[Nasional-m] Kemiskinan sebagai Komoditas Politik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Jan 27 23:36:09 2003


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/27/opi03.html

Kemiskinan sebagai Komoditas Politik


Berapa juta orang sebenarnya rakyat Indonesia yang kini menjadi miskin, baik
akibat krisis moneter (1997) yang kemudian menjadi krisis multidimensional
maupun karena kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat miskin
tidak jelas. Badan Pusat Statistik (BPS) belum pernah mengumumkan datanya.
Hanya ketika gejolak politik terjadi akibat pengumuman pemerintah mengenai
kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) harga BBM dan telpon (1 Januari),
pemerintah mendaftarkan 39,9 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan
yang ditargetkan untuk memperoleh subsidi kompensasi kenaikan harga BBM.
Sementara itu, sebelumnya beberapa media menyiarkan 50 juta orang hidup di
bawah garis kemiskinan dan 100 juta orang miskin.
Human Developmen Report (HDR) melaporkan di Jakarta, Kamis 27 Juli 2002,
53,3 persen rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Penduduk Indonesia
menurut sensus terakhir adalah 206,264 juta jiwa.
Namun dapat dirasakan bahwa jumlah orang miskin terus bertambah tiap tahun
karena kenaikan harga sembilan bahan kebutuhan pokok. Kemiskinan dapat
dilihat dari lemahnya daya beli yang mengakibatkan masyarakat tidak mampu
membeli obat, bahan makanan yang cukup, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Orang miskin pada umumnya makin menjadi miskin karena tidak berdaya dalam
segala hal yang dapat digunakan untuk memperjuangkan nasibnya, terutama
orang miskin di pedesaan di Pulau Jawa.
Mereka lebih bersikap nrimo (pasrah) dan menjadi silent majority. Mereka
kelihatan hidup damai di permukaan, tapi hati mereka bergejolak seperti api
dalam sekam. Jika situasi seperti ini disulut oleh kaum intelektual radikal,
chaos yang parah bukan tidak mungkin terjadi.
Orang miskin yang bekerja sebagai buruh di kota-kota di seluruh Indonesia
akan mudah dijadikan sebagai komoditas politik oleh para pemimpin buruh,
baik organisasi buruh yang berafiliasi kepada aliran politik tertentu maupun
yang tidak. Walaupun beberapa isi tuntutan para buruh, mahasiswa, dan
ormas-ormas memang wajar, tapi ada tanda-tanda tujuan akhir mereka justru
bermuara kepada kepentingan politik.

Tidak Membela Rakyat
Berbeda dengan situasi yang berkembang di Eropa pada zaman revolusi Prancis,
baik kaum ”radikalis” yang menentang kaum birokrat dan penegak hukum, maupun
para anggota legislatif, sama-sama berpura-pura memperjuangkan nasib rakyat
kecil. Namun tujuan mereka adalah untuk meraih kekuasaan atau uang.
Sejumlah tokoh radikal di Indonesia bahkan menjadi penganjur anarkisme.
Anarkisme ini ditandai dengan aksi-aksi pembakaran dan menginjak-injak
bendera dan patung presiden dan bertindak bringas.
Tingkah laku politik sejumlah demonstran yang melancarkan aksinya sejak
Senin 6 Januari 2003 dengan lima tuntutan antara lain, turunkan harga
kebutuhan pokok rakyat, tolak privatisasi BUMN, tolak pencabutan subsidi
rakyat, hentikan PHK massal, dan sediakan lapangan kerja, serta tangkap dan
sita aset-aset koruptor untuk subsidi rakyat tidak bisa lain, merupakan
kemunduran dalam cara hidup bernegara modern.
Aksi-aksi yang antara lain dipelopori Fuad Bawazier yang dikenal sebagai
Menteri Keuangan pada zaman Orde Baru berkembang lebih jauh dengan menuntut
pembubaran pemerintah Mega-Hamzah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
kemudian menyerukan agar segera dibentuk Presidium Nasional yang akan
berfungsi sebagi Pemerintahan Sementara (Jumat, 10 Januari 2003).
Pressure group dibenarkan hidup di negara demokrasi, selama tujuan gerakan
mereka tidak bersifat politik tapi bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi
masyarakat sebab mekanisme penggantian kepala negara sudah diatur dalam
konstitusi.
Pimpinan TNI memperhatikan gerakan ini dengan saksama dan menyadari bahwa
fungsi pressure group sebagai alat penekan dalam upaya mencari keadilan
telah berubah fungsi.
Itulah sebabnya mengapa Panglima TNI Endriartono Sutarto dan KSAD Ryamizard
Ryacudu menegaskan, Senin (13/1), di Karawang, bahwa selama tuntutan mereka
ada dalam koridor konstitusi, perjuangan aksi ini dapat dibenarkan. Namun,
jika sudah keluar dari landasan konstitusi, TNI tidak bisa membiarkannya.
Ini merupakan isyarat bahwa di tingkat sejumlah elite strategis masih kuat
keinginan untuk melakukan koreksi politik berdasarkan konstitusi atau UUD
1945 yang sudah diamendemen pada 10 Agustus 2002. Memang kritik yang
diartikulasikan dalam bentuk aksi demonstrasi yang tidak anarkis dapat
dibenarkan.
Ketua MPR Amien Rais tampaknya terpaksa membela konstitusi yang dirumuskan
MPR di bawah kepemimpinannya dengan menegaskan usai rapat pimpinan MPR,
Senin (13/1), ”tidak ada pintu dan jendela untuk diadakannya Sidang Istimewa
(SI) MPR yang akan membicarakan penggantian Presiden Megawati
 Soekarnoputri.”
Amien Rais sendiri padahal termasuk pengkritik tajam terhadap kebijakan
ekonomi Presiden Megawati Soekarnoputri. Ini berarti, kritik yang dilegalkan
dalam dalam sistem politik demokrasi tidak harus berlanjut dengan
pelanggaran konstitusi.
Kelompok-kelompok radikal perlu memahami bahwa walaupun mereka berhasil
menjadikan mengusung isu kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan dalam
kebijakan pemerintah, TNI, dan kelompok-kelompok pencinta demokrasi tidak
akan membiarkan mereka menjerumuskan negara ini ke tepi jurang kehancuran.

