[Nusantara] Nasionalisme Rentan Terhadap Manipulasi
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:15:22 2002
"M. Luthfi Thomafi" <thomafi@softhome.net>
24 Aug 2002 17:00:29 +0300
Nasionalisme Rentan Terhadap Manipulasi
Arief Budiman:
“Nasionalisme Rentan Terhadap Manipulasi”
Arief Budiman seperti tak pernah berhenti bersikap
kritis terhadap
pemerintah. Sosiolog yang kini mengajar di Universitas
Melbourne,
Australia, ini sudah sejak masa Soekarno menjadi
pengkritis kebijakan. Semasa
Soeharto, kabarnya ia mendapat perhatian khusus dari
para intelijen
karena khawatir pada sepak terjangnya mengkritisi
pemerintahan Orde Baru.
Demikian pula pada waktu pemerintahan diwariskan pada
B.J. Habibie, yang
disebutnya sebagai perpanjangan Orde Baru.
Saat pemerintahan berganti dan dipimpin koleganya,
Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur, Arief tak juga berhenti bicara. Pernah,
sekali waktu,
namanya jadi buah bibir media massa karena kritiknya
pada Gus Dur untuk
tidak lebih banyak membuat musuh sebagai upaya untuk
bisa bertahan. “Gus
Dur harus berkoalisi,” katanya ketika itu.
Berita terbaru tentang mantan dosen di Universitas
Kristen Satya Wacana
Salatiga adalah ketika ia menyatakan kritik pedasnya
terhadap
kepemimpinan Megawati Sukarnoputri dan PDI Perjuangan
yang dianggapnya sebagai
partai yang rusak dan kacau. Ia pun dihujani kritik,
bahkan makian.
Dalam diskusi terbatas di sebuah jaringan surat
eklektronik, beberapa
simpatisan partai berlambang banteng bulat itu bahkan
menyebut alumnus
Harvard University ini sebagai tidak nasionalis karena
terlalu banyak
bicara dan mengkritik sambil memilih berada di luar
negeri.
Menanggapi itu, kakak kandung Soe Hok Gie dan terlahir
dengan nama Soe
Hok Djin, ini tenang-tenang saja. “Pengertian
nasionalisme rentan
terhadap manipulasi. Harus dilihat siapa yang
menggunakannya dan untuk
kepentingan apa,” ujarnya. Lalu adakah kritiknya yang
sambung-menyambung
kepada setiap pemerintahan itu sebagai bentuk
nasionalismenya? “Saya tidak
tahu. Mau diangap begitu silakan saja,” katanya enteng
kepada Yostinus
Tomi Aryanto dari Tempo News Room dalam percakapan
melalui sambungan
telepon internasional Jakarta-Melbourne, Rabu (14/8)
pagi. Petikannya:
--------------------------------------------------------------------------------
Apa sebenarnya makna nasionalisme buat Anda?
Ada cerita saat perang Vietnam berkecamuk, pemerintah
Amerika Serikat
meminta kepada seluruh pemuda, baik kulit putih maupun
kulit hitam,
berjuang atas nama nasionalisme dengan cara menjadi
tentara dan bertempur.
Tetapi ketika perang usai dan giliran harus membagi
rezeki, para pemuda
kulit hitam ini diminta untuk tetap bersaing. Lalu
nasionalismenya di
mana? Mereka marah. Pada waktu perang dan dibutuhkan
membela bangsa,
mereka diminta nasionalismenya. Tetapi untuk urusan
bagi-bagi rezeki,
nanti dulu. Jadi nasionalisme ini sesuatu yang
fleksibel. Kadang-kadang
dipakai untuk sendiri, tetapi bisa juga dipakai untuk
kepentingan bangsa
seluruhnya. Jadi, kalau mau menganalisa nasionalisme,
harus dilihat pada
situasi, tempat dan waktu, serta siapa yang
menggunakannya. Baru di
situ bisa kita lihat apa arti nasionalisme tersebut.
