[Nusantara] Perempuan dalam Hukum Nasional dan Konvensi Internasional

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:23:09 2002


"He-Man" <fokus@bdg.centrin.net.id>
Perempuan dalam Hukum Nasional dan Konvensi
Internasional 
 26 Aug 2002 06:51:06 +0700 
         
 Perempuan dalam Hukum Nasional dan Konvensi
Internasional
Oleh Prof Dr TO IHROMI

I. Pendahuluan

Dalam GBHN 1999-2004, tentang kedudukan dan peranan
perempuan tertulis
hal-hal berikut:

a). Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam
kehidupan 
berbangsa
dan bernegara melalui kebijakan yang diemban oleh
lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender.

b). Meningkatkan kualitas peran kemandirian organisasi
perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan
serta nilai historis
perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan
usaha pemberdayaan 
serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat (bab IV, F3).

Selanjutnya dalam bab IV, tentang hukum (A) dapat
dibaca butir-butir 
yang
ada kaitannya dengan masalah gender sebagai berikut:

"Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terpadu dengan 
mengikuti
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional
yang 
diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidak-sesuaiannya
dengan ketentuan
reformasi."

Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa pemberdayaan
perempuan dianggap
dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Lebih
lanjut dapat dibaca 
dalam
bab IV bahwa hukum harus ditegakkan secara konsisten,
untuk lebih 
menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi
hukum, serta 
menghargai
hak asasi manusia (butir IV 3). Dikemukakan juga bahwa
harus 
dilanjutkan
ratifikasi konvensi internasional, terutama yang
berkaitan dengan hak 
asasi
manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa
dalam bentuk
undang-undang (butir IV 4).

Dalam rangka ratifikasi konvensi internasional, hal
yang secara khusus
disoroti adalah:

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (sering
disingkat sebagai Konvensi Wanita) yang telah
diratifikasi melalui
Undang-undang No 17 Tahun 1984.

Dalam hukum nasional kita terdapat ketentuan-ketentuan
yang melindungi
kepentingan perempuan, dan secara formal negara kita
telah menyatakan
komitmen untuk memajukan Hak-hak Asasi Manusia, yang
mencakup Hak Asasi
Perempuan. Namun berbagai kenyataan di lapangan
menunjukkan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hak-hak perempuan; dan belum
terwujudnya 
kesetaraan
gender.

Dalam Konvensi Wanita (Konvensi Perempuan) yang telah
kita ratifikasi
melalui Undang-undang No l7 Tahun 1984, tercantum
beberapa alasan 
mengenai
pentingnya pemajuan hak asasi perempuan dan
komitmen-komitmen dari
negara-negara penandatanganan Konvensi dan hanya bila
komitmen itu
diimplementasikan, maka barulah akan terwujud
kesetaraan gender.

Pada halaman-halaman berikut kami akan membahas status
wanita dalam 
hukum
nasional kita dan menurut Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk 
Diskriminasi
Terhadap Wanita.

II. Komitmen RI untuk memajukan Hak Asasi Perempuan

Sebagai negara yang telah menggabungkan dirinya kepada
Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) negara kita secara hukum
Internasional mempunyai
kewajiban untuk memajukan HAM, termasuk hak asasi
perempuan.

Tujuan PBB adalah mewujudkan kerjasama internasional
dalam upaya 
pemajuan
dan peningkatan penghargaan terhadap HAM serta
kebebasan-kebebasan 
dasar
untuk semua orang tanpa perbedaan berdasarkan ras,
jenis kelamin, 
bahasa
atau agama. Namun laporan-laporan yang diterima oleh
PBB, menunjukkan 
bahwa
di berbagai tempat tetap terjadi pembedaan yang
mendiskriminasikan
perempuan.

Salah satu instrumen yang dihasilkan PBB dan telah
diterima dalam 
Sidang
Umum tanggal 7 November 1967 adalah Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Dalam Deklarasi ini dirumuskan
sejumlah bidang 
seperti
hukum yang mengatur ketenagakerjaan, mengatur masalah
keluarga, yang
mengatur masalah ekonomi, politik dan dituntut bahwa
negara-negara 
anggota
PBB, berkenaan dengan bidang-bidang tersebut,
persamaan hak-hak pria 
dan
perempuan harus diwujudkan secara hukum dan dalam
praktik sehari-hari.

