[Nusantara] Krisis Angsuran Utang
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 03:00:33 2002
Krisis Angsuran Utang
Oleh Nana Suryana
Boleh ditanyakan, tak ada satu negara pun yang sudi
berutang. Apalagi sampai harus merubuhkan harga diri
bangsa dan menyengsarakan rakyatnya. Berutang adalah
sebuah keterpaksaan.
Barangkali, karena takdir Tuhan, hingga suatu negara
harus menerima dua belenggu, kemiskinan dan
keterbelakangan. Demi menjaga survival-nya, sepanjang
hayatnya, terpaksa harus bergumul dengan utang.
Tragisnya, utang itu kian hari kian menggunung, hingga
untuk membayar angsuran dan bunganya saja, cukup bikin
"klenger" anggaran pembangunan.
Krisis angsuran utang, memang telah menjadi gejala
umum dan merupakan krisis utama pada sebagian besar
negara dunia ketiga. Tidak heran, jika banyak negara
berkembang dihadapkan pada kesulitan serius, akibat
direcoki cicilan pokok dan bunga utang. Neraca
pembayaran seringkali harus "kurus kering" atau
penyakitan. Hasil kemampuan ekspor banyak yang ludes
untuk membayar bunga utang. Rezeki minyak harus rela
menguap demi menutup cicilan pokok. Bahkan, tak jarang
BUMN pun terpaksa dijual satu per satu.
Akibat utang yang "menggila" dan tanpa kendali,
beberapa negara pengutang seperti di Afrika Hitam dan
Amerika Selatan, harus dibarengi pula oleh
kesengsaraan sosial yang dalam. Dampak lanjutannya?
Rakyat pada negara dunia ketiga harus dipaksa "nrimo"
hidup seadanya. Pegawai pemerintah sepertinya
"diharamkan" naik gaji, kematian akibat krisis gizi di
mana-mana, krisis moral kian bermunculan. Penderitaan
pun tak mau enyah, karena terlanjur akrab dengan
kemelaratan.
Namun begitu, bagi kita, ada cara khusus guna
mengatasi kemelut utang luar negerinya. Disamping
melalui kebijakan ekstra hati-hati melalui pinjaman
bersyarat lunak (terutama pinjaman bunga kecil seperti
ADB dan Bank Dunia). Juga penggunaannya diarahkan pada
sektor-sektor produktif. Misalnya, yang berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
ekspor non migas serta meningkatkan arus investasi.
Bahkan pembayaran tepat waktu telah menjadi kebijakan
"ekstra" .
Melalui pinjaman prioritas seperti itu, memang cukup
membantu meringankan cicilan utang dan bunganya.
Namun, upaya ini belum cukup. Kalangan dunia usaha
tampaknya harus pula memberi kontribusi dan komitmen
nyata. Bukan malah turut membebani pemerintah,
ikut-ikutan melepaskan hobinya dalam berutang.
Kalangan dunia usaha, sudah saatnya, lebih realistis
dalam berbisnis dan berutang.
Utang Indonesia
Berapa sesunguhnya utang luar negeri kita? Tak tahu
persis, pokoknya gede. Sebagai gambaran, menurut
keterangan Menteri Keuangan, Boediono, hingga tahun
2002, nilai utang luar negeri pemerintah telah
mencapai 62,02 miliar dolar AS. Terdiri dari utang
bilateral 26,01 miliar dolar AS, utang multilateral
20,51 miliar dolar AS, kredit ekspor 154,84 miliar
dolar AS, serta kredit komersial dan lain-lain 661,79
juta dolar AS.
Nilai utang luar negeri pemerintah itu, harus terpaksa
masuk ke dalam 10 negara yang memiliki utang terbesar
di dunia. Tidak hanya itu, namun juga cukup
mencengangkan. Karena cicilan utang beserta bunganya
kini mencapai 3,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 26,7
triliun, atau tiba-tiba sudah hampir setengah dari
biaya pengeluaran pembangunan yang direncanakan RAPBN
2003 sebesar Rp 60,1 triliun. Atau hampir sama dengan
defisit 1,3 % PDB dari RAPBN 2003 (sebelum revisi) Rp
26,3 triliun.