Secara teoritis, nasionalisme adalah persatuan secara
kelompok dari
suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa
yang sama, dan
pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang
terjadi. Yang biasa
terjadi adalah pemakaian secara spesifik pengertian
nasionalisme itu.
Jawaban seperti ini memang jadi terdengar aneh.
Artinya, nasionalisme rentan terhadap manipulasi?
Sangat rentan manipulasi. Kadang dipakai untuk
macam-macam hal. Maka
harus dilihat kasus per kasus.
Dalam konteks Indonesia kini, misalnya dikaitkan
dengan amandemen dan
penolakannya oleh sejumlah kalangan yang juga
mengatasnamakan
nasionalisme, apakah relevan?
Bisa relevan, bisa juga tidak. Artinya, seakan-akan
nasionalisme adalah
negara kesatuan. Tetapi dalam negara kesatuan kan ada
eksploitasi.
Jakarta mengambil terlalu banyak dan daerah tidak
kebagian. Sekarang mereka
minta jatah dan tetap tidak dipedulikan. Jelas tidak
ada nasionalisme
di situ. Lalu mereka yang memperjuangkan nasionalisme
berpendapat,
“justru mungkin Republik Indonesia itu akan lebih
dipersatukan bila menjadi
negara serikat atau federal state.” Di Australia kuat
sekali
nasionalismenya. Karena tiap negara bagian punya
pemerintahan sendiri, seperti
juga di Amerika, jadi sama sekali tidak benar jika
Republik Indonesia
dipertahankan hanya kalau berbentuk negara kesatuan.
Karena sebenarnya
masalahnya adalah kepentingan. Apakah kepentingan dari
banyak orang
terpelihara? Dalam banyak kasus, kepentingan lebih
banyak orang itu akan
semakin terpelihara jika negara berbentuk federal, di
mana kesatuan yang
berpusat di Jakarta itu tidak perlu lagi. Apalagi
Indonesia adalah negara
yang besar, penduduknya banyak. Saya kira, Indonesia
bisa jauh lebih
bertahan bila kita menjadi negara serikat. Dan mungkin
pada saat itu,
misalnya, negara bagian Sumatera yang lebih kaya bisa
menyumbang ke Jawa
yang miskin melalui pajak. Itu justru nasionalisme
yang benar. Subsidi
diatur melalui koordinasi yang disebut pemerintah
federal. Itu
nasionalisme yang lebih murni.
Menurut Anda, apakah penyederhanaan nasionalisme dalam
bentuk negara
kesatuan ada unsur manipulasi tadi?
Motivasinya, Jakarta ingin mempertahankan hegemoninya
terhadap daerah.
Lalu, seakan-akan, mereka yang mau bebas dan tidak mau
tunduk pada
Jakarta dianggap melawan nasionalisme. Itu kan
pengatasnamaan. Seakan-akan
Jakarta adalah seluruh Republik Indonesia. Bahwa
Jakarta itu mewakili
kepentingan Republik Indonesia, itu jelas. Tetapi
pengatasnamaan itu
dilakukan hanya untuk mendapatkan untung bagi sebagian
elite di Jakarta.
Apakah upaya amandemen UUD cukup menunjukkan semangat
nasionalisme yang
murni, sebagaimana Anda sebut tadi?
Pada umumnya memperbaiki yang lama. Pertama, pemilihan
presiden
langsung. Itu suatu hal yang baik. Hanya masih ada
masalah karena presiden
hanya bisa dicalonkan oleh partai. Harusnya ada juga
peluang untuk
pencalonan presiden, juga gubernur atau bupati secara
independen. Sebab itu
beresiko terjadinya oligarki. Tetapi bahwa itu dipilih
rakyat secara
langsung, sudah merupakan kemajuan. Hanya saja
buntutnya masih dipegang
oleh orang-orang yang punya vested interest dalam
partai. Lalu bahwa
(wakil) militer akan dihapuskan dari parlemen pada
2004, itu kemajuan.
