[Nasional-m] Tamu-Tamu Allah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Jan 22 16:36:15 2003


http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=21277
Rabu, 22 Jan 2003

Tamu-Tamu Allah
Oleh M. Cholil Bisri

Sudah sekian puluh ribu saudara kita yang "menungu" di bangsal kebesaran
Allah untuk diterima menjadi tamu-Nya pada saatnya kelak. Seperti orang yang
berharap-harap cemas, menanti saat duduk di pelaminan, mereka menjadikan
zikir sebagai senandung tetap yang digumamkan tanpa henti hampir setiap
tarikan dan embusan napas mereka.

Mereka menikmati (baru) hanya menyebut-nyebut nama-Nya. Mereka seperti telah
mematok kebanggaan tak tergantikan ketika menyadari hanya seorang "hamba",
sebentar lagi akan menjadi Dluyuu fu r-Rohman, tamu-tamu Allah Yang
Mahakasih, yang terhormat. Mereka -dengan sangat rakus- meneguk dan
menenggak air berkadar energi tinggi, Zamzam. Sebuah suguhan luar biasa yang
didhawuhkan oleh Kanjeng Nabi sebagai.

"Azzamzamu limaa syuriba lah". Air Zamzam (bisa menjadi apa saja, menurut
kemauan peminumnya) untuk apa dia diminum. Ketika mereka pada hari pertama
memasuki "Bangsal Besar", Makkah Mukarromah, dengan busana seadanya,
selembar kain dan selembar selendang, mereka -barangkali dengan trenyuh-
bergumam terbata-bata.

"Hamba yang datang menghadap, ya Allah. Hamba yang datang hanya untuk
menghadapmu, bukan yang lain. Sungguh, segala puji, kenikmatan, dan
kekuasaan, hanya milik-Mu. Tidak ada yang menyekutui. Hamba yang datang
menghadap, ya Allah. Labbaik al-Laahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka
labbaik. Inna l-hamda wa n-ni’mat laka wa l-mulk, laa syariika laka
labbaik".

Ditahannya diri dan nafsunya untuk tidak melakukan yang semula boleh, yang
semula mubah. Mengharamkan kemubahan (ihram) dari beberapa yang mungkin
menjadi kegemarannya. Seperti mengoleskan wewangian. Mungkin, sejenak mereka
melupakan keadaan negeri mereka yang dilanda ketidaktentuan. Mereka hanya
merasa harus mengedepankan kesantunan ketika ingin menjadi tamu yang baik.
Tidak boleh "masuk" dalam pikiran mereka kecuali Asma Allah dengan segala
keindahannya. Tidak pula dimasukkan dalam benak mereka, kecuali mereka
sekarang sedang menjadi tamu Allah dan merasa pantas untuk itu. Karena itu,
di sela-sela sapaannya kepada Rumah Allah yang megah itu, mereka berkata:
"Ya Allah, Engkau Penyelamat, dari-Mu keselamatan, beri kami hidup dalam
keselamatan, ya Tuhan. Ya Allah, selalu tambahkanlah keagungan, kehormatan,
kemuliaan, wibawa, dan kebajikan pada Rumah-Mu ini. Segala puji hanya milik
Allah, seru sekalian alam, sebanyak banyaknya, karena Dia pantas untuk
dipuji, sesuai dengan keanggunan Zat-Nya dan keperkasaan kebesarannya.
Segala puji hanya milik Allah yang telah membuat kami sampai di sini dan Dia
Mahatahu yang kami layak untuk menghadap-Nya. Segala puji hanya milik Allah
dalam segala hal. Ya Allah, sungguh engkau telah memanggil kami untuk menuju
Rumah-Mu yang megah ini, kami telah menghadap atas undangan-Mu, maka
terimalah kami, ya Allah. Ampuni kami dan pantaskan semua tindakan kami.
Tidak ada Tuhan melainkan Engkau."

Ketika mereka berjalan mengitari "susunan batu hitam yang berbusana sutera
hitam" itu sebanyak tujuh kali putaran, mereka -pada tempatnya, kemudian-
membatin. Itu hanyalah susunan batu-batu, namun karena padanya melekat
"Kehendak Allah" untuk menjadi agung, anggun, terhormat, berwibawa, dan
tempat (sekaligus menjadi saksi) siapa pun untuk dapat didengar aduannya ke
hadapan Allah, maka siapa pun "menaruh" hormat, sehormat-hormatnya
kepadanya. Allah Mahakuasa untuk melekatkan kekeramatan kepada apa dan siapa
saja. Jika Allah memberi karunia kepada apa dan siapa saja, tiada yang dapat
menolaknya. Dan jika Allah tidak memberi kepada apa dan siapa saja, maka
tidak ada pula yang dapat menampiknya.

Demikian pula, kekuasaan. Jika Allah menghendaki melekatkan kekuasaan kepada
seseorang, maka tidak ada yang dapat mencegahnya. Begitupun, jika Allah
menghendaki menarik kekuasaan dari siapa pun, maka tidak ada pula yang
mempertahankannya. Di tangan-Nya semua kebaikan.

Ketika sudah sampai waktunya penghadapan, tanggal sembilan Dzu l-hijjah,
semua tamu Allah berbondong menuju Paseban Agung, Arafah. Di sana mereka
"diterima" tepat matahari menyentuh ubun-ubun, tamu-tamu itu disapa dan
mereka mengadukan, memohon, mencurahkan, serta menyampaikan isi hati.

Bersamaan dengan itu, pelanggaran atas larangan Allah dan dosa-dosa seperti
berderet dalam daftar kesalahan. Nurani mereka disentuh untuk mengakui
dosa-dosa dan mohon ampunan. Ya Allah, jika tanpa aku sadari atau memang aku
sengaja telah memasukkan kemunafikan dalam hatiku dan imanku, ampuni aku,
aku bertaubat kepada-Mu dan menyerahkan diri sambil mengucap: laa ilaaha
illa l-Lah, Muhammadun Rasuulu l-Laah. Ya Allah, jika tanpa aku ketahui atau
aku sebenarnya telah mengetahui, aku bersikap sombong, membohongi banyak
orang, pamer, tak tahu malu, dan lupa diri, aku mohon ampun, bertaubat,
berserah diri, dan mengucap: laa ilaaha illa l-Lah, Muhammadun Rasuulu
l-Laah.

Ketika tamu-tamu yang menghadap itu hanya berzikir, mengingat, dan
berkonsentrasi hanya kepada Allah, niscaya sengatan terik matahari tidak
terasakan. Bahkan, saat angin Arafah membelai mereka, seakan-akan kujur
tubuh itu dikipas lembut oleh bidadari-bidadari.

Saya di sana nanti akan mengadukan keadaan negeri saya. Saya akan memohon
supaya kebenaran datang mengalahkan kebatilan. Supaya warga bangsa saya
berbicara dengan nurani mereka dan sanggup menggunakan akal sehat mereka
untuk bersama-sama mensyukuri karunia Allah dengan melakukan tasharruf yang
benar. Sanggup untuk tidak menganggap yang bukan miliknya, bukan haknya,
dihindari, tidak diambilnya. Sanggup membangunkan kesadaran bahwa, meski
publik tidak melihat, tetapi Allah Maha Mengetahui. Lalu, kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan bersih menjadi terminal yang
didamba. Begitu pula, kiranya, saudara-saudara saya yang menjadi tamu-tamu
Allah kelak, berdoa untuk kebaikan Indonesia.
*. KH Cholil Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibien, Rembang