[Nusantara] "Debat Capres Tendensius"
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:13:00 2002
"a.supardi" <a.supardi@chello.nl>
"Debat Capres Tendensius"
23 Aug 2002 23:01:41 +0200
Saudara-saudara sekalian,
Saya setuju dengan substansi permasalahan yang
dikemukakan oleh Idra
Samego.
Terus terang, saya pribadi yakin, bahwa Mbak Mega
dengan mudah dan
sangat
mampu
berbicara dan berdebat di muka umum dengan
capres-capres mana pun.
Untuk membuktikan hal itu, saya malah benar-benar
ingin sekali melihat
Mbak
Mega
melakukan perdebatan dengan berbagai capres menjelang
tahun 2004.
Kita tunggu saja, apakah debat capres dimaksud akan
berhasil
dilaksanakan
atau tidaknya.
Meskipun begitu, saya setuju dengan pendapat Idria
Samego, bahwa <yang
terpenting,
seorang calon presiden mampu menyampaikan visi dan
misi waktu kampanye
Pemilu>.
Tentang debat capres, yang pernah digelar menjelang
Pemilu Juni 1999,
saya
masih ingat,
bagaimana Prof Dr Amien Rais ngomong, a.l. menyatakan
dirinya lebih
pintar
berbahasa
Inggris dibanding lawan debatnya, yakni Prof Dr Yusril
Ihza Mahendra.
Yah, kalau saya pribadi mah jelas engga bisa.
Jangankan berdebat mau
jadi
presiden
(amit-amit, aje deh), berdebat seperti main sandiwara
untuk jadi lurah
Kebon
Sereh atau
Manggarai aje gue engga mampu, apalagi ngebacot pake
bahase Inggris,
nyerah
aje, deh.
Abis aye cume bise ceplas ceplos kaye begini aje, sih.
Soal kepandaian berbahasa Inggris, saya hanya ingin
mengatakan, bahwa
jumlah
para elite
Indonesia yang keluaran perguruan tinggi di AS,
Inggris, Australia dan
menyandang PhD
boleh dibilang BEJIBUN dan banyak dari mereka (di era
berkuasanya
Jenderal
Soeharto)
menduduki pos-pos penting rzim Orba. Dan memang
terbukti, selain pandai
dan
fasih
berbahasa Inggris, mereka juga sangat pandai MENILEP
UANG RAKYAT dan
UANG
PINJAMAN LUAR NEGERI alias KORUPSI.
Kembali soal debat capres, mudah-mudahan saja rakyat
Indonesia tidak
memilih
Presiden yang hanya pandai "jual kecap".
Tabik,
A.Supardi
-----
"Debat Capres Tendensius"
Samego: Mengarah Pribadi Mega
JAKARTA- Pengamat politik LIPI Idria Samego menilai,
gencarnya
persoalan
debat publik calon presiden belakangan ini terlalu
tendensius, lantaran
peno
njolannya mengarah pada pribadi Presiden Megawati.
Karena selama ini
Mega
dinilai sebagai orang yang jarang bicara. Mungkin itu
berkaitan dengan
naluri Mega sebagai orang Jawa, perempuan yang tidak
suka ngomong.
''Yang terpenting, seorang calon presiden mampu
menyampaikan visi dan
misi
pada waktu kampanye pemilu. Kampanye itu di dalamnya
terdapat debat
publik.
Sebab, dia berhadapan langsung dengan konstituennya.
Dengan demikian,
hal
itu tidak perlu dimasukkan dalam RUU Pemilu,''
ungkapnya menjawab
pertanyaan
pers di Jakarta, Jumat kemarin.
Di Amerika, lanjut Samego, seorang calon presiden
berkampanye di tiga
belas
negara bagian sehingga rakyat dapat mengenali calon
presidennya. Di
Indonesia seharusnya juga begitu.