Memang sudah seharusnya militer profesional. Dan jika
mau berpolitik, secara
pribadi saja. Tentang Piagam Jakarta (Pasal 29 UUD
1945 tentang agama
–red.) juga kemajuan. Sebenarnya bukan kemajuan,
tetapi tidak terjadi
kemunduran. Karena yang dipertahankan adalah yang
lama. Jadi secara
keseluruhan terjadi progresi. Buat saya ini memberikan
kita tambahan
optimisme.
Apakah relevan bila ada kekhawatiran bahwa konstitusi
baru akan
bertentangan dengan yang dikehendaki para pendiri
bangsa?
Saya kira tidak. Karena pada dasarnya konstitusi itu
selalu
diperbaharui. Dan para pendiri bangsa kita juga tidak
jelas. Pertama, orangnya
juga sudah tidak ada. Sehingga tidak bisa diklaim
bahwa UUD 45 adalah
keinginan dari pendiri bangsa kita. Jadi yang harus
menentukan adalah
rakyat sendiri. Misalnya kalau ada perubahan
konstitusi yang mendasar,
mestinya ada semacam referendum untuk menentukan
hal-hal yang kontroversial.
Ingat juga bahwa UUD 45 yang dibuat para pendiri
bangsa itu cocok untuk
keadaan waktu itu, belum tentu cocok untuk keadaan
sekarang. Waktu itu
keadaan kacau dan darurat sehingga butuh pemerintah
yang kuat. Sekarang
keadaan sudah berubah. Soal hak asasi manusia juga
waktu itu belum
masuk karena memang belum ada deklarasi HAM, yang baru
keluar 1948 dan baru
masuk di Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Lalu
apakah itu bisa
disebut mengkhianati pendiri bangsa? Sebab pada waktu
juga terjadi
perdebatan mengenai HAM yang dianggap bisa berbahaya
karena orang bisa berlaku
seenaknya. Lalu ada konsep negara integralistik yang
diusulkan Soepomo.
Jadi sebenarnya konstitusi itu merupakan sesuatu yang
dinamis dan
mencerminkan kepentingan rakyat pada suatu waktu
tertentu. Kepentingan itu
berubah karena waktu juga berubah dan tempat pun
berubah, lingkungan
berubah. Saya kira, semua harus dikembalikan pada
rakyat. Jadi tidak bisa
dikatakan semua itu tak boleh diubah dengan alasan
bertentangan dengan
keinginan para pendiri bangsa. Pendiri bangsa kan
dealing-nya dengan
zaman mereka dulu. Itu sama sekali tidak logis.
Salah satu arus terkuat anti amandemen itu dari PDI
Perjuangan,
terutama para senior dari eks-Partai Nasionalis
Indonesia (PNI). Anda melihat
ada hubungannya?
Saya tidak tahu juga. Apakah orang seperti Roeslan
Abdulgani juga ikut
menolak? Kalau Amin Arjoso kan tidak bisa dibilang
senior di PNI. Saya
kira, kalau itu mewakili kepentingan PDIP, kelompok
Taufik Kiemas kan
juga menolak. Megawati sendiri mula-mula kan menolak
pemilihan presiden
langsung. Belakangan dia menerima, saya tidak tahu
kenapa. Saya kira,
kalau 2004 Megawati dicalonkan lagi, apalagi jika bisa
ada calon
independen, suah pasti suara untuk dia akan berkurang,
kalaupun dia menang
lagi. Alasannya, kinerja dia selama ini sama sekali
tidak meyakinkan.
Apalagi dia gusur-gusur orang-orang miskin pendukung
fanatik PDIP, di
Jakarta, di Surabaya. Karena itu PDIP hanya melayani
kepentingan sektarian,
sangat partisan. Bahwa dia anti perubahan UUD itu
lebih banyak karena
kepentingan partainya dan Megawati yang dilindungi
lebih daripada para
senior PNI. Sebagian dari para senior itu adalah
orang-orang intelek
yang matang dan, saya kira, sudah tidak akan
terpengaruh pada kepentingan
sektarian dan partisan. Yang mereka pikirkan tentu
lebih banyak
bagaimana mengharumkan namanya dalam sejarah dengan
lebih punya komitmen pada
bangsa, melebihi komitmennya pada kepentingan pribadi
dan kelompok.
