[Nusantara] Gunung Kidul: Cuma Itu Koq
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:21:13 2002
"rhafauzan" <rhafauzan@yahoo.com>
25 Aug 2002 19:33:54 -0000
Gunung Kidul: Cuma Itu Koq
Setiap kali masa panceklik, sebagian penduduk di
Jawa berhenti makan nasi dan air pun harus dipikul
5 kilometer jauhnya. Sekalipun persoalan gizi
semakin memburuk, orang kaya di Jawa lebih suka
memproduksi rokok ketimbang memproduksi beras
paket hemat atau membangun waduk sekalian saluran
irigasinya.
Ada masyarakat yang membutuhkan suatu produk, tapi
tak ada produsen yang menyediakannya.
Entah bagaimana kalangan akademisi memformulasikan
tujuan ekonomi, tapi mestinya semua bisa sepakat
bahwa tujuan paling ultimatenya adalah
meningkatkan kualitas hidup manusia. Mengelola
bahan baku lalu mengembangkan lalu memproduksi
lalu mendistribusi guna melayani apa saja yang
dibutuhkan masyarakat untuk memuaskan kualitas
hidup. Tentunya dengan biaya seminim mungkin
termasuk kerusakan lingkungan yang seminim mungkin
juga.
Idealnya masyarakat bisa berembuk apa yang menjadi
prioritas untuk diproduksi atau resources apa yang
mesti dikorbankan. Pokoknya mereka mestinya bisa
memutuskan secara kolektif apa yang terbaik bagi
mereka sendiri. Sayangnya ekonomi pasar dalam
kapitalisme justru lebih mendorong dominasi
keputusan individu ketimbang keputusan kolektif.
Hanya pemilik modal yang bisa menentukan apa yang
harus diproduksi.
Kalau boss Aqua berpikir bahwa hanya air kemasan
yang akan mendatangkan keuntungan berlipat, maka
ia pun memproduksi air kemasan yang kadang
harganya lebih mahal dari BBM. Sebagian orang kaya
bisa saja berpikir bahwa t-shirt bergambar Iwan
Fals akan mendatangkan keuntungan lebih banyak
dari pada kaos oblong putih polos. Kapitalis lain
bisa pula berpendapat bahwa gambar Metalica juga
dapat mendatangkan keuntungan seperti gambar Iwan
Fals. Lalu tak ada lagi kaos oblong di pasar, lalu
semua orang harus membayar sandang lebih mahal
hanya gara-gara Iwan Fals.
Keputusan tak lagi didasarkan pada apa yang
terbaik bagi masyarakat, tapi apa yang paling
menguntungkan bagi pemilik modal.
Di musim panceklik orang Jawa tak mampu lagi
membeli beras lalu pilihan pun beralih ke tiwul
yang lebih murah. Kalau peternak di Autralia
berani membayar tiwul lebih mahal maka produsen
tiwul pun akan berkeputusan untuk menjualnya ke
Australia. Orang Jawa cuma bisa mengalihkan
pilihannya pada yang lebih murah lagi..... yang
kali ini rumput barang kali. Kasus ekspor makanan
ternak tiwul memang belum pernah terjadi, tapi
kalau tidak salah, kasus yang rada-rada mirip
pernah terjadi pada Crude Palm Oil di awal masa
krisis. Jadi bukan tidak mungkin, suatu saat, sapi
dan domba di Australia punya kualitas hidup yang
lebih baik dari pada manusia di Gunung Kidul, di
pegunungan Jaya Wijaya atau di NTT.
Arsitek orde baru sering bicara "trickle down".
Biarkan saja para orang berduit itu memproduksi
barang mewah. Kalau mereka maju toh akan
mempekerjakan orang lebih banyak, memberi upah
lebih baik dan pada gilirannya juga akan akan
meningkatkan kualitas hidup semua orang. Fenomena
trickle down itu memang pernah terjadi, tapi hanya
pada negara-negara di utara pasca perang dunia.
Yakin gola gokin setelah masa boom tahun 70-an
efek itu tak pernah terjadi lagi. Sebaliknya, yang
terjadi di negara-negera selatan adalah: yang kaya
makin kaya, yang miskin makin miskin. Sama sekali
tak ada trickle down. Arsitek orde baru memang
bersekolah di utara, harap maklum.
Berita rawan pangan dan air bersih bukan hal baru.
Itu sudah tradisi dari tahun ke tahun. Itu soal
biasa, bahkan transmigrasi pun dianggap alternatif
yang lebih mengerikan ketimbang mati kekurangan
gizi. Manakala kemiskinan dan persoalan kurang
gizi dianggap hal biasa maka "social exclusion"
akan dianggap lebih biasa lagi. Tak pernah ada
bayi manusia yang bisa bertahan hidup secara
mandiri, ia memerlukan orang lain yang bisa
berperan sebagai ibu, sang ibu pun memerlukan
dukungan orang lain yang bisa berperan sebagai
pemberi nafkah, sang bapak pun membutuhkan orang
lain yang berperan sebagai pemberi order atau
pekerjaan. Tak pelak lagi: manusia adalah makhluk
sosial. Manusia bisa mati jika "terusir" dari
kelompoknya.
Di Inggris tak pernah terdengar berita rawan
pangan, tapi Tony Blair rajin sekali bicara social
exclusion. Dia tidak cuma menolong para
pengangguran, korban narkoba atau remaja hamil,
tapi dia juga menolong mereka-mereka yang tak
sanggup berlangganan telepon. Bagi Blair, orang
yang tak punya telepon adalah orang yang
terpinggirkan, tak bisa ikut diundang atau
dihitung untuk menentukan apa yang terbaik bagi
masyarakat.
