[Nusantara] Fanatisme, Tafsir Wacana Totaliter

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Aug 27 12:43:07 2002


"Ambon" <sea@swipnet.se>
 26 Aug 2002 22:10:10 +0200 
Fanatisme, Tafsir Wacana Totaliter 
         
Fanatisme, Tafsir Wacana Totaliter
Oleh
Ermina dan Susetyo KS

Jika melihat realitas yang terjadi saat ini,
setidaknya menyisakan 
sebuah
kegundahan. Sebuah pertanyaan yang tidak pernah bisa
terjawabkan secara
memuaskan. Masih saja ada hal yang mengganjal, dengan
segudang 
ambiguitas
yang melatarbelakanginya.
Satu hal yang senantiasa mengganjal adalah, begitu
mudahnya muncul 
sikap
fanatisme. Fanatisme yang pada akhirnya akan berbuntut
pada terciptanya
konflik-konflik kekerasan. Semuanya teramat sulit
untuk dihindari. Yang
justru tersisa pada saat ini, adalah fanatisme dengan
latar belakang
ideologi dan agama. Keduanya, dengan mudah mencuat ke
permukaan. Sangat
sensitif, dan mempunyai resiko besar manakala
terbungkus oleh konflik.
Patut diakui pula, bahwa lahan subur dari begitu
mudahnya muncul
sensitivitas dan sikap fanatik ini, bukanlah berakar
pada kalangan yang
tidak berpendidikan. Namun, justru bisa mengarah dan
berakar subur pada
kalangan yang memang menisbikan dan ketidakmampuan
dalam membedakan 
antara
fiksi dan fakta, antara kebenaran dan kesalahan dalam
perspektif
normatifnya. Kalangan ini memang dengan mudah disulut
sikap fanatisme 
dan
sensitivitas ideologis-agamanya. Bahkan, kaum
intelektual sekalipun,
manakala memenuhi prasarat di atas, bukan tidak
mungkin juga rentan 
terhadap
sikap fanatisme.
Tidaklah mengherankan, justru berangkat dari akar
fanatisme sempit, 
telah
melahirkan implementasi yang serius, sebagai pintu
awal lahirnya
konflik-konflik baru. Dengan demikian, akar fanatisme
justru telah
menisbikan dimensi kemanusiaan universal. Tak pelak
bahwa, sikap 
fanatisme
juga telah melakukan peremehan realitas. Realitas akan
adanya 
perbedaan,
kesetaraan, dan semacamnya.
Jika fakta membuktikan bahwa fanatisme yang menjadi
akar dari konflik
ideologis dan agama kian mendistorsi dimensi
kemanusiaan universal, 
maka
sekali lagi patutlah digulirkan sebuah kajian kritis
tentang pemetaan
fanatisme dalam demarkasi yang konstruktif. Ini sangat
penting. Karena,
fanatisme yang menyembul dalam dataran psikologis
komunal malah 
mengalami
sejumlah pembiasan dan memunculkan ironi-ironi konflik
kekerasan.

