[Nasional-m] Menyikapi Kenaikan Serentak

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 14 Jan 2003 22:56:29 +0100


Suara Karya
15 Jan. 2003

Menyikapi Kenaikan Serentak
@ Harga BBM, TDL Dan Telepon
Oleh Sugiyanto

Di negara mana pun; di atas bumi ini negara mempunyai kewajiban mensubsidi
kebutuhan rakyatnya yang tidak mampu. Karena itu, pencabutan subsidi atas
barang, seperti halnya BBM (Bahan Bakar Minyak) dan listrik, pada akhirnya
konsumen; yang umumnya rakyat kebanyakan yang harus menanggungnya.
Ujung-ujungnya, pencabutan subsidi tersebut akan bermuara pada kenaikan
harga barang.

Pencabutan subsidi telah menyebabkan terjadinya eskalasi harga. Tetapi,
pemberian subsidi yang diberikan dengan cara memberikan subsidi atas barang,
sesungguhnya yang menikmati keuntungan paling besar adalah mereka yang
justru sccara ekonomis mampu. Dengan harga subsidi, mereka yang kemampuan
membayar harga yang tidak disubsidi, justru menikmati manfaat paling banyak.

Dengan ilustrasi seperti ini, maka sesungguhnya sangat jelas bahwa pemberian
subsidi dengan cara memberi subsidi atas barang, khususnya seperti BBM tadi
tidak tepat sasaran, bahkan terasa tidak adil. Karena itu masalah yang
mendasar adalah terletak pada apa yang seharusnya disubsidi, siapa yang
seharusnya mendapatkan subsidi, dan bagaimana subsidi harus diberikan, kapan
pemberian atau pencabutan subsidi dilakukan?

Logic Error


Sudah cukup banyak alasan rasional dan empiris yang ditunjukkan untuk
memberi argumentasi pencabutan subsidi. Apabila subsidi tersebut diberikan,
dan diberikan atas barang, maka justru ketidakadilan yang terjadi. Tetapi,
justru ketidakadilan inilah yang digunakan oleh sebagian masyarakat untuk
menentang kebijakan pencabutan subsidi atas BBM dan TDL. Sedang telepon,
konsumennya pasti bukan masyarakat miskin, sehingga logis kalau telepon
tidak harus disubsidi. Subsidi seharusnya hanya diberikan atas barang yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat.

Dalam kasus BBM dan TDL tersebut, seharusnya subsidi hanya diberikan kepada
BBM minyak tanah atau solar, dan subsidi TDL diberikan kepada konsumen kecil
seperti pemilik rumah tipe R1 atau R2 dan tidak kepada seluruh konsumen.
Angka-angka Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memberikan gambaran
mengenai ketidakadilan jika subsidi tersebut diberikan kepada masyarakat
atas barang yang sesungguhnya tidak banyak dikonsumsi sebagian terbesar
masyarakatnya. Dari Susenas tersebut dapat diketahui, bahwa komponen
pengeluaran konsumsi untuk energi dari sebagian besar masyarakat yang
berpenghasilan rendah pengeluaran untuk energi tidak melebihi 0,01 persen
dari pengeluaran konsumsi. Atas dasar gambaran itulah, kalau subsidi
diberikan kepada seluruh jenis BBM jelas langkah yang tidak adil.

Kalau kebijakan pencabutan subsidi harus ditinjau kembali, maka yang logis
hanya untuk kasus minyak tanah dan solar, sedang untuk TDL hanya untuk
kelompok R1, R2 dan Sosial. Pada kasus solar, misalnya, ada logic error
dalam menentukan tarif. Logic error tersebut berkaitan dengan standar harga
internasional yang digunakan. Di pasar internasional, khususnya Singapura,
memang harga solar lebih tinggi dari premium. Konsumen terbesar solar adalah
dunia industri; sama dengan Indonesia. Tetapi, inilah yang berbeda, yakni di
Indonesia, yang dimaksud industri kecil adalah industri gurem dan lebih dari
itu industri di Indonesia sangat tidak efisien. Akibatnya, kenaikan harga
solar akan mempunyai eskalasi harga yang sangat kuat dan menimpa industri
gurem yang sangat banyak ditemukan di Indonsia.

