi turun dan
harga gabah yang diterima petani anjlok.

Dampak lainnya dari anomali iklim ini adalah adanya potensi penurunan
produksi pangan. Berdasarkan pengalaman, El-Nino ringan dan moderat yang
terjadi tahun 1972, 1982, 1991, dan 1994 menyebabkan produksi padi turun
sampai 2,7%. Tim dari Stanford University, Amerika Serikat yang dipimpin
Profesor W.P. Falcon juga memperkirakan dampak El-Nino 2002 ini dapat
menurunkan produksi padi periode September 2002 sampai Agustus 2003 sekitar
1,0 juta ton beras. Potensi ini akan menjadi kenyataan apabila tidak ada
upaya sama sekali untuk menangani dampak tersebut.

Bencana alam banjir yang dialami oleh berbagai daerah baik di Jawa maupun di
luar Jawa yang mulai terjadi pada akhir 2002 dikhawatirkan berlanjut di awal
2003. Bencana banjir ini, selain akan menyebabkan kerawanan pangan transien
(sementara) bagi penduduk di daerah yang langsung terkena, juga dapat
berdampak luas ke daerah lainnya apabila musibah ini menurunkan kapasitas
produksi pangan dan memotong jalur distribusi pangan.

Faktor kedua, adalah dukungan lingkungan strategis ekonomi makro. Kondisi
ekonomi makro tahun 2002 merupakan faktor positif bagi pencapaian ketahanan
pangan yang lebih baik di tahun 2003. Selama tahun 2002 kurs mata uang
rupiah cukup stabil, inflasi diperkirakan tidak mencapai dua digit (sampai
November sebesar 8,72%), harga bahan pangan stabil, sektor pertanian tumbuh
relatif tinggi sebesar 3,8%, dan pendapatan per kapita juga tumbuh positif
sekitar 2%.

Faktor ketiga yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional adalah
gejolak sosial politik, yang masih dapat muncul sewaktu-waktu, apalagi tahun
2003 ini akan mulai dimanfaatkan sebagai awal pemanasan untuk pemi-lihan
umum 2004 nanti.

Dari kajian di atas, prospek ketahanan pangan 2003 cukup baik asalkan faktor
ekonomi yang kondusif dapat terus dipelihara, dampak bencana alam dan iklim
dapat segera dimitigasi, dan gejolak sosial politik dapat dikendalikan
secara dinamis. Dalam aspek sosial ekonomi, memasuki tahun 2003 ini
pemerintah telah merancang berbagai kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan keberdayaan dan partisipasi para petani dan pelaku bisnis
pertanian lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan usahanya.

Kebijakan insentif ekonomi bagi para petani pangan untuk tahun 2003 telah
disiapkan. Subsidi pupuk disediakan sebesar 1,35 triliun rupiah, subsidi
benih 24 miliar rupiah, dan subsidi bunga kredit ketahanan pangan diberikan
sebesar 10%. Selain itu, harga dasar pembelian pemerintah dinaikkan dari
1.500 rupiah menjadi 1.700 rupiah per kg GKG di tingkat petani. Kebijakan
ini disertai dengan kenaikan dan pengefektifan penerapan tarif impor beras
dan pembelian gabah atau beras petani oleh pemerintah pada saat panen raya.

Dari aspek teknis, Departemen Pertanian untuk tahun 2003 telah merancang
berbagai langkah guna meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani dan
peternak. Pada intinya, upaya ini difokuskan untuk mendorong para petani dan
peternak melaksanakan usahanya dengan lebih baik.

Untuk peningkatan produksi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan; ada
empat aktivitas yang menjadi fokus perhatian, yaitu: (a) peningkatan
produktivitas, dengan penanganan yang lebih baik dalam penyiapan lahan,
pemanfaatan air, penggunaan benih bermutu, dan pemupukan berimbang; (b)
perluasan areal pertanaman, melalui peningkatan indeks pertamanan,
optimalisasi pemanfaatan lahan tidur, perkebunan, serta hutan tanaman
industri, rehabilitasi serta konservasi lahan, dan penambahan baku lahan;
(c) pengamanan produksi, melalui pengendalian organisme pengganggu tanaman,
mitigasi dampak anomali iklim, dan penekanan kehilangan hasil panen; dan (d)
perbaikan pengolahan serta pemasaran hasil.

Untuk peningkatan produksi hasil-hasil ternak, prioritas kebijakan
difokuskan pada: (a) peningkatan populasi sapi potong, melalui impor bibit
sapi dan peningkatan produktivitas dengan inseminasi buatan, embrio
transfer, serta persilangan, (b) peningkatan produksi daging unggas dan
telur, dengan mengembangkan pakan berbasis sumber daya lokal; dan (c)
mendorong peningkatan usaha sapi perah rakyat.

Dari sisi konsumsi, pada tahun 2003 ini lebih difokuskan pada upaya: (a)
penganekaragaman konsumsi pangan ke arah yang lebih beragam, bergizi, dan
berimbang dan (b) penanganan aspek mutu dan keamanan pangan, khususnya
membangunkan kesadaran pelaku industri pengolahan pangan dan masyarakat
konsumen. Dengan cara ini kualitas konsumsi pangan masyarakat akan lebih
baik seiring dengan pengurangan konsumsi beras per kapita.

Sebagai penutup, dapat dijelaskan bahwa ketahanan pangan melibatkan berbagai
pelaku: pemerintah dan masyarakat. Di tingkat pemerintah ada pemerintah
pusat dengan berbagai instansi terkait dan pemerintah provinsi serta
kabupaten/kota. Di tingkat masyarakat ada produsen, pengolah, pemasar, dan
konsumen. Dengan demikian, perwujudan ketahanan pangan tidak dapat hanya
dilakukan oleh satu instansi saja. Ketahanan pangan hanya akan terwujud
apabila berbagai komponen tersebut bekerja bersama secara sinergis dan
harmonis.

Mudah-mudahan harapan tersebut dapat diwujudkan pada tahun 2003 ini dengan
lebih baik lagi.


Penulis adalah Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

Last modified: 7/1/2003