Dalam kenyataan, efektivitas suatu Deklarasi untuk
menjadi alat pemaksa
dalam menuntut perwujudan kesetaraan gender sangat
terbatas. Oleh 
karena itu
kalangan PBB dan para aktivis HAM merasakan keperluan
untuk 
menghasilkan
instrumen yang secara internasional disepakati dan
mengandung 
ukuran-ukuran
mengenai pemajuan persamaan antara pria dan perempuan.
Berbeda dengan
deklarasi, yang secara hukum tidak mengikat, instrumen
yang ingin
dikembangkan itu diharapkan bersifat mengikat dari
segi hukum 
internasional.
Maka yang dihasilkan adalah suatu Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita/Perempuan yang telah
diterima pada Sidang 
Umum
PBB 18 Desember 1976, dengan disetujui oleh 13 Negara
dan 11 negara
menyatakan abstein.

Para pemerintah yang menerima konvensi tersebut,
membuat komitmen bahwa
mereka akan melakukan upaya-upaya yang diperlukan,
termasuk pembuatan
berbagai peraturan yang akan menjamin bahwa perempuan
dapat berkembang
secara penuh dan maju dalam kedudukannya serta
menjamin bahwa mereka 
dapat
melaksanakan serta menikmati hak-hak asasi mereka,
serta 
kebebasan-kebebasan
dasar mereka.

Pentingnya perwujudan kesetaraan gender diupayakan
oleh negara dapat 
disimak
bila kita membaca sejumlah butir yang tertera dalam
mukadimah konvensi 
ini.
Bacalah misalnya butir-butir berikut: Keyakinan bahwa
pembangunan 
menyeluruh
dan selengkapnya suatu negara, kesejahteraan dunia,
dan usaha 
perdamaian
menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas
dasar persamaan 
dengan
kaum pria di segala lapangan. Kemudian baca pula:
peringatan mengenai
besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan
keluarga dan 
pembangunan
masyarakat, tetapi selama ini belum sepenuhnya diakui.
Peringatan 
tersebut
juga meliputi arti sosial dari kehamilan, dan peranan
kedua orang tua 
dalam
keluarga dalam membesarkan anak dan penyadaran
mengenai peranan wanita 
dalam
memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar
diskriminasi, akan
tetapi justru diingatkan bahwa membesarkan anak
menghendaki pembagian
tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat
sebagai 
keseluruhan.

Mukadimah konvensi ini diakhiri dengan tekad negara
penandatangan: 
Tekad
untuk melaksanakan asas-asas yang tercantum dalam
Deklarasi Mengenai
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan untuk itu
membuat 
peraturan
yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi dalam
segala bentuk dan
perwujudannya.

III. Penyesuaian Peraturan Perundang-undangan RI,
serta Kebijaksanaan
Pembangunan terhadap Konvensi Wanita

Dari tekad yang telah kami kutip dimuka, jelas
kelihatan bahwa
peraturan-peraturan yang ada di negara kita, dan 
kebijaksanaan-kebijaksanaan
harus serasi dengan Konvensi Wanita, dengan
ukuran-ukuran yang tertera 
di
situ.

Panitia penyelenggara Pertemuan Penyuluhan dan
penyebaran Informasi 
Data
Hukum dari Departemen Kehakiman dan HAM sensitif
gender telah 
mengedarkan
data mengenai hukum yang bias gender di negara kita.
Kita membaca 
tentang
pasal 31, dan 34 Undang-undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa suami 
adalah
kepala keluarga sedangkan istri, ibu yang bertanggung
jawab mengenai
pengurusan rumah tangga. Kemudian juga tentang hak
suami untuk hal-hal
tertentu dalam hal diizinkan berpoligami, serta
terbatasnya hak istri 
untuk
mengajukan gugatan terhadap suami bila ingin bercerai
di pengadilan 
tempat
tinggal suami, serta sejumlah peraturan lainnya.

Peraturan-peraturan yang bias gender ini bertentangan
dengan apa yang
ditetapkan dalam Konvensi Wanita dan untuk memenuhi
komitmen yang telah
menjadi tekad Negara kita sebagai penandatangan
Konvensi seharusnya
ketentuan-ketentuan hukum tersebut dinyatakan tidak
berlaku dan diganti
dengan yang selaras dengan Konvensi Wanita.

LSM-LSM pemerhati masalah perempuan telah
berulang-ulang mengemukakan 
bahwa
p eraturan-peraturan yang bias gender itu adalah
kendala yang dihadapi 
dalam
upaya perwujudan kesetaraan gender.

Dengan menerapkan pasal s1 Konvensi Wanita, kita dapat
mengemukakan 
bahwa,
sebagai akibat dari ketentuan-ketentuan yang bias
gender itu perempuan
mengalami diskriminasi. Pasal s1 itu bunyinya: "Setiap
pembedaan, 
pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,
yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan 
kebebasan-kebebasan
pokok di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya,
sipil atau apapun
lainnya, oleh kaum perempuan terlepas dari status
perkawinan mereka, 
atas
dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki".

