[Nasional-m] Membangun Politik tanpa Moral

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 9 Jan 2003 21:51:53 +0100


Media Indonesia
Kamis, 9 Januari 2003

Membangun Politik tanpa Moral
Krispurwana Cahyadi, Peserta Program Doktoral di Universitas Innsbruck,
Austria


MENARIK membaca laporan 'Globalisasi tanpa Visi Moral-Spiritual' oleh Bapak
Ahmad Safii Maarif (Media Indonesia, 26 & 27 Desember 2002). Memang itulah
yang dewasa ini banyak hilang dari dunia kehidupan kita. Seakan hanya
kekuasaan dan kesewenangan, yang mengimbas pada kekerasan, nan lebih
mewarnai zaman.

Berbagai persoalan di Tanah Air kita, misalnya ketidakjelasan arah
kepemimpinan bangsa dan penyelesaian berbagai krisis di negeri ini, soal
kasus Indosat, juga perseteruan publik antara Amien Rais dan Laksamana
Sukardi, bisa dipakai sebagai contoh. Dalam dunia politik internasional,
kasus Timur Tengah, tidak saja pertikaian antara Israel dan Palestina, tapi
juga ketegangan di Irak, menunjukkan bahwa tidak ada tanggung jawab moral
dalam kepemimpinan politik AS. Kiranya tidak saja di AS, tapi juga di hampir
semua kawasan dunia, kesadaran akan tanggung jawab moral memang sering
diabaikan.

Rasanya semua lebih suka ribut dan menuding daripada mencari secara jujur
akar persoalan dan menyelesaikannya secara dewasa. Seakan kurang tumbuh
pertimbangan akan kepentingan orang banyak, terlebih rakyat kecil yang
selalu saja menderita dan menjadi korban.

Orientasi keuntungan dan kekuasaan

Menjelang pemilu di Austria, politikus kontroversial J Heider membuat
langkah mengejutkan, mengunjungi Presiden Saddam Hussein. Tak lama setelah
berita itu muncul karikatur satire: staf penasihat presiden meminta Bush
untuk menegur Heider. Tapi tanggapan Bush sangat tipikal, ''Tidak usah, toh
di Austria tidak ada minyak!''

Sebenarnya yang hendak dikatakan adalah sering kali keputusan politik lebih
ditentukan oleh kepentingan, apa yang mendatangkan keuntungan. Maka, tak
jarang alasan kepentingan rakyat atau demi menegakkan kebenaran, lebih
sebagai demi komoditas politik, bukan tujuan sesungguhnya. Keluhan atas
perilaku politik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif di Indonesia
menunjukkan hal yang seakan tak jauh dari hal itu.

Tidak mengherankan kalau kekuasaan kadang digambarkan sebagai madu, yang
selalu dikerumuni lebah. Apalagi, bila wilayah kekuasaan itu kenyang dengan
nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme, semakin terasa manis madunya. Sebab,
kekuasaan tidak hanya bicara status, kewenangan dan kuasa, tapi juga rezeki.
Mulai dari yang jelas sampai yang siluman.

Johan Galtung, pakar yang banyak membuat telaah soal perdamaian, pernah
memaparkan gagasan soal MBCI-complex. Jelasnya, wilayah kekuasaan menjadi
begitu raksasa dan kukuh bila berhasil menyatukan empat tiang penyangga:
militer, birokrat, korporat, dan intelektual. Pengalaman Orde Baru bisa
dipakai sebagai gambaran. Bahkan, sekarang pun hal itu masih berlaku.
Kekuasaan menjadi kukuh tidak saja karena ditopang dengan senjata, uang, dan
otak, tapi juga penguasaan administrasi sosial. Padahal, prinsip dasar
demokrasi politik sebenarnya mengandaikan adanya pemisahan dan pembedaan.
Paling tidak pemisahan lingkup eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Itu
dimaksudkan demi bisa saling kontrol, sehingga tidak ada pemusatan kuasa.

Namun, harus kita akui bahwa rasanya kurang puas bila pemegang kekuasaan
tidak bisa sepenuhnya melakukan kontrol dan menjalankan apa yang
diinginkannya. Demokrasi menuntut adanya proses persepakatan terus-menerus,
dialog, dan negoisasi. Maka bukan pemutlakan yang seharusnya terjadi, akan
tetapi yang tak jarang terjadi adalah pemegang kekuasaan ingin dipaksakan
mutlak terjadi.

Tidak jalannya penanganan kasus-kasus kekerasan, bahkan juga tragedi besar
memilukan 1965-1966 atau Mei 1998, serta banyak lainnya, bisa dipakai
sebagai contoh. Bantah-membantah serta tuding-menuding, misalnya saja, kasus
Timor Timur, Aceh, dan Papua layak pula dipakai. Orang yang terkena perkara
hukum, terlebih dalam kasus korupsi, bisa pula berlindung di balik tameng
pasal hukum dan jabatan. Kebenaran jadi tidak jelas, kesamaan di mata hukum
hanya slogan, integritas moral hanya sekadar kata pula. Akhirnya tidak bisa
dipungkiri bahwa yang lebih berbicara adalah orientasi akan keuntungan dan
kekuasaan. Maka, bisa dibayangkan betapa carut-marutnya dunia kehidupan kita
karena sudah banyak terjadi disorientasi. Dan yang lebih menyakitkan, ketika
krisis makin menjepit dan rakyat miskin makin terhimpit, mereka semua tetap
tidak peduli.

Mencari jalan kembali

Ketika orang berada dalam situasi krisis dan ketidakjelasan, apalagi
disorientasi, mulailah bermimpi soal situasi ideal. Kata 'seharusnya',
menjadi penting. Padahal, politik dan pergumulan realitas masyarakat, tidak
bicara soal 'seharusnya' atau kondisi ideal, tapi soal kenyataan.

