[Nusantara] Reinventing "Niat Baik" <---- Ukuran2 Publik

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:18:14 2002


"Alliq Mc Gellnow" <alliq@SoftHome.net> 
 25 Aug 2002 17:33:01 +0700 
 Reinventing "Niat Baik" <---- Ukuran2 Publik 

Seorang temen pas kuliah dulu sempet terkagum2 dgn
sistem kepustakaan di kampus ngAmrik. Ceritanya,
beliau mau pinjem buku untuk bahan tugas pembuatan
sengkripsi. Petugas kampus - yg dah ibu2, mana dah tua
lagi! :-) - dengan sabar dan telaten meladeni
permintaannya, dari cara ngebrowse katalog di komputer
sampe cara nemu bukunya di rak perpustakaan itu. 

Selang 1 jam kemudian, buku yg dicarinya ternyata ndak
bisa ditemukan di katalog perpustakaan kampus. Lantas
dia lapor sama ibu tua nan baik hati itu, kalo buku
yang dicarinya ndak ada. Sambil senyum, ibu itu
ngomong, "No big deal! Ente catet aje judul n nama
pengarangnye, ntar let me take care of it dah!" Temen
itu heran, gimana caranya di kota kecil begini bisa
dapet buku gitu, kecuali beli lewat nginternet?

Tapi bener, selang kira2 3-4 hari kemudian, temen itu
ditelpon ama perpustakaan. Buku yg dicarinya dah
nyampe, kumplit 5 biji! Setengah ndak percaya, tuh
temen nyamperin ke perpus, dan ketemu petugas perpus
yang kali ini kebetulan orang laen - bukan ibu tua nan
baik hati itu. Diterimanya buku itu, sambil ngomong ke
petugas perpus, "Sampein salam saya buat bu Nancy,
yah? Baek banget mbantuin saya ampe bisa dapet buku yg
saya butuhkan!" Petugas perpus itu mengiyakan sambil
senyum. Temen ini pergi dgn tak lupa mengucapkan
terima-kasihnya berkali-kali. Dan sepanjang perjalanan
mengoceh bercampur heran ttg kebaikan dan ketulusan
hati orang2 ngAmrik - khususnya bu Nancy - dan sistem
perpustakaan mereka yang ternyata 'linked' satu sama
lain antar universitas! :-)

Saya seneng2 aja dia nangkep spirit ketulusan dan
kebaikan hati ibu Nancy itu, yg tampaknya dia
'salah-pahami' sbg nilai2 etika religiusitas. Obrolan
hari itu ditutup dgn kalimat tanya yang menggantung
olehnya, "Kenapa yah, bangsa kita yang mengaku
religius, tapi mbantu orang dgn tulus ajah ndak bisa?"

*****

Jakarta. 

Ngurus SIM di Samsat yang sudah serba computerized,
ternyata masih memakan waktu yang cukup lama dan dana
yang tidak sedikit. Tapi hari itu saya mungkin agak
'beruntung', karena bertemu dengan seorang ibu petugas
yang mau 'membantu' saya menyelesaikan urusan
memperoleh SIM. Dengan sigap, beliau 'menyeret' saya
ke ruang foto, sidik jari, dan sebagainya, melewati
antrian 7-8 orang. Setelah semua urusan selesai, saya
merasa berkewajiban mengucapkan terima kasih saya
dalam bentuk 'tidak berupa barang'. Karena tidak
sedang membawa bunga (bunga bukan barang 'kan? :)),
yah ucapan terima kasih itu saya wujudkan dalam bentuk
amplop yang tentu saja berisi duit, yang segera dibuka
dan dihitung olehnya di depan saya. Puas?

"Bapak ikhlas 'kan, ngasih saya segini?", katanya
sambil tersenyum yang menurut saya agak dibuat-buat.
Saya tahu gelagat. Saya rogoh lagi kantong saya dan
nambahin duit secukupnya. Diterimanya dengan sigap -
dah terlatih tampaknya - dan mengucapkan terima kasih
sambil tersenyum. Kali ini tidak dibuat-buat. Saya
meninggalkannya setelah sebelumnya mengucapkan terima
kasih - seperlunya!

Saya tidak bisa membayangkan seandainya teman saya
tadi berurusan dgn petugas disini. Mungkin omelannya
akan berubah menjadi caci-maki sekeluar dari pelataran
parkir Samsat. Tapi berhubung sudah dipatok 'ikhlas',
ya ndak boleh nyaci-maki! Ndak ikhlas itu namanya!

*****

Dua contoh diatas saya sampaikan dgn maksud untuk
memperjelas watak tradisionil yg dimaksud oleh ki
Babat. Bukan hendak membandingkan kelebihan2 sistem di
ngAmrik vs kelemahan2 sistem di ngIndo, tapi
sebaliknya justru saya ingin membandingkan respons
yang timbul dari keduanya berkaitan dgn watak
tradisionil tadi.