Dalam relasi antara perempuan dan laki-laki, perempuan
karena 
gendernya,
mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak adil. Dengan
menggunakan 
definisi
tentang diskriminasi tadi, maka berbagai perlakuan
diskriminasi dapat
teridentifikasi. Dalam bidang tenaga kerja misalnya,
perempuan yang 
bekerja
diberi status lajang, karena menurut pasal 31, 34 UU
Perkawinan, suami
adalah kepala rumah tangga dan dia yang bertanggung
jawab untuk mencari
nafkah. Bila istri bekerja maka anggapan yang
mendukung norma tersebut
adalah istri hanyalah menghasilkan pendapatan tambahan
saja.

Akibatnya, imbalan yang diterima oleh perempuan yang
bekerja yang
kualifikasinya sama dengan seorang tenaga kerja pria,
adalah lebih 
kecil.
Hal ini merupakan perlakuan diskriminatif. Jelas bahwa
perlakuan
diskriminasi merupakan pelanggaran HAM perempuan.

Pemerintah berkewajiban menghapus ketentuan-ketentuan
yang bias gender 
dan
para perempuan menunggu kapan komitmen itu
dilaksanakan. Contoh 
ketentuan
hukum lain yang bias gender adalah Undang-undang
kewarganegaraan. 
Perempuan
Indonesiayang kawin secara sah dengan laki-laki warga
negara asing 
tidak
dapat menjadi penerus status kewarganegarannya kepada
anaknya. Kalau
misalnya dia tidak kawin secara sah dengan pria asing
itu, barulah 
anaknya
dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Ketentuan semacam 
ini
bertentangan dengan Konvensi Wanita dan sudah
sewajarnya disesuaikan 
dengan
Konvensi Wanita agar tidak menyebabkan perlakuan
diskriminatif.

Status Wanita juga sangat lemah bila dikaitkan dengan
rumusan-rumusan 
delik
pidana seperti perkosaan.

Seorang jaksa bernama Sugiharto Rekso Pertomo, SH
(Asisten Perdata dan 
TUN -
Kejaksaan Tinggi DKI, Jakarta) mengemukakan bahwa
"dari kasus kejahatan
seksual tampak sekali bagaimana lemahnya kedudukan
seorang wanita 
sebagai
korban kejahatan di dalam sistem hukum kita, terutama
yang menyangkut
kejahatan terhadap kesusilaan dan kekerasan terhadap
wanita". (S.R. 
Pertomo,
SH, Makalah).

Korban kejahatan, sering wanita dibawah umur telah
mengalami trauma
mendalam, hak-hak hukumnya tidak terkondisi, tetapi
justru pelaku 
kejahatan
lebih terlindungi hak-haknya.

Jaksa ini mengemukakan bahwa haruslah diadakan
reformasi terhadap hukum
pidana, dan terutama pasal-pasal tentang kejahatan
kesusilaan 
memerlukan
rumusan-rumusan baru. Keadilan gender harus tercermin
dalam rumusan 
baru
itu.

IV. Tantangan-tantangan dalam penyesuaian
peraturan-peraturan di 
Indonesia
dengan Konvensi Wanita

Di muka kita telah beberapa kali menyinggung tentang
komitmen 
pemerintah
atau kewajiban pemerintah untuk menyesuaikan peraturan

perundang-undangan
terhadap Konvensi Wanita. Untuk lebih jelas
menggambarkan intensi itu 
dan
bahwa diskriminasi harus dihapuskan kita dapat membaca
pasal 2 Konvensi
lebih lanjut. Di sini dikatakan bahwa diskriminasi
dikutuk oleh Negara
Peserta, dan akan dibuat peraturan-peraturan dan kalau
perlu dengan 
sanksi.
Pada pasal 2b juga dicantumkan antara lain bahwa
melalui pengadilan 
nasional
dan badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita
yang e fektif
terhadap setiap tindakan diskriminasi akan dilakukan
(2c). Lebih lanjut
dapat kita perhatikan lagi pasal 2d, 23, 2f, yang
semua memuat 
bagaimana
cara-cara yang harus ditempuh untuk dapat menghapuskan
diskriminasi 
itu.

Namun dalam kenayataan setelah konvensi ini
diratifikasi lebih dari 17 
tahun
yang lalu, komitmen yang rumusannya sangat kuat ini,
tidak diimbangi 
oleh
langkah-langkah yang sungguh-sungguh mendukung
komitmen tersebut.

