[Nusantara] Ekonomi Pasar dan Nasionalisme Ekonomi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:14:21 2002


"Ambon" <sea@swipnet.se>
Ekonomi Pasar dan Nasionalisme Ekonomi 
23 Aug 2002 23:34:33 +0200 
         
 SUARA PEMBARUAN DAILY

Ekonomi Pasar dan Nasionalisme Ekonomi
Oleh Padang Wicaksono

yahdan, 20 Januari 1949, Presiden Harry S. Truman
berpidato di depan 
rakyat
Amerika yang pada intinya mengakui kemerdekaan
negara-negara bekas 
jajahan
seraya menegaskan berakhirnya era kolonialisme dan
imperialisme. Dia 
pun
berujar: We must embark on a bold new program for
making the benefits 
of our
scientific advances and industrial progress available
for the 
improvement
and growth of underdeveloped areas. The old
imperialism, exploitation 
for
foreign profit, has no place in our plans (Truman,
1949). Dalam pidato 
itu
tertera dengan jelas kata-kata underdeveloped dan
exploitation for 
foreign
profits, di mana alam bawah sadar Truman sendiri
mengakui akan adanya
belahan lain dari bumi ini yang miskin dan nestapa
sebagai akibat dari
proses eksploitasi manusia atas manusia (exploitation
de l`homme par
l`homme) selama ratusan tahun oleh kolonialisme dan
imperialisme.
Dalam kesempatan lain, pada tanggal 9 November 1954,
Presiden Sukarno
berpidato di Bandar Udara Palembang, memukau puluhan
ribu massa rakyat
jelata sambil berseru: Setiap orang yang mempunyai
cita-cita sosial 
haruslah
teguh bersikap anti-kapitalis, entah kapitalis itu
kapitalis Amerika,
kapitalis Eropa, maupun kapitalis negeri kita sendiri
(Compton, 
1992:hal.
78-79). Si Bung Besar itu menyerang habis-habisan
watak imperialis 
Barat dan
juga para komprador pribumi yang tak segan-segan
menjual bangsa dan 
tanah
airnya demi materi dan lembaran dolar.
Apa makna Pidato Truman dan Sukarno dalam konteks masa
kini? Tak dapat
dipungkiri, Truman dan Sukarno telah menjadi juru
bicara dari dua 
belahan
bumi yang berbeda, yakni si kaya dan si miskin. Pidato
Truman di tahun 
1949
tersebut menandai intervensi Amerika Serikat dalam
skala penuh demi 
hegemoni
dan dominasi atas belahan dunia lain yang kerap
disebut underdeveloped
countries. Sementara Sukarno menjadi ikon the new
emerging forces yang
menyuarakan perlawanan tidak saja pada kolonialisme
dan imperialisme 
namun
juga pada proses penghisapan sekalipun oleh bangsa
sendiri.
"One Market''
Berbicara tentang ekonomi pasar tentu tak terlepas
dari pemikiran Adam
Smith. The Wealth of Nations yang ditulis Smith pada
tahun 1776 secara
eksplisit telah mendekonstruksikan Etika-Protestan
yang secara lugas
menentang self-interest dan penumpukan materi secara
tamak (Weber, 
1958).
Liberalisme klasik ala Adam Smith ini menjadi landasan
bagi 3 saudara
kembar, kapitalisme-kolonialisme-imperialisme, dalam
melakukan praktik
penghisapan selama beratus-ratus tahun di Asia,
Afrika, dan Amerika 
Latin
sebagai implikasi dari penerapan teori ekonomi klasik
yang menyatakan 
bahwa
proses produksi dan akumulasi akan stagnan bila pasar
menjadi terbatas
(Dillard, 1979). Bahkan John Stuart Mill sendiri tak
segan-segan 
mendukung
kolonialisme ekonomi dengan tujuan akumulasi kapital
(Mill, 1936: hal.
738-739).
Berakhirnya Perang Dunia II telah menyisakan tangis
dan nestapa. Namun 
di
sisi lain menumbuhkan harapan baru akan tatanan dunia
yang lebih damai 
dan
makmur. Terbentuknya GATT pada tahun 1947 menyemaikan
harapan akan 
hubungan
perdagangan yang berbasis pada kesetaraan. Tetapi,
adakah seorang 
kapitalis
kaya raya yang dulunya seorang penakluk tiba-tiba
menjadi pemurah dan 
mau
berbagi mesra dengan si miskin lagi papa yang dulu
menjadi jajahannya?
Di kemudian hari, persoalan liberalisasi atau
globalisasi tidak sekadar
menjadi perseteruan antara negara kaya dengan negara
miskin namun lebih 
dari
persoalan negara dengan negara. Suatu kekuatan
fenomenal yang tak 
tersentuh
oleh batas-batas kedaulatan suatu negara, yakni
perusahaan 
multinasional
(MNC), sangat berkepentingan atas globalisasi. Pada
dasarnya, MNC 
bukanlah
barang baru sama sekali mengingat fenomena ini tak
lebih dari pembaruan
tradisi kapitalisme modern yang merupakan hasil
aktivitas 
berkesinambungan
meliputi akumulasi kapital, penelitian dan
pengembangan (R&D), produksi
(Ikeda, 1996: hal. 39).
Nalar keunggulan komparatif David Ricardo mengenai
spesialisasi 
perdagangan
internasional ternyata tidak berlaku bagi hubungan
ekonomi negara kaya 
(baca
negara industri maju) dengan negara miskin. Apakah
spesialisasi 
perdagangan
dalam bentuk ekspor gula mentah Indonesia ke Belanda
dan impor produk
farmasi dari Belanda akan me- ningkatkan kemakmuran
setara di antara
keduanya?
