[Nasional-m] Mengapa Masyarakat Tolak Jagad Jawa?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Jan 24 02:00:34 2003


Suara Merdeka
Jumat, 24 Januari 2003  Karangan Khas

Mengapa Masyarakat Tolak Jagad Jawa?
Oleh: Sudharto P Hadi

DEBAT tentang rencana pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa (PSJJ) di kawasan
Candi Borobudur terus bergulir. Bahkan Suara Merdeka hari ini menggelar
diskusi yang membahas masalah tersebut.

Alasan Pemda Jawa Tengah selaku pemrakarsa sepintas masuk akal. Pertama,
menata pedagang asongan dalam sebuah tempat yang disebut sebagai pasar seni,
agar Borobudur nampak teratur, bersih dan nyaman. Kedua, dengan menempati
lokasi menetap, pedagang bisa menjual dagangan dengan harga lebih tinggi.
Tetapi mengapa harus di gedung bertingkat tiga dan dengan biaya Rp 43
miliar? Kesan proyek mega itulah yang kemudian memunculkan polemik.

Penolakan datang dari berbagai kalangan. Para seniman berargumen penempatan
PSJJ dipandang sebagai menghilangkan nilai kesakralan Borobudur. Sedangkan
forum arsitek muda menganggap, PSJJ tersebut akan mencemarkan arsitektur
tata ruang Borobudur. Di kalangan masyarakat sendiri terdapat kelompok yang
setuju dan menolak.

Selalu Konflik

Sebagai aset wisata, Candi Borobudur terus dipoles. Setiap rencana polesan
selalu menimbulkan polemik, bahkan konflik. Pada 1984, seusai renovasi Candi
Borobudur, Deparpostel membangun Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB). Dalam
taman dibuat daya tarik yang terkait dengan keberadaan candi seperti museum,
pusat studi Borobudur, pusat konservasi arkeologi. Dalam taman tidak
diperbolehkan ada bangunan dan kegiatan yang tidak berfungsi sebagai
penyangga kelestarian candi.

Dengan titik-titik daya tarik yang lain, pengunjung diharapkan tidak
langsung menuju ke candi, tetapi terlebih dulu menyebar ke berbagai titik.
Dengan demikian beban candi tidak berat dengan kunjungan serentak. Namun
demikian pembangunan taman ini menimbulkan implikasi luas.

Awalnya penduduk di sektiar candi keberatan untuk pindah, karena khawatir
kehilangan akses terhadap wisatawan. Konflik antara penduduk dan pemrakarsa
proyek cukup tajam. Kendatipun berjalan alot, Taman Wisata Candi Borobudur
tetap berdiri. Kawasan taman ditetapkan dengan Keppres yang berada dibawah
kewenangan sebuah perseroan terbatas (PT).

Pengelola taman yang merupakan BUMN Deparpostel (waktu itu) memperoleh hak
paling besar dalam perolehan pendpaatan dari karcis masuk pengunjung.
Sementara itu pengelola Zona 1 yakni Direktorat Purbakala dan Zona 3,
Pemerintah Kabupaten Magelang yang memiliki wilayah mendapat bagian yang
kecil. Nampak bahwa sejak awal, kue Borobudur itu menjadi ajang perebutan di
antara berbagai kepentingan.


Kekecewaan masyarakat karena besarnya ganti rugi dan pemukiman pengganti
yang tidak sesuai meninggalkan luka. Kekecewaan itu kian mendalam ketika
dalam kawasan Zona 2 dibangun hotel yang dikelola PT Taman. Keberadaan hotel
ini dipandang melanggar ketentuan bahwa di Zona 2 tidak boleh ada bangunan
yang tidak terkait dengan konservasi. Kedua, hotel dalam taman menjadi
pesaing hotel-hotel milik masyarakat yang bertebaran di sekitar candi. Dalam
Zona 2 juga, dioperasikan kereta kelinci untuk pengunjung.

Kegiatan ini tentu tidak sejalan dengan fungsi Zona 2 sebagai zona penyangga
kelestarian candi, karena kebisingan dan asap yang ditimbulkan kereta mini
tersebut. Di sinilah nampak bahwa di mata masyarakat, PT pengelola taman
berorientasi pada keuntungan. Ia telah mengambil keuntungan terbesar dari
karcis masuk, masih pula membangun hotel yang berarti tidak memberikan
kesempatan pada usaha masyarakat untuk berkembang.


Pengalaman dalam konflik pembangunan taman wisata membuat masyarakat menjadi
kritis pada setiap rencana pembangunan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Tahun 1996, Departemen Parpostel juga ingin membangun Pertunjukan Sinar dan
Suara (Multi Media Show atau MMS) sebagai upaya untuk menambah daya tarik
Borobudur. MMS merupakan pertunjukan malam yang menceritakan kehidupan masa
lalu dengan siluet Candi Borobudur.