Megawati, melalui Hari Sabarno, juga menjadi motor
yang anti-otonomi
daerah. Menurut Anda, mengapa?
Megawati, dalam hal otonomi daerah dan negara
federasi, itu menunjukkan
memang kapasitas intelektual dia terbatas sekali.
Sehingga dia hanya
mewariskan bahwa negara Indonesia itu Bung Karno dan
negara kesatuan.
Lalu dia tidak bisa terjemahkan secara sophisticated
sehingga dia
menganggap otonomi daerah akan memperkecil volume atau
kualitas negara
kesatuan. Kalau menurut saya itu saja dasarnya. Saya
kira Megawati tidak punya
dasar yang lebih canggih daripada itu. Bagi dia hanya
ada negara
kesatuan, tidak boleh ada otonomi daerah, apalagi
negara federal. Kalau
dengar negara federal dianggap sudah berkhianat. Dan
disinilah kesesuaiannya
dengan kepentingan TNI. Kalau militer kan alasannya
mereka sudah banyak
berkorban dengan prajurit yang tewas mempertahankan
negara kesatuan.
Lalu kenapa dipecah-pecah lagi. Dulu memang mereka
menolak negara federal
pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS). Tetapi
itu dulu kan yang
dipakai oleh Belanda untuk pemecah belah. Nah,
sekarang yang buat kita
sendiri. Belandanya juga tidak ada lagi. Dalam hal ini
militer dan
Megawati setara lah. Dua-duanya punya mitos-mitos yang
tidak bisa ditawar
tanpa penjelasan yang baik.
Dalam konteks itu semua, apakah jadi relevan untuk
bicara nasionalisme
sekarang ini?
Rumusan umum nasionalisme adalah di mana kita
mengutamakan kepentingan
bangsa di atas segalanya. Dalam definisi itu, apapun
bisa masuk. Kalau
argumen negara kesatuan adalah sesuatu yang penting
untuk mengembangkan
bangsa ini, ya itu nasionalisme. Tetapi kalau ada
orang yang mengatakan
negara federal itu akan lebih baik bagi kepentingan
meningkatkan
kesejahteraan kita semua sebagai bangsa, itu juga
nasionalisme. Termasuk
seandainya kita berperang melawan Australia, kalau itu
berguna memperbaiki
bangsa, itu nasionalisme. Tetapi kalau itu tidak
berguna, ya tidak
nasionalisme. Jadi nasionalisme adalah tujuan yang
bisa dicapai dengan
macam-macam cara. Dalam hal amandemen, pertanyaannya
bukan pada apakah itu
akan mengubah atau tidak mengubah konstitusi, tetapi
apakah perubahan
itu baik bagi bangsa ini atau tidak.
Ukurannya?
Pada cara yang ditempuh. Itu akan memperbaiki kinerja
bangsa ini atau
tidak? Jadi nasionalisme itu ada tujuannya, sedangkan
substansinya
dicapai melalui cara-cara yang dipakai.
Dalam soal pengusiran tenaga kerja kita dari Malaysia,
apakah
nasionalisme juga relevan?
Itu lebih banyak merupakan kesalahan diplomasi kita.