''Tidak seperti debat antara Amien Rais dan Yusril
Ihza Mahendra di FK
UI
1999 lalu. Ternyata forum tersebut hanya menjadi ajang
caci maki untuk
saling menjatuhkan. Amien mengatai Yusril tidak bisa
bahasa Inggris,
Yusril
balas mengatai Amien tidak mengerti hukum tata
negara.''
Saat ditanya siapa di antara pemimpin sekarang yang
paling berpeluang,
Indria menekankan, bila pemerintahan sekarang berhasil
baik maka
peluang
Mega sangat besar. ''Tapi jika masih begini-begini
saja, bisa muncul
calon
lain. Andai Akbar Tandjung tak tersangkut Buloggate
II, dia berpeluang
besar
juga.''
Indria Samego berpendapat, persyaratan calon presiden
mendatang perlu
diperketat. Apalagi berkaitan dengan seseorang yang
sudah berstatus
sebagai
terpidana. Kriteria calon presiden yang tertera dalam
RUU Pemilu yang
sedang
digodok di DPR terlalu ringan.
''Jangankan terpidana lima tahun, terpidana satu tahun
saja sebaiknya
tidak
boleh mencalonkan diri sebagai presiden. Dia secara
moral harus
mengundurkan
diri sebagai calon presiden.''
Komunikatif
Di tempat terpisah, anggota FKB DPR Andi Najmi Fuadi
mengungkapkan,
kita
ingin memilih presiden yang komunikatif. Untuk itu,
masalah debat
publik
calon presiden merupakan tuntutan yang tidak bisa
dibendung lagi.
''Masalah debat publik hanya bagian kecil dari sistem
pemilihan
presiden
langsung. Bila hal yang makro saja, memilih presiden
langsung, kita
sudah
setuju, maka menjadi naif jika kita menolak satu
bagian kecil yang
namanya
debat publik.''
Karena masalah pemilihan presiden langsung sudah ada
dalam UUD, sambung
politikus dari Jawa Tengah itu, menyangkut mekanisme
debat publik juga
harus
diatur. ''Cuma persoalannya kemudian, sejauh mana
gagasan tersebut
dapat
mengikutsertakan keterlibatan masyarakat secara
nasional. Bila
masyarakat
tidak dilibatkan, maka debat publik hanya akan menjadi
semacam lip
service
saja.''
Dia mengemukakan, persoalan teknis yang harus
diantisipasi tentang
materi
debat itu harus dirumuskan garisnya dan
batasan-batasannya sehingga
perdebatannya menjadi produktif dan terarah. ''Itu
menjadi tugas dan
kewenangan KPU untuk mengatur hal-hal teknisnya.''
Mengenai subtansi debat publik memang harus masuk
dalam undang-undang,
sedangkan teknisnya diatur oleh KPU. Dia mengutarakan,
dengan adanya
ketentuan mengenai debat publik, kandidat presiden
yang muncul nanti
jelas
dan pasti akan memenuhi dua hal. Yaitu kapabel menjadi
capres karena
intelektualnya, visi dan misinya. Selain itu, capres
harus kredibel
lantaran
memiliki kharisma tinggi.
''Dalam sejarah kepemimpinan di republik ini, nasab
atau keturunan
seorang
pemimpin itu selalu jelas, meskipun tidak menafikan
setiap orang
berpeluang
dan berkesempatan sama.''
Secara terpisah anggota DPR Hatta Taliwang
mengusulkan, terdakwa kasus
kriminal tidak boleh menjadi calon presiden. Klausul
tersebut harus
menjadi
kriteria calon presiden dan dimasukkan dalam UU
mengenai tata cara
pemilihan
presiden langsung yang kini tengah digodok di DPR.
''Pada masa mendatang, kita butuh presiden yang
benar-benar bersih,
jujur,
tidak korup, bermoral tinggi, dan tidak pernah
tersangkut kasus
kriminal.
Jika bekas tersangka jadi calon presriden, akan
terjadi perdebatan yang
melelahkan,'' paparnya, kemarin.