Menurut pengamatan saya, memang kita menghadapi
berbagai tantangan 
dalam
upaya penyesuaian peraturan-peraturan
perundang-undangan yang ada 
terhadap
Konvensi Wanita. Bila kita membaca pasal 5 (a)
Konvensi Wanita dan
merenungkan sifat dari tantangan itu maka akan semakin
kita pahami.

Pasal 5a: Negara-negara peserta wajib melakukan upaya
dan langkah yang
tepat:

(a) untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya
pria dan wanita
dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka dan

kebiasaan-kebiasaan
dan segala praktik lainnya yang berdasarkan atas
inferioritas atau
superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar
perasaan stereotip 
bagi
pria dan wanita.

Di sini kita membaca pola tingkah laku sosial dan
budaya secara umum 
dari
pria dan perempuan yang perlu berubah. Kalau tidak,
maka 
prasangka-prasangka
lama, nilai-nilai tradisional lama mengenai siapakah
perempuan, apakah
tugas-tugasnya, kedudukannya yang harus tunduk kepada
suami atau para 
pria
lainnya akan tetap dipertahankan oleh para warga
masyarakat, sehingga
pencapaian kesetaraan gender akan mengalami kendala.

Inilah salah satu tantangan berat yang dihadapi dalam
upaya penyesuaian
berbagai peraturan perundang-undangan kepada Konvensi
Wanita. 
Katakanlah
sudah berhasil dibuat suatu draft tentang perubahan
pada berbagai 
produk
legislatif seperti yang telah dikemukakan oleh
panitia. Namun masih
merupakan suatu perjuangan besar untuk meyakinkan
bagian 
perundang-undangan
departemen terkait untuk menjadikannya sebagai
rancangan undang-undang 
dan
disetujui untuk diajukan ke DPR. Di DPR berbagai
fraksi harus sepakat 
bahwa
peraturan-peraturan yang bias gender itu memang urgent
untuk 
dihapuskan.

Dalam Konvensi Wanita antara lain dapat juga kita baca
suatu ketentuan
khusus tentang kewajiban negara untuk menjamin ke
cakapan hukum yang 
sama
bagi pria dan perempuan dan bahwa hakim harus memberi
perlakuan yang 
sama
pada semua tingkatan prosedur dimuka hakim dan
pengadilan (Pasal 15 
(1),
(2)).

Dalam soal penegakan hukum ini pun terdapat banyak
tantangan. Para 
wartawan
perlu mengetahui tentang Konvensi Wanita sehingga
dapat memahami bahwa
mereka mempunyai peranan yang strategis untuk
menyebarluaskan informasi
tentang kewajiban negara dan masyarakat kita bahwa
kita teruslah
memfasilitasi perubahan sosial-budaya sehingga
kendala-kendala terhadap
pelanggaran HAM perempuan/wanita*) dapat terhapuskan.

Hal-hal yang disebut dimuka menunjukkan bahwa yang
harus diwajibkan 
adalah
terjadinya suatu perubahan sosial budaya dan salah
satu instrumen yang 
telah
diterima oleh pemerintah adalah Konvensi Wanita ini.

Perlu lagi diperhatikan bahwa kita sebagai negara
tunduk kepada pasals 
17
Konvensi ini dimana ditentukan bahwa kemajuan kita
mengenai penerapan
Konvensi ini dinilai oleh suatu panitia CEDAW. Jadi
ada prinsip
akuntabilitas yang harus kita patuhi. Kita pun harus
membuat
pertanggungjawaban sesuai pasal 18.

Kemudian bila kita kelak telah meratifikasi Optional
Protocol (OP) 
terhadap
Konvensi Wanita, maka para individu atau kelompok
Wanita yang 
dinegerinya
telah melakukan semua upaya-upaya pengaduan
pelanggaran hak asasinya 
(have
exhausted all national remedies) dapat juga mengadukan
kasusnya 
langsung ke
panitia CEDAW.

Memperhatikan berbagai tantangan yang kami kemukakan
tadi, maka 
pemerintah
sudah seyogyanya menunjukkan kemauan politik yang kuat
untuk mendukung
sepenuhnya tindakan-tindakan/program yang mempercepat
terjadinya 
perubahan
sosial yang diperlukan dan memperkuat pelaksanaan
komitmen yang telah
diucapkan dengan diratifikasinya Konvensi Wanita.***

*) kami memberi makna yang sama pada kata wanita dan
perempuan


=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com