Wacana Totaliter
Pada dasarnya fanatisme adalah wacana totaliter.
Sekadar contoh, 
seorang
pemeluk agama melakukan pembunuhan karena dibenarkan
secara teologis, 
namun
ia sendiri tak mempunyai acuan wacana lain untuk bisa
membenarkan 
wacana
teologis yang ia yakini tersebut. Dengan demikian
pula, mediasi budaya
sebagai ru-ang sosial pencipta relasi humanis menjadi
terabaikan.
Maka, implementasi selanjutnya adalah, bahwa adanya
pengalaman 
terciptanya
hubungan kongkret antarmanusia dengan maknanya, secara
sistematis 
mengalami
penolakan. Makna hubungan relasi, sebelum adanya
fanatisme, justru tak
mempunyai definisinya yang jelas.
Sekadar catatan, bahwa sejarah telah membeberkan fakta
bahwa, filsuf
Eichmann, Dr. Otto Hunche dan Dr. Bradfisch bukanlah
sosok yang tidak
berpendidikan. Dunia mengakui pemikiran-pemikiran
kritisnya. Namun 
mereka
menjadi pengagum dan begitu fanatik terhadap Nazi.
Tersimpulkan secara
kongkret bahwa lahan subur dari fanatisme memang bukan
masyarakat yang
bodoh. Namun justru akan terjadi pada orang-orang yang
tidak berdaya 
pada
pilihan realitas dan maknanya yang telah terjadi.
Sehingga, fanatisme dalam satu perspektif teologis,
pada akhirnya tidak 
akan
pernah lagi mempertanyakan kebenaran dan makna dari
wacana. Jika fakta 
yang
seringkali melatarbelakangi sikap fanatisme semacam
ini, tidaklah
mengherankan jika upaya untuk pengambilan jarak
kognitif mengalami 
jalan
buntu. Upaya untuk melakukan dekonstruksi atau
mempertanyakan kembali 
sebuah
keyakinan, tak akan pernah terjadi. Yang acapkali
muncul justru 
percikan
konflik kekerasan yang lahir dari fanatisme.
Relasi dan hubungan kongkret antarmanusia tidak lagi
mempunyai maknanya 
yang
utuh manakala sikap fanatisme begitu dominan. Upaya
untuk mengambil 
jarak
yang konstruktif bagi terciptanya sikap kritis
terhadap keyakinan,
terkalahkan oleh kepentingan diri dan kelompok.
Dialog telah dianggap sebagai senjata bagi pihak-pihak
yang lemah. 
Otokritik
lantas ditabukan. Sehingga, fanatisme bukan
semata-mata datang dari isi
gagasan suatu ideologi ataupun agama, tetapi lebih
pada bentuk 
pemikiran.
Sikap peremehan realitas inilah, yang menutup diri
pada penemuan aspek
ideologis sebuah agama. Tindakan fanatisme, telah
menggumpal dengan
mencirikan dirinya pada aspek-aspek narcissic yang
radikal. Semua yang
diyakini dianggap paling benar, paling sahih untuk
dilakukan. Asalkan 
sesuai
dengan visi dan kepentingan diri, ataupun kelompok
yang mengatasnamakan
sikap fanatik.
Realitas serba totaliter, secara prinsip telah
menempatkan setiap 
individu
dalam harkat kebebasannya. Kebebasan ini dapat
dipahami sebagai upaya 
untuk
membangun tata ruang ordo sosial religius yang sesuai
dan relevan 
dengan
kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Fanatisme
telah menyembunyikan
secara terus menerus adanya gagasan akan perubahan.
Fanatisme agama, mempunyai sasaran utama untuk bisa
mengahancurkan 
pemeluk
agama lain. Sementara purifikasi juga telah dilakukan
pada pemeluk 
agamanya
sendiri. Tampak jelas bahwa, relativitas radikal dari
fanatisme adalah 
bukan
realitas yang menentukan nilai dan makna, tetapi
justru tindakanlah 
yang
pada akhirnya akan membangun sebuah realitas. Realitas
yang identik 
dengan
wacana totaliter yang beku, subordinan dan
menghancurkan. Sayang, jika
kehidupan agama-agama pada saat ini justru diarahkan
oleh adanya 
pragmatisme
fanatik dalam penyikapanannya terhadap makna-makan
pada ruang sosial
religiositasnya.

Otokritik
Terbukti memang, bahwa konflik antarumat beragama
dalam batasan wilayah
manapun tidaklah terlepas dari sikap fanatik.
Fanatisme bukan sekadar 
akan
menyerang mereka yang tidak terdidik semata. Tetapi,
kaum intelektual
sekalipun juga menjadi sasasaran empuk dari sikap
fanatisme yang 
destruktif
dan totaliter.
Sebuah daya pikat yang dipunyai fanatisme adalah
kemampuannya untuk 
bisa
menjembatani masa dan ketiadaan kemunafikan. Sebuah
wacana totaliter 
yang
eksklusif tentunya. Cara pandang yang hitam putih dan
generalisum, 
dengan
mudah mereduksi kualitas realitas yang penuh dengan
keberagaman, 
perbedaan
dan daya hidup. Upaya untuk mencapai titik balik pada
penghancuran 
nilai
keberagaman menjadi pangkal tolak dari fanatisme
komunal dan 
religiositas.
Mungkin, sepanjang sikap fanatik masih begitu dominan
dalam ruang 
publik
keseharian, akan muncul kebingungan dan ambigu yang
tinggi 
intensitasnya.
Adanya pilihan-pilihan atas nama telogi yang tertup
tanpa adanya
dekonstruksi, pengambilan jarak dan otokritik, telah
menghancurkan 
semuanya.
Pada satu sisi memang kehidupan beragama ini
menciptakan peningkatan
kualitas mutual hubungan antar individu. Namun, ketika
sikap fanatik 
yang
menonjol, maka yang lantas muncul adalah keterasingan.
Keterasingan 
akan
adanya bentuk-bentiuk keyakinan teologis. Keterasingan
yang melempar
individu pada bentuk-bentuk dan nilai kemanusiaan yang
kongkret dalam
kesehariannya.
Sungguh ironis, jika kehidupan beragama justru
ternisbikan oleh sikap
fanatisme yang menghancurkan dimensi kemanusiaan
universal-nya.

Kedua penulis adalah peneliti pada Institut Studi Arus
Informasi Media
(ISAIM) Yogyakarta   .



=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com