[Nusantara] Soal Perang Pernyataan Malaysia-Indonesia
Ra Penak
edipur@hotmail.com
Fri Aug 30 09:12:58 2002
"Ambon" <sea@swipnet.se>
Soal Perang Pernyataan Malaysia-Indonesia
29 Aug 2002 23:51:33 +0200
Soal Perang Pernyataan Malaysia-Indonesia
Menambah Masalah, Bukan Menyelesaikan Masalah
Oleh I Basis Susilo
DALAM menghadapi persoalan TKI di Malaysia, beberapa pemimpin kita
memperhatikan dan mempersoalkan masalah-masalah lain yang tidak urgen
secara
tidak proporsional, sehingga justru menimbulkan persoalan-persoalan
baru
yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Akibatnya, masalah urgen yang harusnya ditangani malah tidak
diperhatikan.
Para TKI, yang memerlukan bantuan pemerintah, justru tidak mendapatkan
perhatian dan penanganan memadai, karena para pemimpin asyik dengan
pernyataan-pernyataan politik yang tidak langsung membantu penanganan
TKI
maupun yang dipulangkan dari Malaysia.
Persoalan paling urgen sebenarnya adalah menyelesaikan masalah yang
dihadapi
TKI akibat pemberlakuan UU Tenaga Kerja Asing di Malaysia. TKI itu yang
sudah ada di Indonesia tetapi masih belum sampai ke tempat asal mereka,
dan
puluhan ribu TKI ilegal yang sampai kini masih berada di Malaysia.
Untuk menyelesaikan persoalan ribuan TKI yang masih belum keluar dari
Malaysia maupun untuk memfasilitasi TKI yang mau kembali ke Malaysia,
Pemerintah Indonesia dan Malaysia perlu suasana yang kondusif untuk
saling
bekerja sama mencari kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak.
Namun, suasana kondusif itu terganggu perang pernyataan beberapa
pemimpin
kedua bangsa dan kejadian-kejadian di dua negara. Perang pernyataan itu
diawali pernyataan Amien Rais, 18 Agustus lalu, di Surakarta, bahwa
hukuman
cambuk tidak manusiawi dan mengandung unsur penghinaan Malaysia pada
Indonesia.
Pernyataan itu dibalas Menlu Malaysia agar warga Malaysia tidak ke
Indonesia
kecuali memang perlu. Menteri Pendidikan Malaysia akan memanggil pulang
warganya yang sedang menuntut ilmu di Indonesia.
Amien bahkan makin keras dengan sikapnya, setelah mendapat balasan dari
dua
pejabat Malaysia itu. Kemudian, Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra
juga
ikut mengkritik hukuman cambuk.
Perang pernyataan itu dibarengi demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia
di
Jakarta, yang sempat membobol pagar dan membakar bendera Malaysia.
Karena
perang pernyataan, demonstrasi dan pembakaran bendera itu diberitakan
secara
luas oleh media massa, maka skalanya membesar secara tidak terkendali.
***
PERNYATAAN-pernyataan para pemimpin kita itu di luar proporsi. Semua
pemimpin bangsa Indonesia pasti tahu bahwa salah satu prinsip politik
luar
negeri kita adalah menghargai apa pun sistem yang dianut negara lain,
bahwa
pilar utama politik luar negeri kita adalah ASEAN, bahwa di dalam ASEAN
itu
ada kesepakatan untuk tidak mengurusi, apalagi mengkritik secara
terbuka,
persoalan dalam negeri sesama anggota ASEAN, dan bahwa penyelesaian
masalah
intern antar-anggota ASEAN selalu dilakukan secara diam-diam dan
diusahakan
tidak menimbulkan krisis hubungan antar-anggota ASEAN.
Pernyataan-pernyataan
itu justru mengeruhkan suasana, dan mengganggu proses penyelesaian yang
sedang berlangsung.