Sikap Megawati
Bagaimana seharusnya Presiden Megawati Soekarnoputri menyikapi
manuver-manuver politik ini, adalah pertanyaan yang perlu direnungkan
dalam-dalam oleh Megawati sendiri.
Sebagai pemimpin bangsa yang besar seperti Indonesia, seharusnya, Megawati
tidak justru secara emosional mengelurkan ucapan seperti ”menyesalkan aksi
demo yang menginjak-injak simbol kenegaraan” (Rabu, di Istana Negara, 8
Januari 2003).
Atau pernyataan menantang seperti yang diucapkan di Bali dalam rangka HUT 30
PDI-P 12 Januari 2003, ”Saya pilih kebijakan tidak populis” (menaikkan harga
BBM, TDL dan telepon). Kalau tidak populis berarti Megawati memilih
kepentingan burjuis?
Pernyataan ini jelas bertolak belakang dengan keinginan suaminya, Taufiq
Kiemas, yang disampaikan dalam kesempatan peluncuran bukunya juga di Bali 31
Desember 2002, yang meminta agar Megawati tampil cerdas, baik, dan bijak.
Megawati diharapkan turun dari kursi kepresidenan tanpa didahului krisis
seperti yang dialami presiden sebelumnya yang turun akibat kenaikan BBM dan
kenaikan harga beras. Megawati diharapkan senantiasa berpihak pada rakyat.
Megawati saat krisis seperti sekarang ini justru dituntut untuk merenungkan
kembali apakah kasus-kasus korupsi sudah berhasil diberantas. Apakah sikap
Megawati terhadap kasus Jaksa Agung MA Rachman yang dituduh tidak jujur
melaporkan harta kekayaannya dibiarkan mengambang, dan apakah janji-janji
yang diucapkan ketika memulai jabatannya sebagai presiden sudah dilaksanakan
dengan baik?
Agaknya hanya dengan kejujuran, kerendahan hati, tanpa sikap emosional,
Megawati dapat mendengar dengan sungguh-sungguh amanat penderitaan rakyat.
Jika hal itu dapat dilakukannya, Megawati dapat membangun kekuatan untuk
mengatasi chaos yang sedang terjadi seperti sekarang ini, bukan dengan
kekuasaan..
Memang, tuntutan para mahasiswa menyangkut pengnduran diri Megawati pada
saat masa jabatannya masih berlaku hingga tahun 2004, sangat tidak tepat.
Namun, nasihat Ketua PB NU Hasyim Muzadi, dalam pertemuannya dengan
Megawati, Kamis (8/1), perlu dipertimbangkan.
Dinasihatkan, agar Megawati tidak lagi mencalonkan diri jadi presiden dalam
pemilu tahun 2004 seperti halnya dengan Presiden Filipina Gloria Macapagal
Arroyo yang menolak (Kamis, 9 Januari) permintaan partai pendukungnya untuk
mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan tahun 2004. Arroyo malah
meminta rakyat Filipina mendukung agenda reformasi supaya Filipina tidak
hancur.
Masalahnya bagi kita sekarang dalam persiapan pemilihan presiden mendatang,
apakah UU pemilihan presiden dapat memberi peluang kepada tokoh nonpartisan
untuk tampil sebagai calon.
Sulit sekali membayangkan enam partai terbesar yang berkuasa sekarang ini
mau menampilkan calon independen yang sungguh-sungguh dinilai dapat membawa
bangsa ini keluar dari krisis tanpa harus diganggu dengan berbagai
kepentingan politik.
(SH/kustigar nadeak)