[Nusantara] Perkawinan Campuran dalam Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Aug 26 11:23:34 2002


"He-Man" <fokus@bdg.centrin.net.id>
 26 Aug 2002 07:03:10 +0700 
Perkawinan Campuran dalam Hukum Kewarganegaraan dan
Keimigrasian 
         
 Senin, 13 Mei 2002

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0205/13/dikbud/perk34.htm

Perkawinan Campuran dalam Hukum Kewarganegaraan dan
Keimigrasian


Junita Sitorus
Pembedaan perlakuan hukum antara laki-laki dan
perempuan dalam 
perkawinan antarbangsa (Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang 
Perkawinan menyebutnya Perkawinan Campuran) sudah
tidak sesuai lagi 
dengan semangat perlindungan hak asasi manusia (HAM)
dalam era 
reformasi ini. 

Dalam kaitan itu, tulisan ini mengambil momentum
penyusunan Rancangan 
Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan dan RUU
Keimigrasian saat ini 
oleh pemerintah untuk diajukan ke DPR, sebagai wacana
agar persamaan 
kedudukan perempuan dan laki-laki di muka hukum dalam
perkawinan 
campuran ini diberikan.

Absennya perlindungan kepada kelompok kawin campur
bermula pada UU No 
62/1958 tentang Kewarganegaraan yang membedakan
perkawinan antara 
laki-laki Warga Negara Indonesia (WNI) dan perempuan
Warga Negara 
Asing (WNA) dengan laki-laki WNA dan perempuan WNI
(patriarchal view 
of gender). Dalam UU tersebut, perempuan WNA yang
menikah dengan laki-
laki WNI boleh menjadi WNI segera setelah dia
mengajukan permohonan 
untuk itu dengan syarat melepaskan kewarganegaraan
asalnya. Di lain 
pihak, seorang laki-laki WNA yang menikah dengan
perempuan WNI tidak 
mendapat perlakuan hukum yang serupa. Laki-laki
tersebut tetap WNA 
dan istrinya boleh tetap WNI, serta anak-anak yang
lahir ikut 
kewarganegaraan ayahnya.

Ada beberapa asas yang dianut secara ketat dalam UU
Kewarganegaraan 
itu yang berdampak pada absennya rasa keadilan bagi
perkawinan 
campuran ini.

Pertama asas patriarki. UU Kewarganegaraan yang dibuat
pada masa UUD 
Sementara 1950 mengadopsi asas patriarki dari hukum
positif yaitu 
hukum adat yang mengakui ayah sebagai pembawa garis
keturunan. 

Kedua, anti-bipatride. Penerapan asas ius sanguinis
(hubungan darah) 
oleh UU ini dan untuk menghindarkan bipatride, UU ini
tidak menganut 
asas ius soli bagi anak sah dari ibu WNI. 

Ketiga, kedudukan anak. Permohonan naturalisasi yang
mensyaratkan 
bertempat tinggal di Indonesia lima tahun
berturut-turut atau 10 
tahun tidak berturut-turut tidak berlaku bagi anak.
Karena UU ini 
menganggap umur dewasa menentukan kewarganegaran
adalah 21 tahun. 
Juga, anak asing dari perceraian oleh pengadilan dan
anak asing yatim 
dari ayah asing yang masing-masing hak asuh diberikan
pada ibu WNI 
statusnya masih tetap asing sampai dia berumur 18
tahun. Kedudukan 
anak sebagai WNA dalam kedua kasus tersebut akan
merepotkan ibunya 
dan terkesan bertentangan dengan prinsip yang dianut
UU ini bahwa 
secara sosiologis selalu ada hubungan kekeluargaan
antara ibu dan 
anak.

Sementara itu, jika mereka memilih bermukim di
Indonesia, perangkat 
hukum keimigrasian secara substantif tidak mengatur
orang asing dalam 
perkawinan campuran ini. Ayah dan anak tersebut
diperlakukan (kurang 
lebih) sama dengan orang asing lainnya. Sepertinya ada
kontradiksi 
dengan apa yang dianut dalam UU kewarganegaraan ini
yaitu asas 
kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan. Jika secara
eksplisit 
diamanatkan dalam UU tersebut, setidaknya harus ada
kemudahan khusus 
dalam perangkat hukum Keimigrasian. 

UU No 9/1992 tentang Keimigrasian, misalnya, bahkan
tidak menyinggung 
tentang masalah ini. Hanya dalam Peraturan Pemerintah
(PP) No 32/1994 
serta Surat Keputusan (SK) Menkeh No.M.02-IZ.01.
10-1995 dapat 
mengurangi beban ibunya karena anak asing tersebut
boleh mendapat 
Izin Tinggal Sementara (Itas) atas jaminan ibunya.
Pasal ini 
sebenarnya kemudahan setengah hati karena syaratnya
hanya jika 
ayahnya belum memiliki Itas. Jika ayah sudah
memilikinya anak akan 
menjadi status ikutan dalam Itas ayahnya. 

