[Nasional-m] RDI Untuk Cicil Utang Luar Negeri

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 30 04:24:06 2003


Suara Karya
30/1/2003


  RDI Untuk Cicil Utang Luar Negeri
@ Keterlibatan Daerah Dalam Pelaksanaan
    Proyek Diperbesar


JAKARTA (Suara Karya): Mulai tahun anggaran 2004, pemerintah akan
menggunakan dana di Rekening Dana Investasi (RDI) untuk membayar cicilan
pokok utang luar negeri. Total saldo RDI sendiri, sampai akhir Desember
2002, mencapai Rp 21,5 triliun. Sementara itu, berdasarkan audit Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), puluhan triliun dana RDI yang
dipinjamkan ke berbagai instansi mengalami kemacetan dalam pengembaliannya.

"Asal muasal RDI 'kan pinjaman luar negeri. Kemudian RDI dipinjamkan kepada
BUMN dan dikembalikan kepada pemerintah pusat dalam bentuk cicilan. Menurut
pemerintah, RDI ini memang akan dikembalikan kepada fungsi awal, yaitu untuk
membiayai cicilan utang luar negeri," kata Menkeu Boediono dalam rapat kerja
dengan Komisi IX DPR di Jakarta, kemarin.

Menurut Dirjen Lembaga Keuangan (Depkeu) Darmin Nasution mengungkapkan,
saldo rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk RDI dan
Rekening Pembangunan Daerah (RPD) per 31 Desember 2002 mencapai Rp 21,59
triliun. Namun dia mengakui, itu merupakan angka sementara karena belum
diaudit BPKP.

Saldo itu sendiri terdiri atas RDI dalam bentuk rupiah sebesar Rp 8,749
triliun, RDI dalam bentuk valas senilai Rp 12,388 triliun, dan RPD sebesar
Rp 458,5 miliar.

Ditanya apakah bisa RDI dipakai untuk membiayai defisit anggaran, Boediono
mengatakan bahwa dalam konteks untuk membayar cicilan utang, itu sah-sah
saja. "Kalau untuk itu oke. Tetapi kalau digunakan untuk macam-macam, kita
melanggar prinsip akuntasi keuangan negara - juga prinsip kehati-hatian,"
katanya.

Boediono juga mengingatkan, penggunaan RDI yang tidak sesuai dengan peran
semula akan menimbulkan inflasi. "RDI adalah saldo di BI yang tidak ada
padanannya seperti pajak atau yang lain. Itu akan keluar sebagai uang
primer. Jadi, penggunaan RDI di luar untuk mencicil utang luar negeri pasti
menambah jumlah uang beredar. Pada gilirannya, itu tentu menyebabkan BI
menarik kembali dana tersebut ke dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia
(SBI).

Namun Boediono mengakui, hanya sebagian saja pembayaran cicilan pokok utang
luar negeri yang bisa dipenuhi RDI ini. "RDI ini 'kan hanya sebagian yang
diteruspinjamkan. Yang tidak dipinjamkan memang tanggung jawab pemerintah -
dalam konteks ini APBN. Tetapi pembayaran utang luar negeri dengan RDI ini
mungkin baru bisa dilakukan pada tahun 2004. Untuk 2003, sebaiknya kita
tetap berpegangan pada APBN yang ada saja," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, Staf Ahli Menkeu Anggito Abimanyu mengungkankan
bahwa Menkeu mengeluarkan kebijakan baru dalam pelaksanaan proyek pada tahun
ini dengan memperbesar keterlibatan daerah dalam perencanaan maupun
pelaksanaan proyek. "Selama ini, semua ditangani pusat sehingga daerah tidak
merasa memiliki proyek," katanya.

Menurut Anggito, kebijakan baru itu diharapkan bisa mengurangi kebocoran
dalam pelaksanaan proyek. Untuk itu pula, ucapnya, pemerintah mengeluarkan
skema on lending. "Bentuknya bisa bermacam-macam. Baik dari sisi sumberdaya
manusia, kepemilikan (ownership), maupun daerah pendamping (counterpart),"
kata Anggito.

Dengan kebijakan baru ini, daerah diberi tanggung jawab lebih besar. Bahkan
daerah yang mampu diharuskan menyediakan daerah pendamping (counterpart).
Dengan demikian, dalam pelaksanaan proyek, daerah yang memiliki kapasitas
fiskal cukup mampu bisa mengatur sendiri pelaksanaan proyek serta mengawasi
pula daerah pendampingnya.

