[Nasional-m] Kanibalis dari Pelumutan, Purbalingga (2)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Jan 18 03:12:03 2003


Sabtu, 18 Januari 2003  Berita Utama

Kanibalis dari Pelumutan, Purbalingga (2)
Agar Jadi Dukun Ampuh

DI RUANG TAHANAN: Sumanto berada di ruang tahanan Mapolres Purbalingga.
(Foto:Suara Merdeka/F10-68t)

''SAYA ingin jadi dukun yang ampuh,'' kata Sumanto mantap. Ucapannya itu pun
disuarakan dengan tenang, nyaris tanpa ekspresi. Menurutnya, untuk menjadi
dukun yang ampuh, laku yang menjadi syaratnya adalah dengan memakan daging
manusia. Karena itu, selain membunuh, dia juga nekat mencuri mayat di
kuburan. ''Tujuan saya membunuh, lalu memakan orang adalah biar bisa
membantu atau menolong orang yang kesusahan. Atau mengobati orang sakit biar
sembuh. Ya seperti dukun ampuh yang memiliki ilmu tinggi. Tetapi niat itu
tidak kesampaian,'' kata Sumanto yang mengaku berguru kepada Taslim saat
bekerja di Lampung.

Taslim yang dia sebut sebagai kiai itu adalah warga Kalikuda, Temanggung.
Sumanto berguru kepadanya pada tahun 1993-1994. Menurut gurunya itu, untuk
bisa memiliki ilmu tinggi ada 3 tingkatan. Tingkatan pertama bisa dicapai
bila telah makan 41 orang, tingkatan kedua 21 orang, dan ketiga 7 orang.
Tetapi syaratnya, orang yang akan dimakan harus sudah mati.

Sumanto niatnya memilih tingkatan terakhir yang dirasa tidak begitu berat.
Tetapi baru makan 3 orang, dia sudah keburu ditangkap. ''Setelah bebas nanti
saya tidak akan makan orang lagi karena perbuatan itu melanggar hukum. Cukup
tiga orang saja yang sudah menjadi korban saya. Saya menyesal dan siap
dihukum mati,'' ujar dia yang ternyata juga bisa sulap kecepatan tangan.

Taslim ternyata memiliki banyak murid di Lampung. Ada salah satu cara yang
diajarkan dia untuk bisa memiliki ilmu tinggi dengan cepat. Yaitu, mengambil
jari kelingking janin bayi yang masih dalam kandungan seorang ibu yang sudah
dikubur. Hal itu belum dilakukan, karena sulit untuk mendapatkan korban
sesuai dengan syarat tersebut.

Menurut gurunya itu, tindakan memakan orang yang mati itu sebenarnya
bertujuan untuk menghidupkannya kembali. Tetapi orang yang mati itu tidak hi
dup kembali seperti semula, tetapi hidup di dalam orang yang memakannya.
''Jadi, orang yang saya makan itu tidak mati, tetapi justru terus hidup di
dalam tubuh saya,'' ujarnya tenang.

Masa Kecil Normal

Selama tinggal di Lampung pada periode 1988-1996 Sumanto menikah dengan
Supriyati, gadis setempat. Mereka dikaruniai seorang anak bernama Titis
Wahyudianti yang kini sudah berusia 8 tahun. Sayangnya si istri meninggal
setelah melahirkan Titis. Anak itu kini tinggal bersama mertuanya di
Lampung. Sumanto membantah isu yang menyebutkan istrinya meninggal karena
dibunuh dan dimakan dia.

Sumanto adalah anak pertama dari 5 bersaudara dari perkawinan
Nuryadikarta-Samen. Adik-adiknya adalah Mulyati, Karyono, Siti Maryati, dan
Mulyanto. Hanya Mulyanto yang masih tinggal bersama ibunya di Pelumutan
Wetan. Sedangkan adik-adiknya yang lain sudah bekerja tersebar di
perantauan.

Bapak Sumanto, Nuryadikarta, mengatakan, masa kecil anak kesayangannya itu
dilewati secara normal seperti anak-anak lainnya. Tidak ada keanehan atau
sesuatu yang istimewa. Dia juga sekolah di SD bersama teman-temannya. Lulus
SD, Sumanto masuk di SMP. Namun entah mengapa dia mogok ketika SMP-nya
tinggal 4 bulan.

Setelah itu, dia merantau ke Lampung. Semenjak saat itu si bapak tidak
pernah tahu kabarnya. Kirim surat pun tidak pernah. Pulang ke Pelumutan
hanya sebentar, lalu ke Lampung lagi. Selama pulang dia jarang bercerita.
Tingkah lakunya dirasakan mulai aneh setelah pulang dari Lampung.

''Tetapi saya tidak tahu kalau dia pernah membunuh dan makan orang. Keanehan
itu antara lain Sumanto menjadi tidak banyak bicara kepada dia, emosinya
mudah memuncak. Kalau sudah emosi, dia berubah menjadi menakutkan. Dia juga
sering mengatakan pernah makan orang,'' katanya.

Nuryadikarta setiap hari tinggal di gubuk yang menjadi tempat istirahatnya
di belakang gubuk Sumanto. Kerjanya adalah mengumpulkan daun-daunan atau
kayu bakar untuk dijual. Tetapi kalau malam dia tidur di rumah istrinya atau
di gardu ronda. Sedangkan yang setiap hari memberi makan adalah istrinya dan
Sumanto. (Arief Noegroho-68t)