[Nasional] Rahasia Negara dan Mesin Jahit
a.supardi
nasional@polarhome.com
Sun Aug 11 15:24:27 2002
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
Rahasia Negara dan Mesin Jahit
KESEDERHANAAN keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil
presiden itu berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari penuturan
Meutia mengenai kisah sebuah mesin jahit.
Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata
untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja.
Menurut antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya -Rahmi Hatta-
harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari
penghasilan yang diberikan Bung Hatta.
Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah
waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp
100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi
menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit.
"Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Ibu kemudian
bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada sanering. Dengan
kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh diberitahukan,
sekalipun kepada keluarga sendiri," kata istri ekonom Prof Dr Sri-Edi
Swasono itu.
Beruntung ibunya akhirnya mampu juga mewujudkan keinginannya membeli mesin
jahit. Namun Meutia mengaku lupa kapan ibunya bisa membeli, sehingga tak
dapat menggambarkan seberapa lama penantian wanita yang dikasihi itu untuk
membeli barang yang diidam-idamkannya akibat sanering tersebut.
Terbebani Nama
Sebagai putri Bung Hatta, wajar bila Meutia merasa terbebani nama besar
ayahnya. Namun yang paling menjadi bebannya adalah perasaan belum
berhasilnya ia menjalankan profesi sebagai pendidik dan antropolog untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia sesuai cita-cita ayahnya.
"Masih banyak masyarakat kita, baik yang kaya maupun miskin, yang belum
cerdas," kata kolektor perangko tersebut. Masyarakat cerdas yang dimaksud
adalah masyarakat yang tahu harkat dan martabatnya, tidak rendah diri, dan
berkarakter tangguh.
Wanita kelahiran Yogyakarta 21 Maret 1947 itu mencontohkan masih saja ada
orang yang naik sedan mewah tetapi dengan seenaknya melanggar peraturan lalu
lintas.
Ia juga prihatin pada pada banyaknya orang pandai tapi karakternya lemah,
sehingga tidak bisa pede membawa harga diri bangsa. Akibatnya, masih bisa
didekte orang asing.
Dia pun menaruh keprihatinan mendalam pada banyaknya orang miskin yang hanya
karena urusan sepele sampai lupa harkat dan martabat manusia dan berakibat
tega membunuh.
Ibu dari Tansri Zulfikar Yusuf tersebut mengaku sangat ingin orang menyukai
dirinya karena dirinya sendiri, bukan karena ia putri Bung Hatta. Begitu
juga kalau dalam hal dibenci, wanita yang punya hobi membaca buku tersebut
sangat tidak ingin bila orang-orang membenci dia karena mereka benci pada
ayahnya.
Gampang Terharu
Meutia, yang tinggal di Jl Daksinapati Timur No 9 Rawamangun, Jakarta Timur,
mengaku gampang terharu bila ada teman-teman ayah atau ibunya yang
menceritakan tentang sikap hidup kedua orang tuanya yang sederhana dan
bersahaja.
Banyak juga, katanya, handai taulannya yang "kaget" ketika melihat sendiri
bahwa sebagai mantan wapres -tetapi karena memilih hidup yang jujur dan
bersahaja- tak ada barang mewah yang dimiliki ayahnya.
Ia mengaku banyak orang mempertanyakan mengapa ayahnya memilih mundur dari
dunia politik. Mereka pun menebak-nebak ada apa di balik langkah yang
mengejutkan tersebut.
Dia menambahkan, banyak pula orang yang menilai bahwa perbedaan dalam cara
berpikir dan langkah yang diambil dalam dunia politik baik oleh Bung Karno
dan Bung Hatta merupakan suatu konflik berkelanjutan.
Sebagai putri sulung, ia mengaku pernah dinasihati secara khusus oleh ibunya
berkaitan dengan hal tersebut. Menurut ibunya, ada waktunya kedua
proklamator itu (Bung Karno dan Bung Hatta) saling jengkel satu sama lain.
Namun hanya mereka berdualah yang bisa memahami dan merasakan kemarahan atau
perasaan saling jengkel itu.
Akan tetapi bila tiba saatnya, mereka saling memaafkan dan tak mau
membesar-besarkan konflik pribadi tersebut terus berlanjut. Keduanya
khawatir konflik yang dibesar-besarkan hanya akan berdampak tidak baik
terhadap masyarakat dan rakyat Indonesia. (Hartono Harimurti-25) (SUARA
MERDEKA, Minggu, 11 Agustus 2002)
-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a
Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f
------------------Mailing List Nasional----------------------