[Nasional-m] Islam Jalan Damai

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Jan 18 03:12:28 2003


Media Indonesia
 Jumat, 17 Januari 2003

Islam Jalan Damai
Muhtadin AR, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta


TULISAN Saudara Rumadi 'Belajar dari Kasus Ulil Abshar Abdalla' (Media
Indonesia, 3/1/2003) yang memberikan tekanan pada etika dan kebebasan dalam
mengekspresikan pendapat keagamaan, menarik untuk diberi catatan. Dalam
tulisan tersebut Rumadi memang mengkhawatirkan akan terjadinya pembungkaman
atas kreativitas dan kebebasan berpikir dalam memaknai dan memberi tafsir
kepada agama. Di samping menjadi salah satu bentuk soft terrorism, yaitu
teror atas kemerdekaan dan kebebasan berpikir dan berpendapat. Namun, Rumadi
melupakan akar persoalan yang sebenarnya terjadi, perselisihan antara Islam
liberal dan Islam fundamental.

Tulisan Ulil 'Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam Kita' (mungkin) memang
tidak perlu lagi diperdebatkan, karena hanya akan memunculkan militansi
dalam beragama. Munculnya tudingan sesat, kafir, bahkan darahnya dihalalkan
adalah contoh, betapa telah terjadi perdebatan tidak sehat dalam
mengonstruksi pemikiran keagamaan.

Situasi demikian, apabila tidak disikapi secara hati-hati, hanya akan
menjebak dan menyeret kita pada sikap fanatisme buta yang kemudian
memunculkan primordialisme atas nama agama. Untuk itu, perlu dikedepankan
'barometer' yang dapat dijadikan pijakan dan ukuran dalam bertindak.

Barometer ini sangat berarti karena munculnya perdebatan yang saling
berhadapan tersebut, jika dikaji secara mendalam, sejatinya bukan ditujukan
untuk membangun dan membentuk paradigma berpikir positif demi terwujudnya
tatanan masyarakat yang santun dan berkeadaban (civilized), tetapi lebih
sebagai 'perebutan otoritas' wacana keagamaan. Yakni, perebutan posisi
penafsiran agama sebagai wilayah 'sakral' yang tidak semua orang boleh
menyentuhnya. Penafsiran atas doktrin agama hanya boleh dilakukan oleh
mereka yang telah mendapatkan kriteria-kriteria tertentu, bukan oleh semua
pemeluk agama.

Di sinilah pemikiran Ritzer dalam A Multiple Paradigm Science (1975) tentang
'wacana' menarik untuk dikedepankan. Menurutnya, wacana dalam teori sosial,
sangat bersifat politik. Ia bukan lagi menjadi persoalan benar atau salah,
tetapi telah menjelma menjadi persoalan menang atau kalah. Kemenangan suatu
teori terhadap teori lainnya, menurutnya, lebih disebabkan karena para
pendukung dari teori yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan
dari pengikut teori yang dikalahkan. Dan sekali lagi, bukan karena teori
tersebut lebih benar atau lebih baik dari yang dikalahkan.

***

Berpijak pada ungkapan Ritzer di atas, maka sangat wajar apabila perdebatan
seputar pemikiran keagamaan harus berakhir di kepolisian. Ada semacam
kekhawatiran yang disertai kecurigaan dari keduanya (Islam fundamental dan
Islam liberal) mengenai masa depan Islam di Indonesia. Islam fundamental
khawatir jika ajaran Islam yang begitu luhur itu pada akhirnya nanti harus
tercerabut dari akarnya akibat kampanye yang dilakukan oleh Islam liberal
untuk membentuk masyarakat tanpa teks.

Sementara Islam liberal juga khawatir jika ajaran Islam itu hanya dimaknai
secara tekstual, sementara persoalan dunia yang kian hari semakin kompleks,
menuntut pemaknaan ajaran agama secara kontekstual. Ada banyak persoalan
yang secara letterlijk tidak ada dalam teks agama, dan itu berarti menuntut
para pemeluk agama untuk memaknainya secara kontekstual, yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman.

Menghadapi situasi yang kurang harmonis ini, kajian sosiologis terhadap
masyarakat sebenarnya akan menemukan relevansinya. Pertama, otoritas
pemahaman keagamaan sampai saat ini masih dimonopoli orang dan kelompok
tertentu. Setiap pemeluk agama belum sepenuhnya diberikan hak dalam
menentukan pilihan atas otoritas pemahaman keagamaannya. Akibatnya,
masing-masing kelompok otoritas ini memberikan definisi terhadap lawan,
disesuaikan dengan kepentingan kelompoknya, dan tidak sedikit yang bernada
'provokatif'.