Juga kesemrawutan
Departemen Luar Negeri dan pemerintah Indonesia dalam
mengurus warganya
di luar negeri. Tanpa nasionalisme pun kita sudah
berkewajiban membela
warga negara kita. Saat ini warga negara kita pergi
sebagai orang
miskin yang tidak bisa hidup di negeri ini. Dari sini
sudah bisa
dipersoalkan, kenapa bangsa kita sampai membuat
orang-orang itu cari makan ke luar
negeri. Lalu secara menyakitkan mereka diusir. Kita
harus mengerti
bahwa Malaysia juga mengalami kesulitan. Tetapi yang
perlu kita salahkan
adalah kenapa kita tidak bisa memberi pekerjaan pada
mereka? Kalau kita
mau membanggakan bangsa kita, itu dulu yang perlu
diurus daripada
pengusiran oleh Malaysia. Memang pengusiran oleh
Malaysia itu agak kasar,
saya juga tersinggung. Tetapi kalau kita mencoba
menempatkan diri di sisi
sebaliknya, memang TKI kita menjengkelkan sih. Mereka
datang
berbondong-bondong, diusir, balik lagi. Begitu
berulang-ulang. Lama-lama mereka
(Malaysia, red.) marah juga. Coba kalau Indonesia
lebih kaya dari
Malaysia dan menghadapi hal serupa, pasti sama saja
reaksi kita. Sehingga
kalau dengan kasus ini lalu menimbulkan kemarahan
terhadap Malaysia dan
mau hajar mereka, saya kira kok seperti anak kecil
saja. Masalahnya
sekarang, kasih kerjaan dong pada mereka. TKI itu juga
tidak mau ke sana
kalau di sini ada pekerjaan. Bahkan kalau di sana pun
mereka cita-citanya
akan mudik lagi kalau sudah bisa kumpulkan uang, maka
nasionalisme
justru ada pada para TKI itu. Mereka mau menolong
saudaranya, kirim uang,
lalu balik. Terutama orang Jawa yang menganggap tempat
kelahiran tetap
sebagai kampungnya. Perasaan-perasaan yang sedikit
sentimentil itulah
sesungguhnya juga nasionalisme.
Adakah perasaan sentimentil juga Anda rasakan? Anda
sendiri kan orang
Salatiga?
Saya mau pulang juga. Saya ini capek ngomong bahasa
Inggris. Mimpi pun
harus pakai bahasa Inggris. Bagi saya tanah air itu,
meskipun saya
bukan patriot, bukan Indonesia juga tidak masalah.
Hanya saja, kalau saya
tetap ingin pulang itu karena teman-teman saya juga di
Indonesia. Kalau
ngomong bahasa Indonesia rasanya lebih puas. Kalau
ngomong lelucon,
atau bahkan ngomong jorok, itu rasanya lebih plong.
Emosi semua keluar.
Itu yang membuat saya selalu rindu Indonesia. Itu
bukan patriotisme atau
nasionalisme, tetapi karena saya lahir di Indonesia,
kecil di
Indonesia, dan teman-teman saya ada di sini semua,
bahasa saya ketika pertama
kali menyatakan emosi adalah bahasa Indonesia. Oleh
karena itu saya
nanti, pada hari tua, lebih senang saya di Indonesia.
Tetapi kalau itu
kemudian disebut nasionalisme, ya silakan. Tetapi
kalau saya warga negara
Indonesia yang lahir di Indonesia, kemudian besar di
Australia atau di
Arab, akhirnya saya ngomong Arab lebih fasih, mungkin
nasionalisme saya
akan lebih ke Arab. Hal-hal itu bagi saya bukan mitos,
tetapi merupakan
sebuah pengalaman yang kongkrit dari sejarah hidup
kita.
Dengan semua tadi, apakah masih ada harapan bagi
Indonesia ke depan?
Saya melihatnya sebagai pergerakan sejarah. Bahwa
Indonesia, saya
mengalami zaman Sukarno, Soeharto, juga masa
reformasi, saya kira, pada
zaman Soeharto saja saya masih punya harapan. Sekarang
Soeharto sudah
jatuh. Memang kita masih tersangkut pada Megawati atau
Gus Dur. Tetapi
progresi yang terjadi banyak sekali. Jadi harapan saya
sekarang lebih besar
daripada pada masa Soeharto. Misalnya, pers lebih
bebas, demokrasi ada
meskipun masih kacau. Jadi harapan saya lebih besar.
Sekarang semua
lebih mungkin. Hanya saja masalah memang masih
segudang.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com