[Nasional-m] Negeri tak Bertuan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Jan 27 23:48:11 2003


Sriwijaya Post
Senin,  27 Januari 2003

Negeri tak Bertuan

Jeni Akmal
Pemerhati Masalah Sosial Politik

WALAUPUN pemerintah sudah menurunkan harga BBM dan membatalkan naiknya tarif
telepon, ternyata demokrasi mahasiswa beserta komponen masyarakat lainnya
tetap berlanjut secara meluas, baik dalam artian jumlah maupun ragam
permasalahan yang mereka persoalkan. Secara kuantitatif, demontrasi tidak
hanya dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat dan paguyuban-paguyuban yang ada
di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Ujung
Pandang, melainkan juga sampai menyentu masyarakat di pemukiman nelayan dan
petani, sekalipun yang selama ini disimbolkan sebagai rakyat miskin.
Secara konsepsional, nada kritik tidak hanya disasarkan pada upaya bagaimana
BBM, TDL dan telepon urung naik secara bersamaan, melainkan juga bagaimana
pemerintahan Mega-Hamzah “berhenti” di tengah jalan serta membersihkan
orang-orang di pemerintahaan dari “tradisi maling” uang rakyat. Aksi unjuk
rasa di Kota Jakarta, dengan lokasi sasaran masing-masing gedung MPR/DPR,
kediaman Presiden Megawati dan Istana Presiden, merupakan pertanda adanya
krisis kepercayaan masyarakat pada pemerintahaan, baik mereka yang ada di
eksekutif maupun legistalitfa dan yudikatif. Bahkan di kampus Institute
Pertanian Bogor (IPB) sendiri, mahasiswa menolak ketiga elemen pemerintah
ini untuk hadir dalam pengukuhan Prof Dr Ir Rohmin Dahuri, MS sebagai guru
besar Fak Perikanan dan Ilmu Kelautan pada hari Sabtu (18/1).
Tragedi ini tentunya menjadi cambuk dan pelajaran bagi pemerintah. Apalagi
alasan penolakan mahasiswa terhadap kedatangan pemerintah tersebut, karena
mahasiswa berpendapat bahwa yang menyebabkan “arus bawah” menderita selama
ini, karena ketiga elemen negara (baca: Eksekutif, legislatif dan yudikatif)
tersebut senantiasa “merampas” uang rakyat. Reformasi ternyata dijadikan
kesempatan oleh ketiga elemen tersebut untuk “mencuri” dana yang seharusnya
dinikmati oleh masyarakat “arus bawah”. Ternyata menumpangkan nasib “arus
bawah” kepada “arus atas”, bagaikan menumpangkan “kambing” pada “macam”.
Untuk itu, tinggal satu elemen lagi yang diharapkan “arus bawah”
memperjuangkan nasib, masa depan dan kelangsungan hidupnya, yakni mahasiswa
berserta kaum cendekiawan. Jika mahasiswa beserta kelompok cendekiawan
lainnya juga terpengaruh oleh rayuan gombal para “dajjal” yang duduk di
eksekutif, legislatif dan yudikatif, tentunya pertanda kiamat akan melanda
“arus bawah”
“Arus bawah “ bisa saja membentuk lembaga people power untuk melakukan hukum
rimba terhadap “arus atas” yang lebih disibukan dengan berbagai kegiatan
pesta pora menghabiskan uang rakyat. Rasanya sulit bagi kita untuk mencari
siapa diantara anggota eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tidak
memaling uang rakyat. Baru beberapa hari menikmati jabatannya sebagai
Gubernur Lampung, Alzier Diani Tabrani, dinyatakan resmi jadi tersangka,
karena terlibat 6 kasus penipuan dan penggelapan (Sripo, 21/1). Jika tidak
ada “apa-apanya”, tentu mayoritas anggota DPRD Propinsi Lampung tidak akan
memilih Alzier Diani Tabrani sebagai Gubernur.