Ternyata dalam jangka panjang, sebuah negara yang
menspesialisasikan 
dirinya
pada produk yang sophisticated akan menangguk profit
yang jauh lebih 
besar
mengingat kemampuan teknologi dan akumulasi kapital
yang telah dimiliki 
dan
juga setting kondisi sosial-ekonomi yang memang
berbeda dengan negara
berkembang seperti Indonesia. Dalam perkembangan
selanjutnya, negara
pinggiran seperti Indonesia tidak mempunyai posisi
tawar-menawar yang 
cukup
berimbang ketika berhadapan dengan negara maju dalam
kancah pasar 
bebas.
Reorientasi
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan sebuah
kesepakatan di antara anak
bangsa untuk merombak tatanan ekonomi warisan kolonial
yang telah 
memberikan
tempat yang luas bagi dominasi asing dan segelintir
elite pribumi.
Kemerdekaan itu sendiri merupakan alat untuk
pencapaian kemakmuran dan
demokrasi ekonomi bagi seluruh komponen bangsa.
Kalau sekadar ingin menjadi negara eksportir terkemuka
lalu untuk apa
Indonesia Merdeka? Bukankah ketika negeri kita masih
bernama Dutch East
India sudah menjadi eksportir bahan mentah primer
terkemuka di awal 
abad
ke-20? (Paauw, 1963). Kalau sekadar ingin meminang
investasi asing, 
untuk
apa pula kita merdeka jika The Dutch East India
Company (VOC) yang 
pernah
ada pada abad ke-17 sedikit banyak telah berperan
dalam mendirikan 
sejumlah
infrastruktur penting yang bahkan bermanfaat hingga
kini seperti 
pelabuhan,
jaringan rel kereta api, dan jalan raya sekalipun
diiringi dengan
eksploitasi habis-habisan atas kekayaan alam Indonesia
(Braudel, 1982: 
hal.
34).
Bukankah Unilever Indonesia dan BAT telah ada jauh
sebelum RI merdeka?
Proses produksi yang bertujuan mencari nilai tambah di
Hindia Belanda
tersebut tidak membawa manfaat yang banyak bagi
penduduk negara jajahan 
oleh
karena profit transfer dan surplus yang mengalir ke
negara asal 
penjajah
jauh lebih besar daripada peningkatan pendapatan
masyarakat kelas bawah 
yang
dijadikan sebagai basis tenaga kerja murah (Arief,
1986).
Dalam konteks kekinian, sekalipun telah merdeka,
industrialisasi dan 
proses
pembangunan Indonesia yang bertumpu pada dominasi
investasi asing 
sambil
berkolaborasi dengan segelintir pengusaha kelas kakap
telah meneruskan
struktur ekonomi warisan kolonial tersebut. Kebijakan
industri 
substitusi
impor mengalami kegagalan oleh karena dalam
perjalanannya, 
praktik-praktik
koalisi segi empat (elite politik yang korup-pengusaha
kroni-investasi
asing-kelas menengah lokal) telah menunggangi proses
industrialisasi 
dengan
jalan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa
direinvestasikan 
pada
pengembangan teknologi dan keterkaitan sektor-sektor
produktif dalam 
negeri.
Dalam struktur ekonomi seperti di atas, tidak terjadi
hubungan yang 
erat
antara surplus ekonomi dan tingkat pertumbuhan
pendapatan kekuatan 
produktif
dalam negeri sebagaimana yang telah dialami oleh
negara-negara industri 
maju
pada awal masa industrialisasi. Proses akumulasi
kapital di 
negara-negara
industri maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan
Eropa telah 
memberikan
manfaat yang besar bagi partisipasi ekonomi
masyarakat. Sementara 
proses
yang sama tidak terjadi pada Indonesia.
Pada milenium ke-3 ini, bangsa kita hendaknya jangan
main-main dengan
terminologi ekonomi pasar, liberalisasi, ataupun
globalisasi. Jika 
mantan
Presiden Prancis Charles de Gaulle dan penulis besar
Prancis 
Jean-Jacques
Servan-Schreiber saja pernah menyerukan pada bangsanya
agar membendung
serbuan modal asing pada dekade 1960-an padahal nota
bene Prancis 
adalah
dedengkot imperialisme dan kolonialisme, maka sungguh
heran bila sebuah
negeri yang miskin dan tak berdaya seperti Indonesia
sungguh sangat 
gembira
menyambut era pasar bebas yang sebentar lagi akan
tiba.
Hati-hati pula dengan terminologi nasionalisme
ekonomi, ekonomi 
kerakyatan,
atau kemandirian ekonomi. Sejarah telah mencatat,
terminologi indah ini 
tak
kalah ganasnya dalam mengeksploitasi penderitaan
rakyat sebagai akibat
manipulasi elite-politik dan kapitalis-semu dalam
memanfaatkan sentimen
antiasing yang berlebihan. Kebijakan Mobil Nasional
Timor dan Industri
Pesawat Terbang Nusantara adalah salah satu contoh-
nya.
Jika bangsa kita tidak ingin terantuk untuk yang
kesekian kalinya, 
sudah
menjadi kewajiban bagi kita semua untuk merenung dan
wawas diri apakah
kebijakan ekonomi nasional saat ini sudah sejalan
dengan cita-cita
kemerdekaan. Hanya waktulah yang bisa menjawab.
Penulis sedang studi pada Department of Economic
Science Graduate 
School of
Economics Saitama University Japan.



=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com