[Nusantara] Mengapa Pasal 29 UUD 1945 harus dipertahankan?
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:15:52 2002
"Ambon" <sea@swipnet.se>
Mengapa Pasal 29 UUD 1945 harus dipertahankan?
23 Aug 2002 23:54:15 +0200
Mengapa Pasal 29 UUD 1945 harus dipertahankan?
Oleh: Dr Drs M Ali, SH, DipEd, MSc, Guru Besar Ilmu
Hukum Universitas
Negeri
Surabaya dan Anggota MPR RI Utusan Daerah Jawa TImur
Sejarah perjuangan nasional Indonesia mencatat, UUD
1945 yang berlaku
hingga
kini adalah karya Panitia Perancang UUD yang diketuai
Ir Soekarno (Bung
Karno). Panitia Perancang UUD itu dibentuk tanggal 11
Juli 1945, dalam
Sidang II Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI - Dokuritzu Zyunbi Cuoosakai), tgl 10-17 Juli
1945, bersamaan
dengan
pembentukan panitia perancang ekonomi keuangan yang
diketuai Abikoesno
Tjokrosoejoso.
Dalam Panitia Perancang UUD itu dibentuk lagi panitia
kecil diketuai
Prof Mr
Dr R Soepomo. Hasil karya Panitia Perancang UUD itu,
18 Agustus 1945
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang
diketuai
Bung Karno, menjadi UUD RI, yang terkenal sebagai UUD
1945.
Pembukaannya
diambilkan dari Rancangan Pembukaan UUD (yang oleh
Prof Mr H Muh Yamin
disebut Piagam Jakarta), setelah sila-sila dari
Pancasila (dasar
negara),
disempurnakan. Sila I yang semula berbunyi 'Ketuhanan,
dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,'
disempurnakan
menjadi
'Ketuhanan yang Maha Esa.' Kata 'menurut dasar' pada
sila II
dihilangkan,
sehingga menjadi 'Kemanusiaan yang adil dan beradab.'
Antara kata
'permusyawaratan dan perwakilan' pada sila IV diberi
garis miring,
sehingga
menjadi 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.' Sedang sila V tak
berubah.
Pasal 29 UUD 1945 yang merupakan penjabaran dari sila
'Ketuhanan Yang
Maha
Esa' itu terdiri dari dua ayat. Ayat (1) berbunyi:
"Negara berdasar
atas
Ketuhanan Yang Maha Esa." Ayat (2) berbunyi: "Negara
menjamin
kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk
beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Dalam sidang tahunan MPR RI 2001, ada usul agar Pasal
29 ayat (1) tsb
diubah, antara lain dengan menambahkan tujuh kata di
belakang Ketuhanan
Yang
Maha Esa, seperti yang terdapat dalam Piagam Jakarta,
22 Juni 1945.
Sehingga
berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban
menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Terhadap usul perubahan Pasal 29 UUD 1945 tsb terdapat
sikap
pro-kontra. Ada
yang menyetujui dan ada pula yang menolaknya.
Sebagaimana diberitakan
di
beberapa media massa, salah satu pertimbangan dari
mereka yang tak
menghendaki diubahnya Pasal 29 itu ialah demi menjaga
persatuan dan
kesatuan
di kalangan bangsa Indonesia yang pluralitastis.
Dalam mempertimbangkan perubahan Pasal 29 UUD 1945
ini, ada dua fakta
historis perlu diperhatikan.
Pertama, pidato Bung Karno di depan sidang I BPUPKI
tgl 1 Juni 1945.
Bung
Karno mengatakan: "Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara
menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan
Ketuhanan yang
Maha
Esa." Usul Bung Karno tsb diterima dengan tepuk tangan
yang riuh oleh
peserta sidang I BPUPKI. Dari sinilah lahir Pasal 29
ayat (1) UUD 1945,
yang
berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha
Esa."
Kedua, kesepakatan tokoh Islam dalam musyawarah yang
dipimpin oleh Bung
Hatta, sebagai tindak lanjut dari pertemuan Bung Hatta
dengan wakil
rakyat
dari Indonesia bagian Timur yang beragama Kristen pada
sore hari
tanggal 17
Agustus 1945. Mereka menemui Bung Hatta di
kediamannya, dengan membawa
imbauan agar dalam UUD yang akan dibentuk jangan
diterakan kata
'menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' yang tercantum
dalam Piagam
Jakarta,
tetapi hal yang bersifat umum. Mereka juga menegaskan,
apabila imbauan
mereka tak diperhatikan, mereka tak akan tahu-menahu
lagi dengan urusan
Indonesia.
Dengan pernyataan mereka itu, di kalangan para pendiri
negara Indonesia
timbul kekhawatiran, jangan-jangan nanti persatuan
Indonesia pecah.
Padahal
Indonesia baru sehari merdeka. Bung Hatta menjelaskan,
tujuh kata di
belakang Ketuhanan itu tidak mengikat bagi yang
non-Islam dan Mr AA
Maramis
sebagai orang Kristen yang duduk di Panitia 9 juga
ikut menyetujui hal
itu.
Namun, Bung Hatta berjanji akan membicarakan hal itu
dengan tokoh Islam
untuk memusyawarahkan imbauan para tokoh masyarakat
Indonesia bagian
Timur
tsb.