Seorang wakil rakyat disini boleh-boleh saja
menolak penjualan aset bangsa pada asing yang
hanya akan menjadikan kita sebagai bangsa kuli.
Suara itu bisa pula menjadi "suara nasional"
lantaran kita memang meng "exclude" makhluk Gunung
Kidul, Irian dan NTT.
Apa salahnya dengan kuli kalau kita bisa makan
nasi sepanjang tahun. Apa gunanya menjadi majikan
kalau setiap panceklik kita harus makan tiwul.
Kuli tidak harus telanjang dada memanggul barang
50 Kg, ia juga bisa berdasi, bermobil dan
bertelepon. Ia juga bisa punya jaminan kualitas
hidup yang jauh lebih baik dari ternak di
Australia. Ia cuma tidak diundang RUPS.... itu
saja.
Para wakil rakyat sah saja mengambil referensi
Amerika sebagai laboratorium demokrasi dan
ekonomi. Coba tanya kepada mereka yang
terpinggirkan, barangkali mereka cuma memimpikan
kampungnya seperti kampung di Selandia Baru.
Runtuhnya tembok Berlin bukan berarti kemenangan
kapatalisme terhadap sosialisme. Kalau
dipikir-pikir The Third Way nya Giddens pun bukan
campuran keduanya ia bahkan lebih merupakan
derivative dari sosialisme. Seandainya kita
mengakui bahwa peradaban di muka bumi bisa maju
karena adanya persaingan sehat antara manusia
yang satu dengan yang lain, sebaiknya kita juga
jujur mengakui bahwa iklim persaingan itu bisa
juga menimbulkan social exclusion. Sampai tujuh
turunan orang Gunung Kidul tak akan sanggup
menabung lalu menjadi investor mendirikan pabrik,
tak akan sanggup pula memperoleh skill cukup lalu
menjadi direktur bank.
Kita bersaing dalam private sector yang sehari
cuma delapan jam dan seminggu cuma lima hari. Di
luar itu kita masih bisa bertegur sapa dengan
tetangga lalu menentukan apa yang terbaik bagi
sesama warga. Mungkin awalnya cuma urunan membeli
tangga untuk mengganti lampu, rasanya memang
terlalu berlebihan jika setiap rumah memiliki
tangga allumunium. Berikutnya bisa jadi sharing
mesin cuci atau kendaraan untuk pulang pergi
kerja. Bukan tidak mungkin sebagian orang akan
mengeluh betapa repot jadinya, jika untuk
mengganti lampu saja kita harus ngomong sama
tetangga. Itu merupakan bukti betapa parahnya
social cohesion di negeri ini. Ngomong sama
tetangga menjadi urusan repot karena kita memang
jarang bertegur sapa dengan tetangga. Menjadi
repot karena kita harus berbasa-basi dan tidak
rileks seperti halnya ngomong dengan keluarga
sendiri. Padahal yang namanya keluarga sendiri,
bisa jadi berada di kota lain, dan dalam keadaan
darurat pertolongan terbaik justru datang dari
tetangga sebelah. Membina tali silaturahim tidak
cuma bounding, bisa juga bridging. Apa salahnya
membentuk LSM lalu menyelenggarakan relokasi
masyarakat Gunung Kidul secara manusiawi. Apapun
bentuk penyelesaiannya, sudah sepantasnya
masyarakat disini menunjukkan bahwa persoalan yang
kerap muncul dimasa panceklik bisa diselesaikan
oleh masyarakat sendiri tanpa keterlibatan
pemerintah ataupun pengusaha swasta.
Sudah terlalu banyak orang menulis tentang
perdebatan "apa yang terbaik bagi masyarakat"
versus "apa yang paling menguntungkan bagi
pemodal". Pada dasarnya semuanya sepakat bahwa
memang perlu sektor lain di luar private sector
yang didominasi semangat persaingan. Pada dasarnya
semua sadar bahwa memang banyak persoalan yang
tidak bisa diselesaikan oleh swasta ataupun oleh
pemerintah, lalu semuanya ramai bicara civil
society sector.
Tidak begitu halnya dengan seorang dosen di
universitas NSW Australia. Ia bicara soal gerakan
masyarakat untuk hidup sederhana, tidak membeli
barang mewah. Ia menyebutnya The Simpler Way.
Barangkali ia mengharapkan para produsen barang
mewah menjadi bangkrut. Tak ada lagi kaos
bergambar Iwan Fals dan majalah Tempo pun kembali
dicetak dengan kertas murah. Lalu bank kelebihan
likuiditas karena menampung duit orang kaya yang
hidup sederhana. Tak mungkin lagi menyalurkan
kredit kepada produsen barang mewah karena memang
barangnya tidak laku. Lalu kapital pun mengalir ke
petani, pengrajin dan para produsen yang
memproduksi barang yang memang diperlukan oleh
masyarakat banyak. Tak ada yang istimewa dari The
Simpler Way... kecuali ancaman bahwa pertumbuhan
ekonomi ada batasnya, bahwa peningkatan kualitas
hidup dicapai karena kegiatan ekonomi, dan
kegiatan ekonomi selalu merusak lingkungan dan
daya dukung alam ada batasnya. Para menteri
ekonomi diseluruh dunia yang mengejar-ngejar
pertumbuhan, sesungguhnya cuma mempercepat
datangnya kiamat ciptaan manusia. Kualitas hidup
lebih baik tapi kiamat datang lebih cepat. Kita
perlu gerakan lain di samping putaran roda di
private sector dan public sector...
Cuma itu koq....
=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com