[Nusantara] QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Aug 28 08:14:50 2002


"Ambon" <sea@swipnet.se>
27 Aug 2002 22:43:08 +0200 
QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil 

KOmpas
Rabu, 28 Agustus 2002

QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil
Oleh Elvyn G Masassya

Adakah jenis investasi yang bisa meniadakan dogma high
risk high 
return?
Ada! Setidaknya, seperti itulah persepsi para investor
yang menempatkan
dananya dalam perusahaan investasi bagi hasil. Jadi,
tidak mengherankan 
bila
kemudian PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), yang
menjalankan bisnis bagi
hasil di sektor agrobisnis berhasil menarik hati para
pemilik dana.
Perusahaan ini, menawarkan return yang jauh di atas
bunga deposito dan
risiko yang nihil.
Itulah janji yang dikemukakan, ketika QSAR memasang
iklan di berbagai 
media
cetak beberapa tahun silam.
Namun, persepsi memang berbeda dengan realitas. High
risk high return 
adalah
suatu aksioma yang tidak bisa digugat oleh keajaiban
apa pun. Sekitar 
6.500
investor yang semula begitu yakin, investasi bagi
hasil yang diikutinya 
akan
memberikan return dahsyat, ternyata menghadiahi mereka
risiko yang jauh
lebih dashyat. Konkretnya, dana Rp 500 milyar yang
tertanam di QSAR, 
tidak
jelas lagi nasibnya. QSAR yang semula diyakini bisa
menjadi "dewa 
investasi"
ternyata hanya memberi mimpi. Tidak jauh beda dengan
sinetron di 
televisi.
Mengapa masyarakat bisa tertarik investasi semacam
itu? Boleh jadi, 
latar
persoalannya ada di budaya kita yang cenderung ingin
hasil cepat tanpa 
kerja
keras. Lihat saja, fenomena iming-iming tabungan
berhadiah yang 
dijalankan
banyak bank dewasa ini, ternyata begitu sakti
menghimpun dana. 
Masyarakat
lebih suka iming-iming hadiah ketimbang substansi.
Atau, lihat beberapa
tahun silam, saat banyak bank jor-joran menaikkan suku
bunga. Pemilik 
dana
berlomba-lomba menempatkan dananya di bank seperti
itu. Sampai ketika
bank-bank itu dilikuidasi, baru penyesalan datang.
Boleh jadi, perasaan
seperti itu pula yang dialami ribuan investor QSAR,
saat ini.
***
INVESTASI bagi hasil sebenarnya bukan hal keliru.
Prinsip syariah atau
venture capital juga mengenal bagi hasil. Tetapi,
hasil investasi bukan
sekadar keuntungan, namun juga resiko kerugian. Inilah
prinsip dasar 
yang
umumnya tidak dikemukakan secara jujur oleh
penyelenggara investasi 
bagi
hasil.
Investasi juga mengenal logika, bagaimana investasi
itu dilakukan. 
Logika
bagaimana penyelenggara mengelola risiko yang melekat
pada jenis 
investasi
itu.
Dalam investasi agrobisnis, seperti dilakoni QSAR,
sebagai misal, benar
bahwa sepanjang manusia masih butuh pangan, maka
kebutuhan akan produk
pertanian akan terus ada. Tetapi, juga ada tingkat
kejenuhannya. Itu
berarti, tidak seluruh hasil produksi bisa diserap
pasar. Dan QSAR yang
kebanjiran dana investasi, boleh jadi bingung
menanamkan dana itu. 
Sebab,
semakin luas lahan yang digarap, tidak menjamin
output-nya akan diserap
pasar. Ada titik optimum dalam penggunaan lahan.
Sebab, selain QSAR 
juga ada
lahan yang dikelola perusahaan lain yang juga
memproduksi output yang 
sama.
Lain hal, kalau QSAR menjadi pemasok tunggal produk
pertanian. Itu baru
dilihat dari sisi teknis pertaniannya.
Kemudian, target keuntungan yang bisa diraih. Setinggi
apa pun 
permintaan
terhadap produk pertanian, sulit rasanya untuk bisa
menghasilkan 
keuntungan
50 sampai 85 persen per tahun, sebagaimana dijanjikan
QSAR. Menurut 
para
ahli pertanian, dalam keadaan normal, keuntungan dari
bisnis pertanian
paling banter hanya sekitar 10 persen per tahun. Lalu,
bagaimana QSAR 
berani
menjamin return yang melebihi kelaziman itu? Ada
beberapa kemungkinan.
Pertama, harga produk pertanian QSAR dibeli pasar
dengan harga jauh di 
atas
pesaingnya. Kedua, QSAR melakukan efisiensi luar biasa
dahsyat, 
sehingga
mungkin tidak ada ongkos sama sekali. Ketiga, QSAR
sebenarnya 
menjalankan
"matrik bisnis" dalam pengelolaan bisnisnya.
Mengenai kemungkinan pertama, jelas tidak masuk akal.
Yang melakukan
investasi di sektor agrobisnis bukan cuma QSAR.
Perusahaan-perusahaan 
yang
nonbagi hasil juga banyak bermain di agribisnis. Jadi,
amat muskil bila
produk hasil tani QSAR mendominasi pasar, apalagi
dijual dengan harga 
jauh