Pemberian label lawan yang ditetapkan Islam fundamentalis dan Islam liberal
misalnya, sangat jelas sekali menunjukkan hal itu. Islam fundamental mendefi
nisikan bahwa 'lawan' yang harus disingkirkan adalah orang dan kelompok yang
tidak mau berpegang pada teks keagamaan, dan itu adalah Islam liberal.
Sementara Islam liberal mendefinisikan bahwa orang atau kelompok yang harus
disingkirkan adalah mereka yang sangat berpegang teguh pada teks, tanpa
melakukan pemaknaan ulang terhadap konteks yang terjadi di sekelilingnya,
dan itu adalah Islam fundamentalis.

Kedua, sampai saat ini, kajian terhadap pemahaman keagamaan masih
menempatkan masyarakat sebagai 'objek' ketimbang 'subjek'. Otoritas
pemahaman keagamaan belum menjadi hak setiap pemeluk agama, tetapi masih
menjadi milik para 'penguasa' agama. Masyarakat yang sejatinya juga pemeluk
agama belum sepenuhnya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan atas
otoritas pemahaman keagamaannya sendiri.

Hal demikian terlihat dari munculnya counter wacana 'kurang sehat' dari
masing-masing orang dan kelompok yang secara ideologi maupun metodologi
pemahaman keagamaan, sangat berbeda. Masing-masing penguasa agama belum
sepenuhnya 'rela' jika kelompok lain melemparkan wacana yang menurut
(kelompok)-nya dianggap salah dan membahayakan.

Paradigma berpikir semacam ini apabila dibiarkan terus berkembang, tidak
akan menyelesaikan masalah, bahkan cenderung memperuncing masalah, karena
kedua kelompok yang berseberangan tersebut selamanya akan selalu berhadapan.
Masing-masing akan memunculkan jurus baru untuk mementahkan argumen
lawannya, begitu seterusnya.

***

Kenyataan demikian merupakan peringatan keras yang menuntut kita untuk
bersikap waspada. Karena jika tidak, ke depan kita tidak hanya akan disuguhi
pemandangan munculnya sebuah tatanan masyarakat yang terkotak-kotak dalam
gerakan dan pemahaman keagamaan, sebuah masyarakat yang terpolarisasi dalam
sekat keagamaan yang sangat sempit dan tidak membebaskan, tetapi juga
munculnya masyarakat dengan paradigma berpikir tidak toleran, yang tidak
bisa menerima keberbedaan.

Pada aras demikian, mempertemukan antara Islam fundamental dan Islam liberal
merupakan suatu keharusan. Bertemu bukan sekadar mendialogkan gagasan,
tetapi menawarkan gagasan itu kepada publik (masyarakat) secara sehat tanpa
disertai pretensi apa pun terhadap kelompok lain. Artinya, sampai seberapa
jauh kedua gagasan tersebut memunyai concern dan pemihakan terhadap
persoalan-persoalan masyarakat.

Dengan posisi seperti itu, masyarakat tidak lagi akan menjadi objek dari
pemahaman keagamaan, tetapi berubah menjadi subjek bagi pilihan yang akan
ditentukannya, termasuk ketika mereka tidak menentukan pilihan.
Kecenderungan ke mana masyarakat akan membutuhkan konsep dan gagasan yang
ditawarkan keduanya, dapat dilihat dari respons, simpati, dan kebutuhan
masyarakat.

Memang sulit menerima keadaan demikian karena persoalan 'wacana' adalah
persoalan politis, yang tidak lagi bertutur tentang benar atau salah, tetapi
sudah bergeser menjadi persoalan menang dan kalah. Dan, inilah tantangan
terbesar kita. Untuk itu, keganasan Islam fundamental yang ingin menerjang
mereka yang tidak mau kembali kepada pemaknaan agama secara tekstual, harus
dijinakkan. Juga semangat Islam liberal yang ingin merobohkan bangunan
keagamaan secara tekstual, harus dikendalikan.

Bukankah Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin telah mengakomodasi semua
pemikiran yang ada, bahkan tidak hanya sesama (umat) Islam, tetapi juga
dengan umat nonmuslim. Bukankah Islam juga sebagai agama solihun likulli
zamanin wa makanin (sesuai untuk semua zaman dan tempat), tidak hanya
membutuhkan teks keagamaan, tetapi juga adanya pemaknaan yang sangat
kontekstual? Dan, itulah sebenarnya Islam sebagai jalan untuk meraih
kedamaian.***