Selanjutnya, suami yang WNA tidak diizinkan memiliki
Itas dengan 
jaminan istri, paling hanya boleh memiliki izin
kunjungan sosial 
budaya selama tiga bulan yang bisa diperpanjang sampai
enam bulan. 
Sesudah itu harus keluar wilayah Indonesia. Cara lain
untuk mendapat 
izin bertempat tinggal adalah dengan bekerja. Sebagai
orang asing, 
bekerja berarti dipekerjakan suatu perusahaan
tertentu, berinvestasi 
di Indonesia, atau mendirikan perusahaan. Dalam SK
Menkeh No.M.02-
IZ.01.10-1995 disebutkan orang asing yang boleh
bekerja di Indonesia 
hanya yang benar-benar tenaga ahli langka, top
executive atau 
investor dengan jumlah investasi yang tidak kecil.

Dalam kasus ini, jika suami bekerja berarti
mendapatkan Itas (satu 
tahun) dan anak-anaknya juga. Hidup masih terasa lebih
mudah jika 
suami masih tetap bekerja. Kesulitan besar akan muncul
jika kontrak 
kerja suami berakhir dan berarti izin tinggal di
Indonesia berakhir 
juga. Jika masih ingin bermukim di Indonesia, suami
beserta anak 
asing tersebut harus meninggalkan Indonesia untuk
mendapatkan visa 
baru yang hanya berupa visa kunjungan saja. Bahkan,
jika keadaan 
memaksa, sering suami dan anak tersebut masuk dengan
visa turis yang 
tidak dapat diperpanjang atau dikonversi. Dengan kata
lain UU 
Keimigrasian ini menyarankan pasangan ini untuk
bermukim di luar 
wilayah Indonesia saja.


***
TELAAH sosiologis yang terlalu teoritis tanpa melihat
fakta perubahan 
dan globalisasi dan penerapan selective policy pada
kedua UU ini 
telah menuai pandangan sinis tentang perlindungan hak
asasi terhadap 
perempuan di Indonesia. Isu HAM dan isu kesetaraan
jender yang 
dilekatkan pada perkawinan campuran ini terletak pada
beberapa fakta. 

Pertama, merupakan hak asasi manusia untuk memilih
tinggal di 
negaranya tanpa memandang dengan warga negara mana dia
menikah. 
Pembedaan pengaturan kewarganegraan dan izin
keimigrasian antara laki-
laki dan perempuan WNI dengan pasangan masing-masing
WNA jelas sangat 
diskriminatif. 

Kedua, adalah HAM seperti diakui oleh UU No 62/1958
untuk menyatukan 
kewarganegaraan kedua mempelai dan anak-anaknya.
Karena jika suami 
atau anak-anak dideportasi misalnya, berarti sama
dengan mengusir 
ibunya dari Indonesia. 

Ketiga, adalah HAM mendapatkan penghidupan layak
seluas-luasnya tanpa 
dibatasi. Suami WNA dalam kasus ini mendapat izin
tinggal untuk 
bekerja hanya jika sebagai investor, top eksekutif,
atau tenaga ahli 
langka.

Perkawinan adalah ikatan batin yang suci dan diridhai
Ilahi. Dalam 
konsep demokrasi modern, negara tidak boleh
mengintervensi warganya 
kepada siapa dia menikah. Seperti dalam sebuah
keluarga, adalah wajib 
menerima pasangan hidup anaknya sebagai anggota
keluarga. 

Pengakuan negara terhadap suami dan anak-anak WNA,
melalui pemberian 
hak yang sama memohon pewarganegaraan seperti bagi
pasangan asing 
dari laki-laki WNI dari perkawinan campuran ini adalah
suatu 
keniscayaan. UU ini tidak bisa menjadi tameng menahan
arus 
globalisasi, karena konsep bangsa secara sosiologis
yang mengacu pada 
ciri rasial akan menjadi usang. 

Tentang hukum adat sebagai hukum positif yang menganut
asas patriarki 
adalah masalah lain yang tidak berhubungan. Asas
antibipatride dan 
anti-apatride tetap bisa dipertahankan karena
pewarganegaraan dalam 
kasus ini melalui permohonan dengan syarat
menanggalkan lebih dulu 
kewarganegaraannya. Pewarganegaraan perkawinan
campuran tidak 
berkaitan dengan prinsip kebijakan selektif, jadi
harus dibedakan 
dari menjadi negara penerima imigran (immigrant
state). Karena 
perkawinan memiliki nilai sakral sehingga negara
jangan menjadi 
rintangan bagi perikatan manusia ini. 

DPR telah meratifikasi Convention on the Elimination
of All Forms of 
Discrimination Against Women (CEDAW) pada 24 Juli 1984
dan 
diundangkan dalam UU No 7/1984. Pengakuan Indonesia
akan Konvensi 
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan itu 
seharusnya jangan hanya law in books. 

Dengan UU ini berarti Indonesia menghendaki juga
penghapusan 
terhadap "segala pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan atas dasar 
jenis kelamin, ... pembatasan atas kebebasan pokok di
bidang politik, 
ekonomi, sosial, budaya atau apa pun oleh kaum
perempuan terlepas 
dari status perkawinan mereka dan atas dasar persamaan
laki-laki dan 
perempuan". 


* Junita Sitorus, Pengamat masalah perempuan, bekerja
di Direktorat 
Jenderal Imigrasi. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com