Inilah bahayanya tradisi KKN kalau ditumbuhsuburkan dalam suatu negara, arus
bawah kian terpuruk dalam drama “ketertindasan” dan arus atas berpesta pora
dengan berbagai kemewahan. Bahkan di Sumatera Barat sendiri, semua anggota
DPRD-nya terlibat KKN (Republika, 20/1). Padahal Ketua DPRD Sumatera Barat,
Drs H Arwan Kasri, disamping seorang dosen senior Fak Ekonomi Unand, juga
digelari masyarakat sebagai ulama populer dan penuh dengan berbagai ide yang
cemerlang. Perilaku “busuk” legislatif juga diperlihatkan anggota DPRD Jawa
Barat yang makan uang kadeudeuh masing-masing Rp 250 juta per orang.
Demikian juga halnya dengan Ir Akbar Tanjung yang jelas-jelas sudah terlibat
penyelewengan dana nonbugetter Bulog, masih saja melontarkan berbagai alasan
untuk mempertahankan posisinya sebagai Ketua DPRD RI.
Apa didikan politik membuat rasa malu manusia menjadi hilang, hati manusia
jadi keras dan tampilannya menjadi “muka tembok”? Hal yang sama juga dialami
oleh para wakil rakyat yang tersebar di berbagai daerah Republik Indonesia
ini. Aparatur negara secara diam-diam berupaya membagi-bagi “kue rakyat”
dengan strategi yang demikian sangat halus dan rapi sekali. Untuk itu wajar
manakala aparat hukum tidak pernah berhasil mengungkap dan menangkap praktek
money politics di DPRD pada hampir setiap pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota. Inilah yang dikatakan sosiolog dari Univ Malaya Prof Dr Husein
Alatas dengan korupsi berantai. Dalam korupsi berantai, korupsi dilakukan
secara kolektif. Ketika satu orang dipermasalahkan, maka sekian banyak orang
terseret olehnya.
Organisasi Pembodohan
Menurut Dr Komaruddin Hidayat, bangsa ini kian terjerat dalam kubangan The
Self Destroying Nation, bangsa yang sedang menghancurkan diri sendiri
(Kompas, 23/1). Proses penghancuran itu mereka lakukan dalam bentuk
berlomba-lomba melakukan tindakan tidak terpuji, melanggar hukum dan ajaran
agama. Siapapun politisnya, entah yang duduk di pemerintahan, DPR dan
penegak hukum, ingin mencitrakan diri besih, cinta bangsa dan berpihak pada
masyarakat miskin. Tidak seorang pun yang berani minta maaf dan merasa
bersalah dengan perilakunya, sehingga tidak bersedia mundur dari jabatan apa
pun bentuknya. Bahkan demontrasi yang digelar besar-besaran dinyatakan
sebagai bentuk rekayasa “empat kekuatan besar” untuk menggusur posisi
Megawati Soekarno Putri dan Hamzah Haz, masing-masing sebagai Presiden dan
Wakil Presiden (Sripo, 23/1).
Pengalaman selama ini menunjukan bagaimana negara melalui aparuturnya secara
efektif mejalankan pengawasan yang ketat terhadap masyarakat melalui jalan
kooptasi dan mobilisasi dengan membentuk sekian banyak organisasi
“pembodohan masyarakat”. Kaum buruh, tani dan nelayan misalnya sebagai
elemen penting arus bawah bukan hanya “disingkirkan” dari “drama negara”,
tetapi juga dibungkam, sekaligus dihilangkan hak-haknya oleh pelaksana
negara. Bahkan Jaringan Pengaman Sosial (JPS) yang seharusnya diperuntukan
untuk arus bawah, ternyata juga dibagi-bagi oleh arus atas. Dalam umurnya
yang hanya tiga tahun, JPS dikotori dengan kegiatan korupsi dalam berbagai
bentuk: penyelewengan dana bantuan, kesalahan prosedure, serta kekeliruan
administrasi. Hingga Desember 2000, saat program ini dihentikan, tak kurang
dari 2.365 pengaduan menyangkut korupsi yang tercatat di Unit Pengaduan
Masyrakat Tim Koordinasi Pengelolaan Program JPS (Kompas, 2002:399).
Ternyata pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang dikatan legitimate dan
pemerintahan wong cilik, tidak mampu menterjemahkan gerakan-gerakan sosial,
moral dan bahkan politik sekali pun dalam masyarakat yang semakin kuat
menetang realitas dari arti pembangunan nasional, kepentingan umum dan
pemerintah sendiri, yang dimanipulasi hanya untuk kepentingan pihak yang
berkuasa, keluarga dan “keluarga”, serta negara-negara superpower.