Pertemuan itu antara lain dihadiri KH Abd Wachid
Hasjim, Mr Achmad
Soebardjo, Mr Kasman Singodimedjo, Mr Teungku Moh
Hasan dari Sumatra,
Ki
Bagoes Hadikoesoemo, dan lainnya. Bung Hatta
menjelaskan peristiwa
kedatangan orang dari Indonesia bagian Timur tanggal
17 Agustus 1945
sore
itu dan usul mereka agar kembali ke 'Ketuhanan Yang
Maha Esa' yang
diusulkan
Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di
depan sidang I
BPUPKI.
Lalu, terjadilah dialog. KH Abd Wachid Hasjim
menanyakan maksud kata
'Ketuhanan Yang Maha Esa' itu.
Ki Bagoes Hadikoesoemo menjelaskan, dalam Islam hal
itu kira-kira sama
dengan yang disebut tauhid. Dengan penjelasan Ki
Bagoes Hadikoesoemo
itu, KH
Abd Wachid Hasjim menyatakan; "Kalau itu sama dengan
tauhid, saya
setuju
itu. Buang tujuh kata-kata di belakang Ketuhanan itu
dan ganti sila itu
seluruhnya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Dengan sikap tegas KH Abd Wachid Hasjim itu, tokoh
Islam lain
menyetujuinya.
Maka saat para pendiri negara yang tergabung dalam PPI
pun, bersidang,
perubahan sila I menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' tak
menjadi
persoalan
lagi. Kesemuanya menerima, sehingga terjadilah
kesepakatan nasional. Di
samping masalah tauhid sebagai ajaran pokok dalam
agama Islam, yang
menjadi
perimbangan dari pendiri negara waktu itu ialah
keinginan untuk tetap
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, yang
dikhawatirkan pecah,
jika
imbauan dari rakyat Indonesia bagian Timur itu tak
mendapat perhatian.
Maka, jika kini ada pendapat yang menghendaki agar
Pasal 29 UUD 1945
itu tak
diubah dengan pertimbangan demi menjaga tetap
terpeliharanya persatuan
dan
kesatuan bangsa, itu merupakan pendapat dan sikap yang
tepat dan benar,
karena sesuai dengan latar belakang historis di atas.
Dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) 1945 itu
ditegaskan, ayat ini
menyatakan
kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Penjelasan
Pasal
29 tsb mengandung asumsi dari para pendiri negara
Indonesia, yaitu
bangsa
Indonesia adalah bangsa yang mempercayai adanya Tuhan
yang Maha Esa.
Bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa,
dapat diperiksa pada kitab suci dari masing-masing
agama yang
dianutnya.
Untuk orang Islam, dapat diperiksa pada surat
Al-Ikhlas ayat (1), yang
berbunyi: Kulhu allahu ahad, yang artinya 'Katakan
(hai Muhammad) bahwa
Allah itu Esa.' Sedang bagi yang beragama Kristen dan
Katolik, dapat
diperiksa pada Kitab Perjanjian Lama dan Baru. Dalam
Perjanjian Lama
dapat
diperiksa pada Kitab Keluaran pasal 20 ayat (2) yang
menyatakan,
'Akulah
Tuhan Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah
Mesir dari tempat
perbudakan; (3) Jangan padamu ada Allah lain di
hadapan-Ku." Juga dapat
diperiksa pada Kitab Ulangan pasal 4 ayat (35) yang
menyatakan: "Engkau
diberi melihatnya untuk mengetahui bahwa Tuhanlah
Allah, tidak ada yang
lain
kecuali Dia." Lalu Kitab Yesaya pasal 44 ayat (6):
"Beginilah firman
Tuhan,
Raja dan Penebus Israil, Tuhan semesta alam. Akulah
yang terdahulu dan
Akulah yang terkemudian, tidak ada Allah selain dari
pada-Ku." Dapat
pula
diperiksa dalam Kitab Injil Markus pasal 12 ayat (29):
"Hukum manakah
yang
paling utama? Jawab Jesus: hukum itu Esa."
Bagi yang beragama Hindu Dharma, dapat diperiksa pada
kitab suci
Chadogya
Upanishad, yang menegaskan: Om tat Sat Ekam Eva
Advaityana Bhrahman.
Artinya: "Sesungguhnya Tuhan itu Esa dan tiada
duanya." Juga Kitab Ref
Veda:
Ekam Sat Vipra Bahuddha Vadanti. Artinya:
"Sesungguhnya Tuhan itu Esa."
Hanya, orang menyebutkannya dengan nama yang bermacam
macam. Orang
Hindu
menyebut Tuhannya menyebut Tuhannya itu Sang Hyang
Vidi Vassa. Orang
Kristen
dalam Kitab Perjanjian Lama dan Baru menyebutnya
Allah. Orang Islam
menyebutnya Allah swt dan nama-nama lain yang
seluruhnya berjumlah 99
nama,
yang disebutnya Asma al-husna.
Karena itu, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tetap perlu
dipertahankan.
Kemerdekaan memeluk agama dan menjalankan ibadah bagi
setiap penduduk
Indone
sia dijamin oleh negara, karena merupakan hak asasi
manusia. Agar dalam
menjalankan ibadah itu tidak terasa sebagai suatu
paksaan, maka dalam
sidang
Panitia Perancang UUD, Mr Wongsonegoro mengusulkan
penambahan kata 'dan
kepercayaannya itu,' yang ditempatkan sesudah kata
'menurut agamanya'
pada
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Latar belakang historis dari Pasal 29 ayat (1) dan (2)
UUD 1945 tsb,
perlu
mendapat perhatian dalam mempertimbangkan usul
perubahan Pasal 29 UUD
1945,
agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com