[Nasional-m] Progresivitas TNI/Polri

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Aug 29 00:00:32 2002


Kompas
Kamis, 29 Agustus 2002

Progresivitas TNI/Polri
Oleh A Malik Haramain

ADA yang menarik dari perhelatan akbar Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) 2002 beberapa waktu lalu, yaitu sikap
progresif Fraksi TNI/Polri dalam proses Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945. Sikap progresif itu terutama ditunjukkan F-TNI/Polri dalam
mengusulkan agar Komisi Konstitusi dimasukkan dalam pasal Aturan Tambahan
UUD 1945.
Alasannya, bila Komisi Konstitusi diatur dalam pasal Aturan Tambahan, maka
dasar hukumnya akan betul-betul kuat dan legitimate, dibanding bila hanya
dimasukkan dalam Ketetapan MPR (Tap MPR). Bahkan salah satu anggota
F-TNI/Polri, Tatang Kurniadi, menegaskan, Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR
tentang Komisi Konstitusi masih mengandung ketidakpastian (Kompas,
12/08/2002).
Selain itu, progresivitas F-TNI/Polri diperlihatkan dari sikap legowo-nya
dalam menerima keputusan penghapusan wakil TNI/Polri di MPR maupun DPR tahun
2004. Sikap ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai sikap maju dan
reformis. Pasalnya, selama ini masyarakat masih mempertanyakan sikap
sesungguhnya TNI/Polri, apakah betul-betul rela dan mau keluar dari MPR/DPR
atau masih berusaha bertahan.
Meski sikap formal ini harus ditunggu konsistensinya, karena kita harus
melihat bagaimana rekomendasi TNI/Polri dalam mengusulkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Partai Politik dan Pemilu, namun untuk sementara waktu,
sikap dan keputusan politik F-TNI/Polri yang ditunjukkan dalam ST MPR 2002
lalu patut diapresiasi. Selain itu, perubahan ini akan kian mendorong upaya
reposisi TNI dari domain politik praktis dan tentu saja memiliki poin bagi
profesionalisme TNI/Polri ke depan.
Tulisan ini tidak berusaha membahas (kembali) proses dan hasil Perubahan
Keempat UUD 1945. Namun, lebih memfokuskan pada sikap politik TNI/Polri yang
sebetulnya dianggap "kontroversial" alias "kebablasan", bila dilihat dari
sikap dan kultur konservatif (alergi terhadap perubahan) yang melekat pada
tubuh militer Indonesia selama ini.
Sejumlah catatan
Terlepas sepakat atau tidak dengan penilaian di atas, yang jelas sikap TNI/
Polri tetap memancing sejumlah tanggapan. Setidaknya ada dua catatan menarik
dalam membaca fenomena ini.
Pertama, sikap politik F-TNI/Polri dalam perubahan dianggap lebih dewasa dan
lebih matang serta lebih cepat dalam membaca dinamika perubahan yang
berlangsung cepat. Ini, terutama terlihat dari pendapat F-TNI/Polri dalam
memposisikan dan menempatkan Komisi Konstitusi.
Hal ini berbeda dengan perilaku sebagian besar politisi sipil di parlemen
yang cenderung konservatif dan terkesan amat terpaksa dalam menerima
(membentuk) Komisi Konstitusi. Sikap F-TNI/ Polri, dalam batas-batas
tertentu, juga mampu membalikkan kesan (image) yang selama ini banyak
dikhawatirkan sejumlah aktivis bahwa TNI/Polri tetap antiperubahan.
Kelambanan politisi sipil ini mungkin disebabkan oleh terlalu kuatnya
perhitungan politis (baca: kepentingan politik) mereka, yang akhirnya
menghambat penerimaan dan responnya terhadap kuatnya tuntutan masyarakat
untuk membentuk Komisi Konstitusi. Selain itu, konservatisme ini juga
dipengaruhi sikap berlebihan sebagian besar anggota parlemen akan
berkurangnya kekuasaan dan kewenangannya sebagai wakil rakyat, jika Komisi
Konstitusi betul-betul dibentuk dan sesuai keinginan dari luar parlemen.
Kedua, sikap politik TNI/Polri jauh lebih responsif dan aspiratif ketimbang
politisi sipil lainnya. Sikap ini juga bisa dibaca sebagai sikap yang jauh
lebih maju dalam melihat aspirasi yang berkembang. Sebelumnya, dukungan TNI
terhadap Komisi Konstitusi ditegaskan lewat penyataan Panglima TNI Jenderal