Namun apakah salah untuk bermimpi? Tentu tidak. Mimpi tentang masyarakat
ideal memang sering terjadi dari balik kepenatan dalam memandang situasi
real, serta menanamkan harapan dalam mimpi tersebut. Entah seperti apa wujud
mimpinya, yang jelas adalah keinginan keluar dari terjangan badai krisis.

Apa yang hendak dikatakan bisa disebut harapan agar politik dan segala hal
yang tersangkut di dalamnya, kembali kepada khitahnya. Khitah politik adalah
berurusan dengan soal tata masyarakat, dan tata kehidupan bersama. Bagaimana
kehidupan bersama, antarindividu yang masing-masing memiliki kepentingan dan
privacy sendiri-sendiri itu, bisa ditata sehingga tumbuh kepentingan
bersama. Dan kehidupan bersama pun semakin bertumbuh menjadi baik, menopang
kehidupan pribadi masing-masing. Namun, yang terjadi bukanlah keserasian
gerak dan keterpaduan langkah. Saling berebut dan saling sikut, saling
tuding, dan membuat taktik licik agar menang dan selamat sendiri. Akibatnya,
situasi yang sudah muram menjadi semakin runyam.

Tidak jarang kita dengar bahwa langkah untuk kembali ke hakikat kehidupan
politik dibuat dengan menggunakan jalur real dunia 'permainan' politik.
Partai, parlemen, dan pemilu menjadi sarananya. Memang mekanisme itu tidak
sempurna, tetapi sementara ini itulah yang paling baik. Mungkin karena itu
pulalah tidak sedikit orang sibuk mendirikan partai. Katanya, untuk ikut
mengembalikan demokrasi politik pada relnya. Apalagi, parlemen pun semakin
hari semakin disorot, karena menjadi semakin pongah dan bahkan beberapa
menuding terjadinya 'komersialisasi' politik. Memang tidak hanya di
legislatif, tapi di tempat lain terjadi.

Selain itu, keluhan juga dilontarkan bahwa mereka yang dulu mengaku
reformis, pembaru, pembela wong cilik, penegak kebenaran, ketika sudah
merasakan hangat dan manisnya kursi kekuasaan menjadi lupa diri. Bila
demikian, jalur real dunia 'permainan' politik pun sarat masalah dan godaan.
Sementara itu, dulu mereka yang diharapkan, akhirnya jatuh dalam pelukan 'si
penggoda', sehingga menjadi lunglai, tak berdaya.

Karena itu, para kelompok idealis atau radikal, tetap pada pendirian bahwa
jalan keluar hanya mungkin dengan revolusi total. Segalanya dirombak. Mulai
dari awal, disusun dari nol. Dari antara mereka ini ada yang menggunakan
jalan kekerasan, atau bersikap anti-ini anti-itu, tapi belum jelas benar apa
maunya.

Tapi, apakah mungkin mengawali dari nol? Kehidupan sudah berjalan, walau
dengan banyak cacat dan noda. Semua itu tidak bisa dibongkar, apalagi yang
tidak sejalan ditumpas. Sebab, bukankah merekatkan fragmen-fragmen yang
sudah tercabik dan terbelah lebih dibutuhkan?

Semua itu menunjukkan bahwa tidak mudah menemukan jalan keluar, menetapkan
langkah kembali ke khitah. Kesulitan ini tampak lebih disebabkan belum
disusunnya prasyarat dan prakondisi yang memungkinkan jalan itu dibangun.
Salah satu prasyarat yang paling mendasar adalah pendidikan. Pendidikan yang
dimaksudkan lebih sebagai penanaman sikap toleransi, terbuka, mau
mendengarkan dan bertukar pendapat secara elegan dan santun, cerdas dan
dewasa. Yang tidak boleh dilupakan di dalamnya adalah penanaman sikap
antikekerasan serta sikap dialog dalam masyarakat majemuk ini.

Harus diakui bahwa dunia kehidupan kita masih terpuruk dalam kubangan
politik tanpa moral. Memang di sana-sini tetap ada, bahkan cukup banyak,
yang bisa diacungin jempol. Moral memang tidak cukup hanya bicara
hitam-putih. Namun, mampu menemukan titik-titik cahaya samar, di tengah noda
hitam yang mungkin buram. Situasinya sangat tidak mudah, sehingga sulit pula
menemukan langkah serta jalan untuk keluar. Atau minimal sedikit lepas dari
jepitan kepentingan dan himpitan sikap cari keuntungan. Itu berarti jalannya
masih panjang, harapannya masih lebih terkesan sebagai impian.

Tahun 2003 belum menjadi masa harapan. Apalagi jelang Pemilu 2004 tabrakan
serta permainan kepentingan serta cari keuntungan akan makin kuat, bahkan
sering kali jelas kasat mata. Oleh karena itu, membangun politik yang
bermoral belum akan terjadi. Yang bisa dibuat di tengah situasi seperti itu
adalah membenahi dan secara perlahan membangun prasyarat kehidupan bersama
yang didasarkan etika, terlebih dengan menanamkan pendidikan bermoral. Bila
semakin banyak pihak berjuang untuk itu, tidak ikut bermain dalam
hiruk-pikuknya intrik politik, maka rekat-jaring hidup berbudi-moral baik
akan makin meluas dan menguat.

Akhirnya, perubahan hanya mungkin dengan langkah perlahan dan panjang dari
bawah. Berharap pada perubahan dari atas, sering hanya mimpi belaka. Toh,
ketika seseorang menjadi kaum elite, mereka akan cenderung lupa akan
kepentingan bersama. Mereka lebih mau mengamankan kedudukan dan
statusnya.***