di atas kelaziman. Konkretnya, bila QSAR menjanjikan
keuntungan tinggi
kepada investor, itu jelas bukan karena QSAR mampu
menjual produknya 
dengan
harga mahal.
Sementara, kemungkinan melakukan efisiensi, rasanya
juga agak 
berlebihan.
Untuk melakukan kegiatannya, selain mengalokasikan
dana untuk lahan, 
bibit,
pemeliharaan, proses produksi, dan distribusi, QSAR
pasti memiliki 
biaya
overhead yang besar. Dengan kantor cabang di
mana-mana, muskil bagi 
QSAR
untuk melakukan efisiensi melebihi yang dilakukan
perusahaan sejenis.
Kemungkinan ketiga bukannya mengada-ada. Sebab, bisnis
apa pun, 
termasuk
agrobisnis pasti memiliki yang namanya masa investasi
atau grace 
periode.
Bila palawija, paling tidak kurun waktu masa investasi
adalah tiga 
bulan.
Kalau holtikultura atau tanaman keras jelas lebih
panjang, bisa 
mencapai
tahunan. Anehnya, dalam masa investasi itu, yang
nyata-nyata belum
menghasilkan, penyelenggara investasi tetap harus
membayar (minimal) 
bunga
atau keuntungan kepada investor. Dari mana sumber
dananya? Sangat 
mungkin,
yang dipakai sebagai sumber pembayaran adalah dana si
investor juga.
Konkretnya, menggunakan pola gali lubang tutup lubang
atau mendekati 
pola
arisan. Dengan kata lain, dana dari investor yang
masuk belakangan 
dipakai
untuk membayar investor yang duluan menjadi anggota.
Itu sebabnya, para
investor yang masuk di awal, umumnya masih menikmati
keuntungan. 
Sementara,
investor yang datang belakangan, hanya menerima
"getahnya" saja.
***
LEPAS kemungkinan mana yang benar, hal yang paling
tidak masuk akal 
dari
kegiatan QSAR adalah filosofi pendanaannya. Bisnis apa
pun, sukar 
dimungkiri
bukan kegiatan sosial. Bisnis adalah derivatif dari
ideologi kapitalis.
Dalam konsep ini, lazimnya pebisnis enggan berbagi
keuntungan. Yang ada
adalah berbagi risiko.
Nah, bila benar QSAR mampu meraih keuntungan 50 persen
sampai 85 
persen,
seharusnya ia tidak perlu berbagi. Kalaupun berbagi,
tentunya dengan
persentase lebih kecil, dan itu bisa dilakukan bila
QSAR menggunakan 
kredit
bank. Dengan bunga sekitar 17-20 persen per tahun,
maka marjin yang
diperoleh pemilik QSAR akan jauh lebih besar ketimbang
menggunakan dana
milik masyarakat, yang biayanya mencapai 50-85 persen
per tahun. Lalu
mengapa QSAR tidak menggunakan kredit bank yang lebih
jelas
akuntabilitasnya? Atau, dari sisi lain, bila bisnis
QSAR benar-benar
sebagaimana dijanjikannya, tentu akan banyak bank
tergiur memberi 
pendanaan?
Nyatanya, tidak ada bank yang berminat? Boleh jadi,
bisnis QSAR 
sebenarnya
tidak bank-able.
Yang juga mengherankan adalah mekanisme operasional
QSAR itu sendiri.
Perusahaan ini adalah perseroan terbatas yang tentunya
tunduk pada
Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas (PT) dan
memiliki izin sebagai
perusahaan yang bergerak di agrobisnis. Tetapi, dalam
praktiknya, QSAR 
sudah
melakukan kegiatan penghimpunan dana. Kalau perusahaan
di sektor riil
melakukan penghimpunan dana langsung dari masyarakat,
mestinya 
dilakukan
dengan menggunakan instrumen keuangan, seperti surat
berharga, apakah 
itu
obligasi atau minimal promissory notes. Tetapi, adakah
QSAR menggunakan
metoda semacam itu?
Lebih jauh lagi, adakah QSAR memiliki izin untuk
menghimpun dana 
masyarakat?
Tidak ada. Dus, meski ada pejabat yang mengatakan QSAR
bukan bank 
gelap,
praktik yang dijalankannya sebenarnya analog dengan
itu. Masalahnya, di
negeri ini, aturan-aturan yang menyangkut investasi
bagi hasil dengan 
cara
menghimpun dana langsung dari masyarakat memang belum
tertata.
Di pasar modal, ada yang namanya KIK (kontrak
investasi kolektif).
Sebenarnya, apa yang dilakukan QSAR dan perusahaan
sejenis, harus 
merujuk ke
situ, bila ingin dibakukan. Sayang, kita sering
kebakaran jenggot bila
masalah sudah demikian parah. Dan, QSAR hanyalah salah
satu contoh dari
problema investasi bagi hasil yang marak belakangan
ini.
QSAR bukan ujung dari persoalan investasi bagi hasil.
Bukan tidak 
mungkin,
fenomena sejenis akan mencuat kembali dalam waktu
tidak terlalu lama, 
bila
pemerintah tidak segera menertibkan bisnis-bisnis
seperti itu, yang apa
boleh buat, lebih cocok diberi istilah "pepesan
kosong" ketimbang 
investasi
bagi hasil.
Elvyn G Masassya, Praktisi dan pengamat investasi




=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com