Endriartono Sutarto di Markas Besar (Mabes) TNI yang merekomendasikan
perlunya dibentuk Komisi Konstitusi untuk menyempurnakan hasil-hasil
Perubahan UUD 1945.
Tidak seperti F-TNI/Polri, sikap sebagian besar partai politik justru lebih
mendahulukan kepentingan masa depan partainya ketimbang harus capek-capek
memikirkan usulan dan tuntutan dari luar parlemen.
Meski, akhirnya payung hukum Komisi Konstitusi hanya dalam Ketetapan MPR,
namun secara politis, tidak banyak mengurangi sikap progresif
F-TNI/Polri. Masyarakat tetap membaca lembaga ini lebih maju dan lebih
aspiratif ketimbang politisi sipil yang lebih mempertimbangkan kepentingan
politik jangka pendeknya, ketimbang kepentingan jangka panjang yang lebih
bermanfaat.
Pintu masuk
Meski sikap Fraksi TNI/Polri ini secara kasat mata lebih mempertimbangkan
faktor eksternal, namun bukan berarti sikap ini lahir begitu saja. Minimal
ada beberapa alasan atau latar belakang yang bisa diajukan dalam melihat
sikap F-TNI/Polri.
Pertama, sikap progresif dan responsif ini sebetulnya merupakan wujud dari
upaya keras TNI/Polri untuk memperbaiki (self recovery) nama baiknya di mata
masyarakat, setelah sekian waktu lamanya, lembaga ini dianggap sulit diajak
berubah. Sikap elegan yang ditampilkan TNI/Polri tidak hanya "mengagetkan"
khalayak, tetapi juga akan memunculkan simpati terutama dari kalangan luar
parlemen. Sebaliknya, sikap sebagian besar politisi sipil di parlemen akan
kian tidak populer di mata masyarakat, terutama dari kelompok-kelompok
kritis yang paling keras menuntut perubahan konstitusi ke arah yang lebih
baik.
Kedua, sikap legowo dari F-TNI/Polri untuk tidak lagi di MPR dan DPR
sebetulnya secara representasi politik tidak banyak berpengaruh, karena
keterwakilan TNI/Polri akan tertutupi oleh semakin banyaknya anggota TNI
(perwira) yang masuk dan bergabung dengan partai politik. Artinya, meski
perwakilan formal mereka dihapus, namun tidak banyak mengurangi suara
TNI/Polri di tingkat parlemen. Perbedaannya, bila hari ini mereka terwakili
secara formal kelembagaan, ke depan mungkin lewat partai politik yang
bersifat individu.
Mobilisasi anggota TNI/Polri ke sejumlah partai politik dan banyaknya isu
bahwa sejumlah jenderal dan perwira TNI/Polri ada di belakang terbentuknya
partai-partai politik baru, sebetulnya cermin upaya TNI/Polri untuk tetap
mempertahankan privelese dan pengaruh politiknya. Meski tindakan ini sah-sah
saja dan sama sekali tidak bertentangan dengan aturan main demokrasi, namun
dengan semakin banyaknya dan semakin besarnya kepercayaan para aktivis
partai politik kepada anggota militer, sebetulnya indikasi semakin
berdayanya militer dan semakin lemahnya politisi sipil.
Oleh karena itu, pintu masuk militer (TNI/Polri) dalam memasuki arena
politik praktis dan dalam mempengaruhi kebjakan nasional, tidak lagi lewat
perwakilan resmi seperti selama ini, namun lebih memanfaatkan jalur-jalur
informal lewat pengaruh dan keterwakilan mereka di sejumlah partai politik.
Ini terlihat dari hampir semua partai politik, terutama partai besar, ada
sejumlah perwira TNI/Polri.
Apa pun alasannya, yang jelas sikap TNI untuk memasukkan Komisi Konstitusi
ke dalam pasal Aturan Tambahan UUD 1945 dan sikap legowo mereka atas
dihapusnya keanggotaan mereka di MPR dan DPR, patut diacungi jempol.
Sebaliknya, sikap sebagian besar politisi di parlemen, yang menolak Komisi
Konstitusi diatur dalam pasal Aturan Tambahan, sebetulnya merupakan bentuk
arogansi dan ketakutan akan terkikisnya kewenangan mereka.
A Malik Haramain, Koordinator Divisi Kajian pada Pusat Studi dan
Pengembangan Kebudayaan (Puspek) AVERROUS
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Belajarlah dari Filipina
•Progresivitas TNI/Polri
•Pusat Presidensial, Daerah Parlementer
•"Quo Vadis" Kebebasan Berekspresi
•POJOK