Dengan daya tarik baru ini diharapkan lama tinggal pengunjung lebih panjang.
Ketika peneliti amdal dan pemrakarsa melakukan konsultasi melalui temu warga
di beberapa pedukuhan, masyarakat balik menantang. Pertanyaan-pertanyaan
tentang apakah pendapat kami didengar? Apakah sebenarnya pemerintah telah
punya agenda sendiri, lalu mencari legitimasi kepada kami? Butir-butir
pertanyaan kritis tersebut sungguh di luar dugaan para peneliti, karena
ketika itu zaman reformasi belum mulai. Bahkan dengan nada meledek, seorang
penduduk menawarkan lahan tegalannya untuk lokasi MMS asalkan dia diberi
konsesi mengelola parkir.

Di mata penduduk, proyek MMS tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat
lokal. Dalam deskripsi kegiatan tidak ada upaya yang diarahkan untuk
memberikan nilai tambahan lokal bagi penduduk. Penonton yang dibidik MMS
adalah wisman yang semata-mata digiring untuk melihat daya tarik buatan
proyek tetapi tidak ada paket untuk melihat daya tarik lokal seperti suasana
pedesaan yang alami, hamparan sawah yang subur, kegiatan penduduk yang
membuat gula kelapa atau tarian jatilan khas Borobudur.

Ide Bagus

PSJJ yang akan memakan biaya Rp 45 miliar sebenarnya ide yang baik, yakni
memfasilitasi pedagang asongan supaya lebih tertib. Namun ketika ide itu
dikemas dengan kesan proyek mega, resistensi tidak hanya datang dari
pengamat. Setidaknya ada tiga alasan mengapa masyarakat menolak. Pertama,
kalau benar apa yang dikhawatirkan para seniman dan arsitek terjadi, yakni
mengurangi kesakralan Candi Borobudur, maka yang terjadi adalah menyusutnya
jumlah pengunjung yang berakibat menurunnya pendapatan masyarakat.

Terlebih lagi pihak-pihak yang khawatir sudah merencanakan mengsulkan kepada
Unesco untuk mencabut Borobudur dari daftar the world cultural heritage.
Dalam kasus rencana pembangunan MMS, Unesco bahkan sudah melayangkan surat,
kalau MMS dibangun di dekat candi yang mengancam kelestariannya, maka daftar
sebagai warisan budaya dunia akan dicabut. Kedua, rencana PSJJ mirip seperti
rencana pembangunan taman wisata dua puluh tahun yang lalu.

Polanya teknokratik dan top down. Para konsultan merancang desain, baru
kemudian menghimpun masukan dari masyarakat yang disebut sebagai
sosialisasi. Pola ini sangat jauh dari kaidah community based development
yang diklaim oleh pemrakarsa PS. Dalam community based, menghimpun masukan
itu bukan dari desain tetapi dari tahapan awal perencanaan yakni perumusan
masalah.

Artinya bahwa masalah semrawutnya pedagang asongan itu juga merupakan
masalah pelaku wisata bukan hanya masalahnya pemrakarsa dan konsultan.
Dengan demikian ketika tujuan dirumuskan akan mencerminkan pula tujuannya
pelaku wisata.

Langkah ini terus dilakukan dengan pelaku wisata dalam menganalisa keadaan,
mengidentifikasi berbagai alternatif kebijakan, memilih kebijakan yang
paling feasible, mengkaji dampak, baru kemudian bersama-sama memutuskan.
Kalau dilihat dari mata rantai community based planning seperti itu
setidaknya empat mata rantai dilewati oleh pemrakarsa dan konsultan. Ketiga,
PSJJ ini hadir dengan format PT (Perseroan Terbatas) yang bajunya setali
tiga uang dengan PT pengelola Taman. Logika sebuah PT tentu saja akan
mencari keuntungan sebagaimana ditunjukkan oleh kiprah PT Taman selama ini.

Rasa curiga masyarakat ini beralasan, karena PSJJ yang berangkat dari tujuan
menghilangkan kesemrawutan pedagang tetapi solusi yang diajukan adalah PSJJ
dalam gedung bertingkat tiga dengan biaya puluhan miliar. Usaha meraup
keuntungan memang selalu berpijak pada yang besar itu yang baik dan bukan
small is beautifu. Persoalannya adalah masyarakat Borobudur telah beberapa
kali berhadapan dengan proyek-proyek besar yang kenyataannya tidak memihak
kepentingannya.

Akankah sejarah kelam terus berulang? Mudah-mudahan saja debat publik PSJJ
yang terus berlanjut ini mampu membuka mata hati dan kata hati berbagai
pihak untuk belajar dari pengalaman masa lalu agar tidak terantuk di lubang
yang sama.(33)


- Prof Dr Sudharto P Hadi, dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro