[Nasional-m] Mendalami Ide Islam Humanis

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Jan 24 02:00:36 2003


Jumat, 24 Jan 2003

Mendalami Ide Islam Humanis
Oleh Amir Mu’allim *

Mulai peristiwa kemanusiaan 11 September 2001 hingga saat ini, sejarah dunia
melukiskan wajah Islam sebagai agama yang eksklusif dan menyeramkan. Islam
dipahami sebagai agama yang antiglobalisasi, antiperadaban, dan penebar api
peperangan. Antipati Barat ditunjukkan dengan nyata terhadap penganut Islam,
mulai pelarangan aktivitas kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal,
pemberantasan jaringan-jaringannya, hingga ancaman-ancaman lain terhadap
negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam.

Masih sangat segar ingatan kita pada peristiwa tragedi kemanusiaan bom Bali,
lagi-lagi masyarakat dunia melihat komunitas muslim sebagai kelompok pertama
yang mesti bertanggung jawab. Peristiwa demi peristiwa menggambarkan dan
meletakkan Islam sebagai agama yang tidak beradab dan melakukan tindakan
ahumanis sebagai refleksi dari ajaran agamanya. Kata "jihad" yang dipahami
umat Islam sebagai perbuatan suci ternodai dengan pemaknaan sempit dan
dipahami umat lain dengan makna sebaliknya.

Karena itu, untuk melawan tuduhan tersebut, Islam sebagai agama rahmat bagi
seluruh alam wajib terus disosialisasikan oleh umatnya. Dengan begitu, citra
Islam yang babak belur bisa dipahami sebagai agama yang humanis, toleran,
transformatif, liberatif, dan beradab.

Dalam sejarah kemanusiaan, konflik, peperangan, dan kekerasan manusia selalu
dipicu faktor-faktor perbedaan kultural, peradaban, dan warisan peradaban
purba yang ditransformasikan ke dalam kepentingan subjektif manusia dan
kelompoknya serta bangsa yang berbeda.

Agama yang datang dari wahyu Tuhan maupun yang dimanipulasi manusia
digunakan untuk menegakkan kepentingan subjektivitas masing-masing sehingga
agama suci damai menjadi ajang pertumpahan darah antarmanusia. Secara
sosiologis, agama memiliki fungsi-fungsi psikologi sosial dalam proses
dialektis dirinya dengan Tuhan sehingga agama dipahami sebagai makna yang
unik dalam totalitas kehidupan manusia.

Keunikan agama direfleksikan ke dalam berbagai dimensi keagamaan. Antara
lain, dimensi ideologis, emosional, intelektual, dan ritual, yang secara
keseluruhan menjadi konstruksi pengalaman-pengalaman (religiusitas)
seseorang maupun kelompok-kelompok keagamaan.

Religiusitas yang memiliki banyak dimensi justru menimbulkan klaim-klaim
kebenaran agama sekaligus konflik kekerasan, baik global maupun lokal. Hal
ini digambarkan oleh John Hiek: "Satu Tuhan, tetapi banyak jalan."

Kendati humanisme cenderung sinis terhadap agama, mereka tidak lantas
menjadi ateis. Mereka, misalnya, melepaskan diri dari kerangka berpikir
teologis-metafisis, tetapi mereka tidak lantas menjadi amoral. Dalam
kerangka humanistik, mereka justru menemukan makna yang mendasar dari
religiusitas dan moralitas.

Humanisme religius adalah faith in action. Kenneth Phfer menyatakan bahwa
humanisme mengajari kita bahwa ini tidak bermoral untuk menunggu Tuhan agar
melayani kita. Kita harus bergerak untuk menghentikan perang,
kejahatan-kejahatan, dan brutalitas di abad mendatang.

Kita mempunyai kekuatan-kekuatan yang baik. Kita mempunyai derajat kebebasan
yang tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme menerangkan
kepada kita tentang apa pun filosofi alam. Kita bertanggung jawab pada
dunia, tempat kita hidup di dalamnya.

Sebagai paradigma pemikiran yang memperjuangkan martabat manusia, humanisme
diletakkan dalam konteks evolusi pemikiran manusia. Artinya, humanisme
merupakan tahapan dimulainya paradigma manusia sebagai pusat setelah alam
pikiran Yunani kuno peradaban Barat beranjak dari tahapan evolusi
kosmosentris.

Pada abad tengah, begitu tahapan kosmosentris berakhir, manusia kemudian
mengubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan pikirannya pada Yang Ilahi
atau teosentris. Dalam tahap ini, alam semesta dihayati sebagai buah karya
Tuhan dan semua mendapatkan maknanya dalam Tuhan. Dalam perkembangannya,
muncul kesadaran baru tentang kodrat dan hakikat manusia yang rasional dan
bebas, melahirkan kiblat baru pada kerangka antroposentris yang kritis,
tempat manusia menjadi titik pusat pemikirannya sendiri.

Humanisme Islam

Akan tampak dalam sistem keyakinan ini bahwa humanisme tidak menghendaki
suatu kekerasan. Nucholish Madjid mengungkapkan beberapa landasan teologis
untuk itu. Tetapi, yang penting, prinsip kekerasan tidak sesuai dengan
paradigma dunia manusia yang adil.

Kalau ditelusuri dalam sejarah Islam, mungkin dapat timbul pertanyaan
tentang cara-cara kekerasan yang dipakai oleh Islam. Tetapi, kalau dalam
sumber keyakinan dalam agama itu pun ditemukan landasan kekerasan, agaknya
yang perlu diperbaiki adalah interpretasi terhadapnya.

Kekerasan dalam masyarakat akan ada dan bersifat permanen. Dalam sejarah
manusia, kekerasan merobek-robek dunia semenjak Tuhan menciptakan manusia.
Menurut doktrin sosiologi Islam, sebab-sebab pokok kekerasan itu sudah ada
dalam watak manusia sendiri, seperti keinginan alamiah untuk melakukan
agresi, cinta kekuasaan dan kekayaan, serta dengki dan persaingan mencari
keuntungan. Ada pula yang berasal dari struktur sosial, misalnya, sikap
membangkang pada kekuasaan pusat atau sebaliknya.

Islam natural itu selalu pada posisi positif bahwa kebenaran harus menang
atas kekeliruan, kebaikan harus menang atas kejahatan, dan keadilan harus
memang atas kezaliman. Antagonisme antara perorangan, kelompok-kelompok, dan
bangsa-bangsa tak dapat dihindarkan.

Islam adalah sistem total dalam tata kehidupan manusia dan kehadirannya
bersifat ganda. Ia berwajah eksklusif, partikularis, promordial, ilmiah,
rasional, serta melepaskan penganutnya dari belenggu kepercayaan naturalis
mistis dan khurafat.

Islam juga dipenuhi identitas inklusif, universalis, dan mengatasi
(transcendent). Dengan demikian, dalam Islam, dikenal dua
pendekatan-pendekatan konflik atau purifikatif dan pendekatan
akomodatif-reformatif, kondisional, dan apresiatif sesuai keadaan yang
dihadapinya.
* Dr Amir Mu’allim MIS, ketua Program Magister Studi Islam (S-2) Universitas
Islam Indonesia (UII), Jogjakarta