[Nasional-m] Dirjen Postel Kelabui DPR

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 9 Jan 2003 21:34:44 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY


Pakar Telekomunikasi Roy Suryo:
Dirjen Postel Kelabui DPR

JAKARTA - Dirjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan Djamhari
Siraj telah mengelabui DPR dengan tetap menaikkan tarif telepon tanpa lebih
dulu membentuk Independent Regulatory Body (Badan Regulasi Independen/IRB)
seperti yang disyaratkan DPR.

"Padahal dalam usulan kenaikan tarif telepon, pembentukan IRB merupakan
salah satu syarat dari tujuh syarat yang diminta DPR. Tetapi dari tujuh
syarat itu, hanya dua yang dipenuhi pemerintah. Ironisnya, syarat-syarat itu
belum dipenuhi, namun pemerintah tetap menaikkan tarif," ujar pakar
telekomunikasi Roy Suryo kepada wartawan di Jakarta, Rabu (8/1).

Dia menjelaskan, selama ini hanya Ditjen Postel yang menjadi badan regulator
dalam penentuan kebijakan pertelekomunikasian. Padahal seharusnya ada badan
tersendiri yang independen yang menentukan kebijakan-kebijakan termasuk
perhitungan tarif. Parahnya lagi, Dirjen Postel Djamhari Siraj yang nota
bene sebagai regulator, juga duduk sebagai komisaris di operator yakni PT
Telkom Tbk.

Dalam jumpa pers itu Roy memutar kembali rekaman video pernyataan Djamhari
di depan komisi IV DPR, 19 November 2002. Ketika itu Djamhari menjanjikan
konsep IRB akan selesai 2002.

"Sampai sekarang IRB belum dibentuk. Saya dengar baru kemarin (7/1) mereka
(Ditjen Postel) merapatkan pembentukan IRB. Ini kan aneh," tukas Roy.

Roy menjelaskan, pembentukan IRB merupakan syarat nomor 5 dari tujuh syarat
DPR yang tertuang dalam surat PW.001/5928/DPR RI/2001. Hanya dua syarat yang
dipenuhi pemerintah, yaitu poin pertama bahwa kenaikan dapat dilaksanakan
pada 2002, dan poin ke-7 yakni perhitungan tarif menggunakan sistem
rebalancing.

Sementara lima syarat lainnya tidak dipenuhi. Syarat-syarat itu, persentase
kenaikan sebesar 21,67 persen yang memberatkan masyarakat agar diturunkan
dengan pertimbangan faktor kemampuan pemerintah, faktor menarik investor,
inflasi, dan tidak memberatkan rakyat lapisan bawah. Kemudian syarat
sosialisasi kenaikan tarif dengan sistem rebalancing.

"Tidak ada sosialisasi ke masyarakat soal sistem rebalancing. Rumus kenaikan
tarif yang mereka buat pun membingungkan," tukas Roy.

Syarat berikutnya, penyedia jasa wajib menyediakan alternatif sarana murah
dan mudah dijangkau, meningkatkan efisiensi pengelolaan, meningkatkan
pelayanan yang lebih berkualitas dan membuka akses merata daerah tertinggal.

Syarat terakhir yang dikemukakan DPR adalah mengefektifkan pelaksanaan
Universal Service Obligation (USO/pembangunan telepon di daerah tidak
komersial atau terpencil) wajib kepada seluruh penyedia jasa.


Agum Ditelikung

Mengenai persentase kenaikan tarif, Roy menilai Menteri Perhubungan Agum
Gumelar sama sekali tidak mengetahui bahwa kenaikan yang ditanggung
masyarakat untuk biaya lokal mencapai 33,33 persen.

"Pak Agum telah ditelikung bawahannya,bahwa kenaikan diinformasikan cuma 15
persen. DPR juga disajikan kenaikan tarif sebesar 15 persen. Padahal
kenaikan sebesar 33,33 persen untuk lokal dan 31,10 persen untuk abonemen,"
ujar dia.

Sementara itu Sammy Pangerapan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) meminta pemerintah mengkaji ulang pemberian proteksi
penyelenggaraan VoIP kepada PT Indosat Tbk. Sebab saat ini Indosat bukan
lagi BUMN melainkan sudah berubah bentuk PMA. (Y-4)

Last modified: 9/1/2003