Pada cerita yang pertama, temen tadi memberikan
respons yang terlalu berlebihan thd 'kebaikan-hati'
ibu Nancy. Respons yang tidak salah, sebab cara
pandang 'tradisional'-nya memang mengharuskan dia
mengungkapkan rasa terima kasihnya. Saya katakan
berlebihan, karena menurut saya 'kebaikan' bu Nancy
itu adalah bagian dari tugasnya melayani mahasiswa.
Kesadaran ttg pentingnya melaksanakan tugas dgn
sebaik-baiknya sesuai dgn job-description-nya itulah
yang saya tangkap sbg nilai kebaikan bu Nancy, bukan
pada 'kerepotannya' berbaik hati mencari buku 5 biji
ke jaringan perpustakaan antar universitas. Dia tidak
pernah mengeluh bahwa tugasnya ini merepotkan dirinya,
dan ada kalimat yang selalu dia ulang2 ketika saya dan
teman sempat bertemu dengannya lagi di perpus, bahwa
itu sudah menjadi tugas dia untuk melayani mahasiswa
dengan sebaik-baiknya. Walaupun begitu, temen saya
masih saja ngotot mengucapkan rasa terima kasihnya
yang terdengar terlalu berlebihan, "Pokoknya saya akan
ingat terus kebaikan bu Nancy, walaupun nanti saya dah
pulang balik ke tanah air!" Bu Nancy jadi kikuk
dibilang begitu. :-)

Jadi ndak ada kaitannya dengan urusan apakah bu Nancy
ini orangnya memang baik hati atau tidak, religius
atau tidak, punya niat baik atau tidak. Ya karena
memang ndak ada kaitannya. Bu Nancy tipe sempurna
seorang 'birokrat' yang ada di dalam angan2 kita
bersama, yang melaksanakan tugas dengan sebaik2nya
tanpa pamrih, etc. Ini contoh 'kebaikan modern' yang
dibungkus sistem modern, ndak ada kaitannya dengan
urusan nurani. Semata2 hanya karena tugas. Kalo bukan
karena tugas, mungkin bu Nancy juga ndak akan mau
repot2 'mbantuin' nyari buku.

Contoh kedua adalah contoh 'kebaikan tradisional' yang
dibungkus sistem modern. Respons saya jelas positif
karena ibu petugas itu mampu mendahulukan saya
melewati 7-8 org antrian, dan dgn sigap melayani saya
memperoleh SIM. Secara kultural, saya wajib
mengucapkan rasa terima kasih, karena bantuannya yang
berlebihan kepada saya itu mampu menimbulkan perasaan
'tidak enak' (semacam rasa utang budi), sehingga saya
merasa berkewajiban untuk membalas 'kebaikannya' tadi
dengan ikhlas. Kudung 'ikhlas' ini perlu untuk
membuang perasaan2 tidak enak yang timbul belakangan.
Dengan berikhlas-ria itu, saya merasa lebih plong dan
tidak terbebani dgn tgg jawab moral. Anggap aja amal,
beres! Toh niat ibu petugas itu memang mau mbantu
saya. Dilihat dari segi pelayanan birokrasi, beliau
sudah menampilkan kesigapan yang diharapkan dalam
penyelesaian tugas dia melayani publik! :-)

Ndak ada bedanya kan? :-)

Ntar dulu. Bu Nancy melaksanakan tugasnya tanpa
dilandasi 'niat baik' dan hasilnya memang baik. Ibu
petugas itu sebaliknya melaksanakan tugasnya dgn
dilandasi 'niat baik' membantu orang yang kesulitan
seperti saya, dan hasilnya (outcome) memang sama2
baik. Masalahnya, ngelewati 7-8 orang antrian itu
membuat 'niat baik' ibu petugas tadi jadi kurang baik
dan kurang pada tempatnya. Kudung 'ikhlas' yang dia
lontarkan pada dasarnya hanyalah sebuah excuse-religi
yang salah. Ukuran2 kebaikan demikian jelas bukan
ukuran dimaksud dalam parameter pelayanan publik yang
diharapkan. Ukuran melaksanakan tugas ala bu Nancy
sebaliknya jelas justru lebih terkait dengan maksud
layanan publik yang diharapkan tadi.

