[Nusantara] Dilema Politik Islam
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Nov 16 12:24:16 2002
Dilema Politik Islam
Perkembangan politik Islam di Indonesia senantiasa
menjadi pusat perhatian yang menarik, baik di dalam
maupun luar negeri. Terlebih lagi, fenomena desakan
penerapan syariat Islam dan amandemen Pasal 29 UUD
1945 belum juga selesai diperbincangkan dan
diperjuangkan oleh sebagian ormas dan partai yang
berasaskan Islam.
Penolakan mayoritas anggota DPR terhadap amandemen
Pasal 29 dan keterpecahan opini masyarakat terhadap
penerapan syariat Islam secara formal, banyak dianggap
sebagai kegagalan politik Islam.
Selama ini, rujukan perbincangan kegagalan politik
Islam banyak disandarkan pada analisis Oliver Roy
(Gagalnya Islam Politik, 2002). Karya itu sebetulnya
belumlah cukup representatif untuk menganalisis
konteks politik Islam di Indonesia, sebab ia lahir
dari penelitian di negara-negara Timur Tengah yang
mayoritas bercorak seragam dalam warna keislamannya.
Karya Roy yang terbit pertama kali pada 1994, juga
belum meneliti fenomena evolusi pemerintahan Iran yang
menjadi reformis di bawah kendali Presiden Khatami. Di
samping itu, fenomena Islam Indonesia yang unik karena
banyaknya mazhab keberagamaan, fakta multireligius
yang membentang di hadapan mata, serta fenomena ICMI
dan gerakan NU pada tahun 1990-an tidak tercakup sama
sekali.
Maka, berdasarkan keunikan yang ada pada Islam
Indonesia, kegagalan politik Islam di negara-negara
yang diteliti Roy tidaklah sama persis dengan fenomena
Indonesia, sebab di sini terdapat banyak model dan
warna politik Islam. Keberagaman itu juga mengandaikan
pada perbedaan strategi perjuangan dan standar
keberhasilan yang mereka jadikan tolok ukur. Tulisan
ini akan lebih difokuskan pada analisis fenomena
politik akhir-akhir ini, untuk kemudian mencari solusi
yang tidak terjebak pada faktor simbolik dan
ideologis.
Jika kita perhatikan, politik Islam Indonesia memang
banyak yang bercorak formalistik dan jauh dari
substansi. Konflik kepentingan dan pandangan yang
berbuntut pada perpecahan banyak terjadi di tubuh
partai politik Islam atau yang berbasis umat Islam.
Perpecahan dan konflik di tubuh PPP, PKB, PAN, dan PBB
belum lama ini adalah fakta yang tak terbantahkan. PPP
dan PBB yang pernah mengharamkan pemimpin wanita,
namun setelah diberi jatah kekuasaan menjadi diam,
menunjukkan bahwa dalam politik umat Islam hanya
dijadikan bumper kekuasaan elite partai.
Ternyata, elite politik Islam banyak yang oportunis
dan pragmatis, tanpa sedikit pun memperjuangkan
aspirasi umat Islam yang telah lama terpinggirkan.
Saat pemerintah sekarang tergagap-gagap dalam
penegakan hukum, pengentasan krisis dan kurang
memiliki kepekaan prioritas kebijakan, anggapan umum
bahwa pemerintah yang sekuler (baca: nasionalis) mesti
demokrat, masih bercokol di benak mayoritas
masyarakat. Padahal, banyak fakta yang menunjukkan
tesis itu pada saat ini sudah tumbang. PDI-P dan
Golkar yang mengklaim diri sebagai partai sekuler,
terbukti juga melakukan hal-hal yang memalu- kan,
menyengsarakan rakyat, serta jauh dari sikap demokrat.
Kenyataan di atas tampak pada fenomena KKN yang
semakin terbuka, restu pencalonan Sutiyoso yang
terkait dengan Peristiwa 27 Juli, keengganan Akbar
untuk mundur meskipun sudah divonis tiga tahun,
politik dagang sapi dan penyuapan yang marajalela di
DPR, bisnis keluarga presiden yang mencengkeram di
mana-mana, dan kebobrokan lainnya. Fakta politik itu
semakin mengentalkan apatisme rakyat terhadap
pemerintah, DPR, maupun partai politik. Ketika mereka
memilih partai Islam, mereka takut terlibat konflik di
dalam dan sibuk menegakkan simbol agama. Namun, jika
memilih partai sekuler ternyata mereka juga sekadar
menjadi alat menggapai kekuasaan.
Sebetulnya, ada sebuah fenomena menarik yang patut
dicermati, yaitu pernyataan-pernyataan yang digulirkan
Partai Keadilan. Pernyataan itu bisa dijadikan balance
terhadap fenomena kekuasaan Golkar, PPP, PDI-P, dan
partai lain yang semakin hiprokit dan menggurita. Ide
pelarangan rangkap jabatan di kalangan pemimpin partai
dengan pemerintahan, terbukti langsung ditindaklanjuti
dengan turunnya Nur Mahmudi Ismail dari kursi Ketua
Umum Partai Keadilan. Pada pemilihan gubernur DKI
Jakarta belum lama ini, Partai Keadilan juga tampak
mengambil sikap tegas. Contoh lain terlihat pada
pengembalian uang kadeudeuh (sogokan) pada anggota
DPRD Jawa Barat oleh anggota Partai Keadilan beberapa
waktu lalu.