Penegasan itu menanggapi draf RUU pemilu yang diajukan
Mendagri Hari
Sabarno
ke DPR, yang di dalamnya terdapat klausul yang
menyebutkan, orang yang
dipidana di bawah lima tahun dapat diajukan sebagai
calon presiden.
''Kriteria calon presiden yang diajukan pemerintah
tersebut memberi
peluang
bagi orang-orang yang pernah menjadi terdakwa bisa
lolos menjadi calon
presiden. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada HAM,
bila usulan itu
disetujui maka sangat riskan dan kita bisa
kecolongan.''
Tak Bisa Dipaksakan
Perbincangan soal debat publik bagi calon presiden
terus bergulir.
Pengamat
politik dari Centre for Strategic and International
Studies (CSIS)
Rizal
Mallarangeng menyatakan debat publik bagi calon
presiden bukan syarat
mutlak
dalam pemilihan presiden sehingga tidak dapat
dipaksakan.
Rizal berpandangan, tidak ada aturan debat calon
presiden menjadi
prasyarat
pemilihan calon presiden. ''Jadi tak perlu
dipaksakan,'' ucap Rizal
yang
juga penulis naskah pidato Presiden Megawati itu di
Jakarta, kemarin.
Di Amerika Serikat (AS), ucap Rizal, meski ada acara
debat yang
disiarkan
televisi hal itu tidak menjadi syarat dalam menentukan
presiden. Debat
yang
disiarkan media massa menjadi sarana kampanye bagi
masing-masing calon
dengan tidak perlu mengeluarkan biaya namun dapat
menyentuh massa yang
besar.
Artinya, para calon akhirnya dengan senang hati
menjadikan acara debat
itu
sebagai kesempatan berkampanye. Jika ada calon yang
tidak bersedia
memanfaatkan peluang tersebut, calon itu rugi. ''Jadi
bila ada calon
yang
tidak mau mengikuti debat, tidak perlu dipaksa
lantaran dia yang
rugi.''
Senada dengan Rizal, Ketua Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan
(FPDI-P) DPR Roy BB Janis berpendapat, debat calon
presiden bukan
persyaratan melainkan bagian dari kampanye. ''Jika
calon presiden
berkampanye, otomatis dia berdialog, entah itu dengan
publik atau
saingannya. Itu hal biasa saja.''
Atas pertanyaan, Rizal kembali menegaskan, debat
publik bukan
satu-satunya
cara berkampanye. Sebab, banyak cara lain untuk
mempromosikan diri dan
partai politik. Selain itu, debat publik juga tidak
dapat dijadikan
tolok
ukur kualitas seorang calon presiden lantaran belum
tentu orang yang
pandai
berdebat akan pintar juga bekerja.
Sejumlah partai politik, seperti Partai Golkar, Partai
Amanat Rakyat
(PAN),
dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyetujui adanya
debat publik bagi
calon presiden sedangkan PDI-P menolak.
Berbicara mengenai pemilihan presiden, Roy
menyarankan, sebaiknya
pemilihan
presiden dan wakil presiden dibuat terpisah dengan
pemilihan anggota
DPR dan
DPD. ''Masalah presiden itu kan eksekutif, sedangkan
DPR dan DPD
terkait
dengan masalah legislatif. Jadi bila digabung kurang
pas.''
Bila pemilihan presiden dan wakil presoden itu
digabung dengan
pemilihan
anggota DPR dan DPD, ujar Roy, akan menimbulkan
kebingungan kepada
masyarakat terutama pada saat melakukan pencoblosan.
''Jadi, diharapkan
pemilihan presiden itu memang harus berdiri sendiri.''
Menyinggung penyelesaian paket undang-undang politik,
Roy mengemukakan,
FPDI-P akan mendorong agar dapat diselesaikan dalam
kurun waktu empat
hingga
enam bulan ke depan. ''Itu penting. Sebab selain
mendesak,
undang-undang itu
masih memerlukan sosialisasi dan pasti memakan
waktu.''(nas,tri-60j)
(SUARA
MERDEKA, Sabtu, 24 Agustus 2002)
=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com