Anggito menuturkan, kebijakan itu akan mengubah seluruh wajah pelaksanaan
proyek pada tahun ini. Kebijakan tersebut juga sebagai langkah antisipasi
dalam rangka mengurangi kebocoran proyek yang selalu terjadi dalam beberapa
tahun terakhir ini. "Itu kemajuan cukup siknifikan," katanya.

Namun Anggito tidak dapat menyebutkan mekanisme kebijakan baru ini secara
lebih rinci. "Itu bisa ditanyakan pada Dirjen Anggaran atau Dirjen
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah," kilahnya.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala BPKP Arie Soelendro mengungkapkan,
berdasarkan hasil audit RDI tahun 2000, terungkap bahwa jumlah RDI mencapai
Rp 83,67 triliun. Itu terdiri atas dana tunai sebesar Rp 12,61 triliun,
tagihan kepada 552 debitur (92 BUMN, 229 BUMD, 26 pemdaprov, 187
pemdakab/kota, 18 nonpemerintah, dan eks bantuan dana proyek) senilai Rp
71,06 triliun.

Menurut Arie, sekitar 5,23 persen tagihan RDI (melibatkan 149 debitur)
ternyata macet. "Nilainya sekitar Rp 3,58 triliun dari total hak tagih
pemerintah sebesar Rp 68,37 triliun," katanya.

Selain itu, sebanyak 142 debitur (58,27 persen) atau total Rp 39,84 triliun
masuk kategori tagihan kurang lancar. Sementara yang masuk kategori
diragukan mencakup 48 debitur dengan total tagihan Rp 1,62 triliun atau 2,37
persen. Lalu untuk kategori kurang lancar mencakup 142 debitur dengan total
hak tagih sebesar Rp 39,84 triliun atau 58,27 persen.

Selebihnya, 118 debitur dengan total hak tagih Rp 5,85 triliun atau 8,56
persen masuk katagori dalam perhatian.

Sementara itu, kualitas hak tagih pemerintah yang masuk kategori lancar
mencakup 95 debitur dengan nilai hak tagih sebesar Rp 17,48 triliun atau
25,7 persen.

Arie membeberkan, 10 debitur dengan tagihan lebih dari Rp 1 triliun masuk
katagori tak lancar - antara lain PT PLN sebesar Rp 28,67 triliun, Bank
Indonesia Rp 3,56 triliun, PT PANN Rp 3,04 triliun, PT BPUI sebesar Rp 1,48
triliun.

Sementara yang masuk kategori dalam perhatian antara lain PT Dirgantara
Indonesia sebesar Rp 1,08 triliun. Sedangkan yang masuk kategori lancar
hanya PT Telkom, Pertamina, dan PT Gas Negara - masing-masing dengan nilai
hak tagih Rp 8,94 triliun, Rp 1,46 triliun, dan Rp 2,68 triliun.

Terkait kurang lancarnya pengembalian dan RDI ini, Arie mengatakan bahwa itu
kemungkinan karena krisis, kelemahan dalam perencanaan, pelunasan
proyek-proyek di pemda tidak dianggarkan dalam APBD, dan banyak proyek
nonkomersial yang merupakan penugasan pemerintah pusat.

Arie mengatakan, BPKP hanya melakukan audit atas RDI, RPD, dan SLA yang
dipakai hingga 31 Desember 2000 karena Menkeu baru meminta BPKP mengaudit
pada pertengahan 2001.

Menurut Darmin Nasution, RDI yang disetor ke APBN mencapai Rp 6,04 triliun.
Untuk APBN 2002, RDI yang disetor adalah sebesar Rp 4,1 triliun. Sementara
untuk APBN 2003, RDI yang disetor ini mencapai Rp 7 triliun. darmin sendiri
mengatakan bahwa pemerintah akan berupaya melakukan restrukturisasi RDI yang
macet.

Darmin juga menyebutkan, pada tahun 2001 dan 2002 pemerintah kembali
melakukan peneruspinjaman RDI - antara lain untuk Pelni sebesar 15,5 juta
Deutch Mark, BNI 11,7 Deutche Mark, PDAM Denpasar Rp 8,31 miliar, Petrokimia
18,68 juta dolar AS, PDAM Medan 13,25 juta dolar AS, dan PT KAI 6 juta dolar
AS. (N-1)