Para pelaku demonstrasi di Kedubes Malaysia di Jakarta juga bertindak
melebihi batas-batas kewajaran. Setiap orang yang pernah sekolah
minimal
SLTP saja mengetahui, membobol tembok kedutaan dan membakar bendera
kebangsaan adalah tindakan yang salah, karena ada imunitas yang dijamin
tuan
rumah.
Tindakan itu tidak hanya menunjukkan kebodohan dan pelecehan diri
sendiri,
karena mengingkari jaminan imunitas diplomat dan kedutaan asing di
Indonesia. Sayang, petugas keamanan kita pun belum memahami imunitas
itu,
sehingga tidak serius menangani demonstrans yang merusak kedutaan atau
membakar bendera negara lain.
Kebodohan serupa pernah ditunjukkan para pemimpin kita saat muncul isu
sweeping terhadap warga AS tahun lalu. Para pejabat waktu itu melarang
sweeping, tetapi alasannya karena menurunkan arus investasi, atau
merugikan
kepentingan yang lebih luas, bukan karena sweeping itu secara prinsip
adalah
salah. Artinya, para pejabat kita masih menganggap sweeping dibolehkan
kalau
tidak mengurangi investasi dan menguntungkan kepentingan nasional.
Perang pernyataan dan ulah demonstrans telah mengganggu hubungan
Malaysia-Indonesia, namun para pejabat Indonesia dan Malaysia yang
menangani
soal TKI perlu menyikapi distorsi hubungan antarpemimpin dua negara
dengan
proporsional. Mereka tidak perlu terpengaruh distorsi itu dan tetap
bekerja
membantu para TKI di Malaysia. Pelbagai pernyataan para pemimpin itu
tidak
membantu penyelesaian masalah, tetapi malah menimbulkan masalah.
***
UNTUK menyelesaikan persoalan yang timbul akibat masih tertahannya
ribuan
TKI asal Malaysia di kota-kota transit, pemerintah kita harus
mendasarkan
instinct keibuan yang merawat, membantu, dan memperhatikan mereka.
Mereka
ini menghadapi kesulitan keuangan, tempat tinggal, kesehatan, dan
memerlukan
pekerjaan.
Banyak pemimpin kita kurang membantu proses penyelesaian persoalan TKI
yang
harus pulang secara paksa ke Tanah Air, meski mereka punya kapasitas
dan
otoritas untuk itu. Sebelum membantu, perlu memperhatikan. Repotnya,
memperhatikan saja tampaknya juga kurang, kalau bukan tidak ada.
Buktinya,
persoalan TKI tidak mendapat perhatian memadai, bahkan nyaris tidak
terdengar, di Sidang Tahunan MPR maupun di Pidato Kenegaraan Presiden,
16
Agustus lalu.
Daripada hiruk-pikuk dengan pernyataan-pernyataan yang menyerang
Malaysia
yang kontraproduktif bagi penciptaan hubungan dua negara, atau daripada
hiruk-pikuk dengan politik praktis berebut perhatian dan kekuasaan di
Jakarta yang makin membosankan rakyat, sudah waktunya para politisi
kita
memikirkan dan menyelami nasib sesama bangsanya yang sedang mengalami
kesulitan hidup akibat terusir dari Malaysia.
Mestinya para pemimpin kita melihat dengan mata telanjang keadaan
mereka di
tempat-tempat penampungan sementara. Para pemimpin seharusnya menemui
para
TKI yang terkena penyakit dan yang memerlukan uluran bantuan dan
perhatian
dari para pemimpin bangsa kita, sebagaimana mereka lakukan ketika
musibah
banjir di Jakarta akhir tahun lalu.
Dengan perhatian demikian, para pemimpin tentu akan lebih termotivasi
membantu penyelesaian masalah TKI. Dan karena mereka mempunyai
kapasitas dan
otoritas untuk mengambil keputusan atau kebijakan yang strategis, maka
bisa
diharapkan penyelesaian masalah TKI yang pulang akan bisa berjalan
secara
lebih baik.
I BASIS SUSILO, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas
Airlangga
_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com