[Nasional-m] Diskriminasi Sains terhadap Perempuan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Jan 25 01:12:07 2003


Jawa Pos
Sabtu, 25 Jan 2003

Diskriminasi Sains terhadap Perempuan
Oleh Sulfikar Amir *

Sore itu, Rosalind Franklin kedatangan seorang lelaki yang mengaku bernama
James Watson. Franklin kurang menyukai Watson yang tampak mencurigakan
tersebut, terlebih karena minatnya terhadap hasil X-ray crystallography yang
dikerjakan Franklin selama berbulan-bulan. Franklin tidak tahu bahwa sepuluh
tahun kemudian, Watson menjadi salah satu penerima hadiah Nobel karena
pertemuan singkat itu.

Franklin merupakan seorang ahli kimia lulusan Cambridge yang bekerja di
salah satu laboratorium King’s College di London. Dia sebenarnya telah lama
mengeluhkan kondisi kerja di universitas bergengsi tersebut. Segregasi dan
diskriminasi terhadap perempuan dialami pahit oleh Franklin.

Dia harus menempati sebuah laboratorium di lantai basement yang harus
melewati lorong dingin dan gelap. Dirinya dilarang masuk ruang makan dan
istirahat yang nyaman serta bergengsi di lantai atas karena hanya
diperuntukkan bagi para peneliti laki-laki. Tetapi, Franklin memilih
bertahan karena di situlah satu-satunya tempat dia bisa mengaplikasikan
teknik X-ray crystallography yang dikuasainya.

X-ray crystallography merupakan teknik yang digunakan Franklin untuk
memetakan lokasi setiap atom dalam protein yang dikristalkan. Hal itu
merupakan kontribusi penting Franklin dalam mempelajari biologi molekuler.
Tetapi, harga yang harus dibayar Franklin terlalu mahal. Pada usia 38 tahun,
dia meninggal dunia akibat kanker yang dideritanya karena kontaminasi
radioaktif selama beberapa tahun.

Empat tahun sepeninggal Franklin, James Watson dan Francis Crick menerima
hadiah Nobel dalam bidang kedokteran atas paper mereka tentang struktur DNA
yang berbentuk double helix yang merupakan penemuan revolusioner dalam
bidang genetika. Maurice Wilkins, koordinator riset tempat Franklin bekerja,
juga menerima hadiah yang sama atas kontribusinya dalam menguji model double
helix yang dikembangkan Watson dan Crick.

Diskriminasi Perempuan

Walaupun Franklin disebutkan dalam paper Watson dan Crick setebal satu
setengah halaman yang dimuat di majalah Nature tersebut, nama dia nyaris tak
terdengar dalam sejarah penemuan struktur DNA. Padahal, Franklin merupakan
orang pertama yang mendapatkan hasil empiris dari foto-foto struktur DNA
yang dimungkinkan oleh teknik X-ray crystallography yang dia kembangkan
selama bertahun-tahun.

Watson dan Crick merupakan dua sainstis ambisius yang dengan "licik"
memanfaatkan data empiris Franklin secara diam-diam ketika mereka berusaha
merekonstruksi struktur DNA. Dan, ketika dua nama tersebut menjadi selebriti
dalam dunia sains, nama Franklin tersimpan dalam laci sejarah yang paling
bawah dan nyaris tak tersentuh.

Franklin merupakan simbol diskriminasi perempuan dalam institusi sains
modern, suatu institusi yang dibangun atas nama rasionalitas dan bebas
nilai. Dia merupakan catatan sejarah, yakni bagaimana institusi sains
membuka ruang bagi dominasi gender yang menjadikan perempuan sebagai objek
penderita dari praktik hegemoni nilai-nilai maskulinitas.

Dan, Franklin tidak sendiri. Belasan bahkan puluhan nama perempuan dalam
sejarah sains modern menjadi saksi bisu tentang hak-hak perempuan yang
terbatasi hanya karena perbedaan biologis. Menurut Hilary Rose dalam Love,
Power, and Knowledge (1994), jumlah perempuan yang sangat sedikit dalam
daftar penerima Nobel bidang sains bukan merupakan kebetulan dan juga bukan
merupakan bukti bahwa laki-laki jauh lebih pandai daripada perempuan.

Kritik Feminisme

Lalu, kacamata apa yang bisa kita gunakan untuk memahamai fenomena ini?
Bukankah sains merupakan institusi untuk mencari kebenaran dan karena itu
tidak mengenal perbedaan sosial, kelas, dan gender? Ini jika kita berasumsi
secara naif bahwa kebenaran dalam sains bisa datang dari siapa saja. Tidak
peduli dia berkulit hitam, bermata sipit, berkelamin perempuan, atau bahkan
duduk di kursi roda seperti Stephen Hawking.

Sayangnya, sains bukan merupakan institusi yang seperti kita asumsikan.
Kebenaran dalam sains merupakan kebenaran yang diproduksi melalui struktur
sosial yang bersifat hierarkis, jauh dari sifat-sifat egaliter. Pada titik
inilah, kritik feminisme atas praktik sains menjadi relevan.

Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an membuka
mata kita bahwa sistem sosial masyarakat modern di mana kita berada memiliki
struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental.
Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya
ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang
merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern.
Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai
dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi
sains.

Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada
masalah termarginalisasinya peran perempuan seperti yang diilustrasikan
dalam kisah Franklin tersebut. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah
epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal.

Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum
laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan
representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan
relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat
maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan
destruktif.

Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn
Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan
terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang
antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai
sains feminis (feminist science).

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Kritik feminisme membuka mata kita
bahwa marginalisasi dalam proses produksi pengetahuan sangat mungkin
terjadi. Dan, marginalisasi tersebut tidak hanya terbatas pada dimensi
gender seperti yang dikritik kaum feminis. Tapi, tidak mustahil hal itu juga
terjadi dalam dimensi sosial lain seperti ras, etnis, dan budaya.
* Sulfikar Amir, mahasiswa program doktor di Department of Science and
Technology Studies, Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, NY, AS
(amirs3@rpi.edu)