Isu Korupsi


Saya sangat menaruh empati kepada konsumen terbanyak yang terpaksa harus
menanggung beban akhir kebijakan pencabutan subsidi BBM dan TDL. Tetapi,
saya jauh sangat tidak tega jika penyebab utama dan mendasar justru tidak
disentuh. Sungguh sangat disayangkan, bahkan perlu dikasihani, jika DPR-DPRD
dan para elite politik ikut menentang pencabutan subsidi BBM dan TDL ini,
tanpa memberi dukungan politik terhadap pembasmian korupsi secara total.
Apakah hal ini karena korupsi saat ini justru banyak melibatkan mereka, dan
justru memanfaatkan momentum ini untuk mengalihkan isu fundamental tersebut.
Sebagai rakyat, dan mereka itu pada mengaku wakil rakyat, saya justru
menantang hal tersebut. Sebaiknya, silahkan DPR mendukung total pembasmian
korupsi dan jangan melakukan korupsi sendiri.

Jaringan korupsi yang sudah sangat laten inilah yang juga menjadi sebab
laten mengapa eskalasi harga terjadi sangat kuat apabila harga BBM dan
listrik dinaikkan. Komponen biaya "siluman" ini; yang tidak lain merupakan
cerminan perilaku korup tersebut, rata-rata mencapai sekitar 25 persen dari
seluruh harga pokok penjualan produk. Apabila biaya siluman ini dapat
dihapus, kenaikan BBM dan TDL pasti tidak akan mempunyai eskalasi sekuat
saat ini.

Yang juga sangat aneh saat ini, para pengusaha pun yang merupakan komponen
jaringan korupsi ikut menentang habis-habisan kenaikan harga BBM dan TDL.
Padahal, apakah selama ini para pengusaha tidak melakukan praktek sogok?
apakah mereka tidak pernah melakukan penghindaran pajak? Beranikah mereka
sekarang menentang sogok dan tidak menghindar dari kewajiban membayar pajak?

Bukan tidak mungkin isu BBM ini akan mereka gunakan untuk mencuri peluang
mendapat keuntungan lebih. Bukan tidak mungkin akan banyak pengusaha akan
mengancam melakukan PHK dengan alasan kenaikan harga BBM. Dan dengan alasan
itulah, mereka saat ini mendapat dukungan dari pekerja untuk menentang
kebijakan pencabutan subsidi BBM dan TDL. Padahal semua kita tahu, selama
ini pengusaha selalu melakukan ancaman sama jika buruh menuntut kenaikan
upah. Dan, sumber dari ketidakefisienan pengusaha kita, tidak lain adalah
karena tingginya biaya siluman. Sebagian pengusaha kita masih berperilaku
tidak mau bekerja efisien, tetapi dengan tetap berkeinginan mendapat
keuntungan besar.

Perbaikan Mekanisme


Tuntutan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah adalah hal yang
wajar. Tetapi, manipulasi obyektivitas yang dilakukan dengan pembungkusan
demi kepentingan rakyat inilah yang tidak wajar. Mengesampingkan argumentasi
logis dan sekaligus menghidari tuntutan penyebab fundamental
ketidakefisienan ekonomi, dalam menentang subsidi BBM dan TDL cenderung
mengesankan isu BBM dan TDL tampak sebagai bola politik yang harus
ditentang. Yang sangat ironis, di antara penentang keras itu sesungguhnya
tidak punya kredibilitas, justru karena mereka itu bagian dari masalah
ketidakefisienan itu sendiri.

Bagi pemerintah sendiri, merevisi kebijakan yang tidak tepat, bukan suatu
yang haram. Berkaiaan dengan kasus BBM, TDL dan Telepon, revisi bisa
dilakukan khususnya terhadap subsidi solar, minyak tanah dan TDL untuk tarif
R1, R2 dan S. Untuk jenis BBM lain dan TDL lainnya, subsidi sudah tidak
diperlukan agar konsumen termasuk pengusaha bisa belajar efisien. Sedang
untuk tarif telepon jelas harus tidak disubsidi, tetapi menaikkan tarif
dalam kondisi perusahaan monopolis yang sudah sangat untung, jelas langkah
yang tidak bijak. Yang perlu dilakukan berkaitan dengan pemberian subsidi
saat ini adalah memperbaiki mekanisme penyaluran kompensasinya dan memilih
sasaran dan produk yang tepat ntk disubsidi.

Bagi pemerintah, tidak ada pilihan lain kecuali menempuh kebjakan "total
fooball" untuk merevisi kebijakan ekonomi yang menciptakan ketidak-efisienan
dan jangan berhenti pada pencabutan subsidi BBM. Praktek penghindaran pajak
harus dibasmi. Sebenarnya apabila pemerintah konsisten dalam membasmi
ekonomi biaya tinggi, selain akan meningkatkan kredibilitas, peluang untuk
menentang kebijakan yang rasional akan semakin kecil. Sayangnya, konsistensi
ini yang tidak tampak dari para pemimpin negeri ini. ***

(Penulis adalah staf pengajar dan peneliti
pada Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi FE Undip).