Makanya, dalam wilayah publik, niatan2 baik ala ibu
petugas ini haruslah diatur dgn jelas, dengan
mencantumkan aturan2 larangan pada papan di kantor
Samsat misalnya. Masalahnya kemudian, papan larangan
sudah ada, tapi kok masih saja 'niatan2 baik' itu
bertebaran di seantero jagat birokrasi kita. Itu
karena kita - sbg pengguna layanan publik - masih
menanggapinya dgn cara2 tradisionil, model utang budi
dan keikhlasan tadi. Rasa terima kasih yang tidak
berupa barang itu merupakan wujud terima kasih yang
berlebihan dan tidak pada tempatnya. Itu disebabkan
oleh watak tradisional kita yang memandang bahwa
'bantuan' oleh orang lain haruslah diberi balasan yang
setimpal. Seakan2 kita masih tidak percaya, Gusti
Allah mboten sare. Kan Beliau yang nyatet dan mbales,
udah aja pasrahin sama Beliau! :-)

Anda tidak mampu melakukan itu 'kan? Coba anda bilang
ke ibu petugas itu begini "Bu, terima kasih atas
bantuannya shg saya bisa memperoleh SIM! Saya doakan
ibu diberi balasan kebaikan sama Gusti Allah, rejeki
yang banyak, dan kesehatan serta rahmat yang
melimpah!" Lantas anda pamitan dan tinggalkan ibu
petugas itu. Dijamin, ibu itu bakal lupa petuah2 ttg
keikhlasan yang sudah secara terlatih dia lontarkan
ketika menerima rasa terima kasih yang tidak berupa
barang itu. Sbg gantinya, ibu itu akan dgn ikhlas
melontarkan omelan panjang pendek kepada anda. Dan
saya jamin, anda tidak akan tega melakukan itu, entah
itu karena memang tidak tega karena dia perempuan atau
karena memang tidak ingin diomelin sbg orang yg tidak
tahu diri! (Kita ini paling takut dicap sbg orang yang
tidak tahu diri kan?)

Ibu petugas itu tau, sbgmana ibu Nancy, bahwa yang
namanya berkah melimpah, rahmat kebaikan dsb bukan
barang yang bisa diukur, walaupun sama2 'bukan berupa
barang'! Outcome-nya kudu dapat dinilai dan diukur,
sebaliknya feedback yang dia harapkan juga harus dapat
dinilai dan diukur ... dalam bahasa manusia, ya harus
berwujud amplop! 

Disinilah letak watak 'ketradisionalan' kultur kita.
Respons yang sama2 tradisional menyikapi layanan
publik modern. Yang satu ndak ngerasa apa2 - ndak ada
niat baik or whatsoever, sebaliknya yang satu lagi
memiliki 'niat baik' dan merasa sudah memberikan budi
yg mau tidak mau secara tradisionil harus kita
tanggapi dgn membalas kembali budi baik tadi. Respons
KKG bisa dibaca melalui kacamata ini sbg respons yang
dilambari watak tradisionil, kalo mbantu disubya2
utang budi dsb, tapi kalo ndak mbantu dimaki2. Mending
maki2nya nyambung, ini malah ndak nyambung! Mblakrak
ke urusan ideologi, nasionalisme segala! Saya nyoba
mbawa urusan maki2an 'nurani/niat/ideologi baik' ini
ke soal yg lebih rasionil - ukuran2 administrasi
publik internal kita sendiri - mungkin jadi keliatan
sbg melawan tradisionalisme itu sendiri (pandangan
orang kerja tanpa niat baik/ibadah itu salah/dosa!)

Kalo gitu ya akui saja, kita memang masih tradisionil,
dan belum siap menjalankan watak 'modernitas' bahkan
dalam hal2 yang paling kecil sekalipun! Mungkin bener
kata sang propesor temen saya itu, masyarakat kita
sendiri - dgn kultur tradisionalisme-agrarisnya -
memang belon siap memiliki birokrat yang bersih! Saya
tambahin, lha birokratnya sendiri masih tradisionalis
juga kok! Salah sapa cobak? :-)

So? Mari kita budayakan saja 'niat baik' itu dengan
sebaik-baiknya dan seikhlas mungkin dengan tetap
berdoa agar Gusti Allah tetap memberikan pengampunan
yang seluas2nya kepada kita semua! Semoga nanti ada
malaikat yang berbaik hati mau ngasih tau kita bahwa
doa kita dikabulkan, sehingga kita bisa tetap
melakukan 'niatan2 baik' tadi secara meluas ... dan
tentu saja dengan ikhlas! :-(



Salam ikhlas anak bangsa,
Alliq

PS: Dikotomi KKG vs BH maksudnya emang scope terbatas
pada contoh pelaksanaan 'kebijakan publik' yg memihak
tadi lho, Ki! (conto BH ngasih kerjaan napi di LP)
Jan2nya, ya edan po mbandingin KKG sama BH! Njenengan
mosok ndak apal2 karo gayaku seh! :-)



=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com