Tentu pemerintah tidak mengharapkan kemarahan masyarakat akar rumput yang
terakumulasi dala sebuah people power akan terulang kembali menurunkan
pemerintahan yang berkuasa. Aksi unjuk rasa Suara Ibu Peduli pada bulan
Febuari 1998, diikuti tindakan spontan kaum ibu membuat nasi bungkus untuk
para mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa menuntut reformasi, ternyata
telah mengakibatkan jebolnya otoritasi pemerintahan Orde Baru. Seharusnya
pemerintah belajar dari sejarah tumbangnya sebuah kekuasan. Apa
mentang-mentang mendapat “perlindungan” dari Amerika, sebagaimana dikatakan
Yopie Lasut, yang dikutip dari Suparlan, pemerintahan Megawati menjadi
sombong dan angkuh, sehingga tidak peduli dengan teriakan, tetesan air mata
serta isap tangis yang ada di sekelilingnya.
Ternyata, pemerintah selama ini tidak menyadari bahwa prilaku serta sikap
kesehariannya telah melahirkan “musuh-musuh” buat dirinya. Kesempatan untuk
memimpin dan mewakili rakyat, ternyata mereka menafaatkan untuk menumpuk
kekayaan serta memperlancar dan memperkuat kekuasaannya. Kritikan-kritikan
yang dilontarkan dari luar struktur, dianggap angin lalu. Birokrasi yang
berkonotasi “suap” wakil rakyat yang “yes man” dan yudikatif yang “sumut”,
ternyata telah mebebani bangsa ini dengan berbagai utang yang membelitnya,
baik utang uang, harta benda maupun hutang budi dan politik sekalipun.
Hal ini meyebabkan bangsa ini tidak mampu berbuat apa-apa. Kebenaran yang
seharusnya diperjuangkan, ternyata harus “dikubur hidup-hidup”, karena orang
atau negara yang melakukan kesalahan adalah “majikan” yang mesti kita
hormati. Padahal negara-negara seperti Amerika, pasca Indonesia Merdeka
senantiasa mensupport timbulnya berbagai tragedi berdarah di Republik ini.
Apa tanpa Amerika, bangsa ini akan mati kelaparan?.
Kita memang terbiasa mencari “kambing hitam” ketika menghadapi permasalahan.
Sama artinya, “buruk muka cermin dibelah”. Kita tidak terbiasa mengakui
kesalahan, kekurangan dan kelemahan diri sendiri. Ketika krisis datang,
pendekar bangsa berkilah bahwa semuanya ini karena dosa Orde Baru, Orde
Lama, kolonial Belanda, Amerika dengan Yahudinya. Yang benarnya, penyebab
krisi adalah pemimpin yang tidak mampu ditauladani oleh masyarakat yang
dipimpinnya. Sebagai masyarakat paternalistik, ketauladanan arus atas sangat
penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Serta memulihkan harga
diri bangsa yang sudah “tergadai’ dengan harga murah. “Nolnya” ketauladanan
pemerintah, ternyata menjadi penyebab mengapa bangsa ini kian sulit untuk
diajak berurun rembug.
Bagaimana mungkin rakyat taat hukum, kalau setiap saat “ibu bapak penguasa”
penguasa seenaknya melanggar hukum dengaan tanpa resiko sedikit pun.
Bagaimana pegawai rendahan tidak malas dan korupsi kecil-kecilan, kalau
bosnya petantang-petenteng hilir mudik hidup mewah hasil dari “maling”.
Inilah fenomena negeri tak bertuan. Negeri yang kehilangan figure pemimpin,
sehigga masyarakatnya bermain menurut selera masing-masing. Pimpinan
berkuasa, masyarakat tidak mau dikuasai; pemimpin pintar, masyarakat tidak
pernah bertanya; pemimpin kaya raya, masyarakat tidak mau diatur. Perbedaan
mana yang memimpin dan mana yang dipimpin, hanya dapat kita lihat pada
acara-acara protokoler kenegaran. Diluar itu, “siapa yang tahu”.
Fenomena ini sebagai pertanda akan adanya revolusi sosial di negeri ini,
jika tidak diantisipasi dengan muncul pemimpin yang kharismatis dan menjadi
panutan mayoritas masyarakat Indonesia.