Partai-partai berbasiskan umat Islam lain namun yang
terbuka seperti PAN dan PKB, dalam penyikapannya
terhadap amandemen Pasal 29 UUD 1945 juga menunjukkan
sikap moderat. Setidaknya, hal di atas patut
diperhatikan dan ditindaklanjuti di tengah oportunisme
politik yang merajalela.
Kisah sukses politik Islam Indonesia pada era
demokrasi liberal juga harus disimak sebagai
pengimbang wacana. Ketika M Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, Indonesia sukses
menyelenggarakan Pemilu 1955 dan melahirkan majelis
Konstituante yang bertugas mengamendemen UUD 1945.
Saat itu, perdebatan yang sengit di dalam gedung dan
persahabatan yang mesra di luar sidang adalah
aktivitas yang biasa mereka jalankan. Artinya, mereka
sangat menjunjung tinggi kedewasaan dan kearifan
politik. Kesediaan mengalah para anggota KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat) dan BPUPKI dari Islam pada
saat penyusunan rancangan UUD 1945 untuk menghapus
tujuh kata, juga harus direnungkan kembali oleh
politisi Islam sebagai contoh teladan yang layak
dipraktikkan.
Sinergi Kesadaran
Menurut Dale F Eickleman dan James Pisctasori (Muslim
Politics, 1996), kegagalan perjuangan politik Islam
terutama disebabkan oleh tidak adanya kesesuaian
antara doktrin dan aksi politik. Hal itu umumnya
disebabkan oleh pertama, anggapan bahwa doktrin yang
berupa wahyu bersifat konseptual dan universal tanpa
perlu tafsir ulang. Hal itu tampak pada fenomena
penolakan mereka terhadap ide-ide Barat dan kengototan
untuk menerapkan syariat Islam secara formal.
Kedua, doktrin agama tidaklah menjadi faktor penentu
nomor satu dalam aksi politik. Artinya, meskipun Islam
menekankan pada musyawarah, egalitarianisme, keadilan
dan kesejahteraan rakyat, namun faktor ekonomi dan
sosial kadang lebih ditonjolkan oleh aktivis Islam
politik. Hal itu tampak pada pragmatisme dan
oportunisme politik yang banyak menjalar pada politisi
Islam.
Kritik Olivier Roy sesungguhnya ada yang relevan untuk
politik Islam Indonesia, yaitu adanya keengganan
kalangan politik Islam untuk membangun sumber daya
manusia, terutama lewat pengkajian ilmu pengetahuan
secara mendalam dan pengaturan manajemen yang efisien.
Selama ini, kekuatan politik Islam lebih banyak
dikerahkan pada aspek ideologis, simbolis, dan
kekuasaan yang bersifat semu dan sesaat. Politik Islam
Indonesia ke depan haruslah melakukan -meminjam
istilah Kuntowijoyo- objektifikasi terhadap praktik
perjuangan politiknya. Artinya, mereka yang bergerak
di level partai dan ormas keislaman seyogianya
memperjuangkan aspek-aspek substansi Islam,
memperbaiki pendidikan, memberantas KKN, dan bersifat
toleran terhadap umat agama lain demi melakukan
pembebasan kemanusiaan. Di samping itu, umat Islam
yang bergerak di jalur lain, hendaknya tidak apatis
dan mau melakukan sinergi positif dengan kelompok di
atas. Pola-pola oposisi biner seharusnya tidak lagi
dijadikan paradigma pandangan masyarakat Indonesia.
Akhirnya, dengan adanya realitas bahwa pemerintah
sekuler tidak mesti demokrat dan pemerintah Islam
(baca: Islam politik) tidak mesti radikal, maka
kesalahan berpikir dengan kesukaan menggeneralisasi
permasalahan (fallancy of dramatic instance) tidak
layak lagi dijadikan sandaran. Bangsa Indonesia
sekarang sudah selayaknya tidak hanya terjebak pada
simbol-simbol politik yang ada, entah sosialis,
nasionalis, maupun agamis. Yang dibutuhkan sekarang
adalah pemerintah yang cerdik melakukan prioritas
tindakan dan kebijakan politik demi demokratisasi.
Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai
beretorika dan mengelabui massa dengan mengedepankan
ideologi tertentu. Krisis politik, ekonomi, hukum,
moral, dan budaya Indonesia sudah waktunya
diselesaikan bersama tanpa terjebak pada simbol warna
golongan dan ideologi. Wallahu A'lam.
Penulis adalah pengamat masalah sosial keagamaan,
kader muda Muhammadiyah.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com