[Nasional-m] My darling Migas,

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 12 Jan 2003 20:04:36 +0100


Kalau dibuat contoh kampungan, misalnya di kampung di halam dusun milik
pribadi ada pohon durian, musim buah durian bisa  makan durian sampai puas
tanpa bayar. Undang tetangga, teman sekolah makan durian pun bisa. Sisa
durian kalau mau bisa dijual untuk mendapatkan duit.

Minyak dan gas alam adalah salah satu hasil alam Indonesia yang sangat
berharga. Tidak usah repot diproduksi seperti membuat automobil, tetapi cuma
tinggal dipompa, didistribusikan penjualannya. Duit masuk kantong, demikian
bisa diartikan secara kasar.

Indonesia termasuk negeri penghasil Migas terbesar di Asia sebelah timur
teluk Persia.  Sebagai negeri penghasil minyak dan gas alam adalah anggota
dari pada negeri penghasil minyak yang namanya OPEC.

Dengan minyak dan gas alam [Migas] seharusnya juga bisa demikian seperti
contoh kampungan tentang durian.
Karena negara Republik Indonesia didirikan dengan  berkonstitusi yang antara
lain menyatakan bahwa kekayaan alam dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Jadi sesuai model durian kampungan ada paling tidak dua hal yaitu (a)
dipelihara dengan baik sebagai sumber penghasilan dan  (b) hasilnya
dikonsumikan semurah mungkin. Bukankah konstitusi memberi jaminan jaminan
untuk kemakmuran rakyat Indonesia?

Tetapi apa nyatanya, tahun 1974/75 ketika krisis Migas dunia, berbagai
perusahaan Migas di dunia mengeruk keuntungan berlipat ganda. Pertimana yang
katanya milik rakyat Indonesia mengalami kerugian 10 milyard yankee dolares.
Kebangkrutan diambang pintu. Penjahat di Pertamina dan konco-konco yang
mengelapkan duit sekian banyak  tidak dituntut?  Simasalabim penjahat
koruptor dan kakitangannya  kabur di alam kegelapan. Duit Rakyat hilang tak
berbekas dimakan rayap.

Agaknya pengalaman adalah guru terbaik, seperti kata pepatah, tidak berlaku
di Indonesia.

Apa jadinya sekarang sesudah hampir 20 tahun kemudian. Harga minyak di pasar
dunia naik. Naik pula harga BBM di Indonesia, negara yang mempunyai sumber
minyak dan gas alam. Celakanya rakyat negara Republik Indonesia, tidak
pandang apakah dia sembayang  5 kali sehari di Mesjid,
sekali seminggu di Gereja, tiap kali lewat di Klenting, di Kuil,
mayoritasnya rakyat Indonesia  miskin melarat! Ibarat sudah jatuh jatuh
ditimpa tangga.

Seorang teman karibku kemarin membacakan doa: Oh Alloh dimana dikau? Masakan
hidup kami terus melarat. Kurangkah atau salahkah kami berdoa? Ataukah
takdir sudah menjadikan kami miskin papah dan tak berhak atas hasil alam
kami anugerahMu?

Ataukah kami dininabobokan dengan namaMu sehingga otak kami menjadi paralis
tak beradaya untuk melihat alternatif yang lebih baik dan berhak hidup
sebagai manusia yang berharga?"

Seetalah dia membacakan doanya saya bilang sama teman tsb, bahwa doanya
bagus sekali, meskipun dengarnya seperti seorang yang putus asa. Semoga
Alloh mendengar doamu, kataku.

Saya tambahkan bahwa salah satu hal yang menghambat perubahan ke perbaikan
hidup ialah kita selama ini mudah percaya dan tidak kritsis,  berlagak
masabodoh dan malah
membiarkan bandit-bandit memegang kekuasaan negara disegala tingkat di semua
lapangan dari pusat sampai ke pelosok daerah.

Suatu contoh yang jelas dan  tragis ialah DPR Indonesia  dipimpin oleh
seorang yang terbukti sudah bersalah dan dijatuhi hukuman, bedanya dengan
mafioso seperti Cosa Nostra ialah boss mafia menyetir organisasinya dari
dalam penjara, tetapi di Indonesia distir di luar penjara dalam kebebasaan
dengan segala imunitas serta previlegium tanggunan negara. Jadi bagaimana
bisa beres?

Saya katakan kepada temanku barangkali sudah waktunya kita menyadarkan diri
dengan pikiran dan pedoman yang jernih berkualitas pengabdian kepada rakyat
agar kekuasaan negarabisa  benar-benar berada ditangan rakyat. Tanpa kita
tidak belajar baik dan tidak  menilai dari pepatah yang mengatakan bahwa
pengalaman adalah guru terbaik, impian untuk hidup sewajarnya adalah impian
warna warni belaka dialam fantansi.

Semoga ada faedahnya.