Akibat meningkatnya beban pembayaran utang lebih
tinggi dibanding dengan peningkatan ekspor barang dan
jasa, persoalannya menjadi berlanjut. Karena debt
service ratio (DSR) membengkak hingga di atas 30 %.
Sehingga, pemerintah pun harus kembali berjuang
menurunkannya menjadi sekitar 20-25 %.
Sebenarnya apabila tidak terjadi melemahnya nilai mata
uang dolar terhadap beberapa mata uang asing, posisi
utang Indonesia tidak akan sesulit sekarang. Tapi apa
mau dikata, dengan melemahnya nilai mata uang dolar AS
terhadap Yen Jepang, Mark Jerman dan Poundsterling
Inggris, kita pun terpaksa menerima akibatnya, karena
utang kita banyak juga dalam bentuk mata uang
tersebut.
Oleh karena itu, kita dapat memahami, mengapa rezeki
minyak yang kita dapatkan, lebih diarahkan untuk
membayar bunga dan cicilan utang luar negeri.
Sekalipun harus disambut "dingin" masyarakat, terutama
pegawai negeri papan bawah, karena gaji sulit naik dan
tak pernah cukup untuk biaya hidup keseharian.
Masalah Bersama
Apa pun yang telah diputuskan pemerintah, agaknya,
kita patut menerimanya dengan lapang dada. Kalau toh
itu ditujukan untuk kebaikan bersama, maka seyogyanya
kita turut mendukungnya. Barangkali harapan masyarakat
selanjutnya, agar pendayagunaan dana pinjaman luar
negeri dan rezeki minyak itu, benar-benar dimanfaatkan
secara proporsional. Dalam arti, pinjaman luar negeri
itu jangan dianggap sebagai rezeki, sehingga digunakan
untuk proyek fiktif atau mark-up, seperti yang terjadi
di Sulawesi dan Sumatera. Akibatnya, ADB dan Bank
Dunia dalam tahun ini tak sudi memberikan bantuan
lagi.
Jangan sampai pula digunakan untuk sasaran-sasaran
yang kurang jelas atau yang sifatnya memperlebar
jurang kaya-miskin dan kecemburuan sosial. Misalnya,
digunakan untuk proyek-proyek mercusuar, yang sering
disebut pula sebagai prestige project (demi gengsi),
sehingga kurang berdampak pada pemerataan dan keadilan
bagi masyarakat. "Daripada membangun sebuah rumah
sakit sangat mewah di sebuah kota, lebih baik
membangun ratusan puskesmas di desa-desa," begitu kata
orang kampus.
Membayar utang memang sudah menjadi kewajiban.
Disamping akan menyangkut citra Indonesia di mata
Internasionl, juga untuk lebih meningkatkan
kredibilitas, terutama dari lembaga atau negara
pemberi pinjaman.
Sikap Indonesia untuk senantiasa tepat waktu dalam
membayar cicilan dan bunganya, telah dirasakan
hasilnya. Sehingga banyak negara pemberi pinjaman
(donee) dan lembaga keuangan, masih tetap menaruh
perhatian dan memiliki keinginan baik guna membantu
kesulitan-kesultan dana pembangunan. Forum Konsultasi
Negara dan Lembaga Kreditur untuk Indonesia (CGI,
Consultative Group on Indonesia) merupakan salah
satunya yang sangat membantu Indonesia.
Sidang CGI Ke-12 yang sedianya dilaksanakan di
Yogyakarta, namun akibat insiden Bali harus ditunda
hingga awal tahun depan, diharapkan dapat membantu
kesulitan Indonesia 3 miliar dolar AS. Walaupun
mungkin dengan prasyarat harus mampu menjawab beberapa
pertanyaan yang diajukan, seperti soal UU Anti
Korupsi, BLBI, dan RAPBN 2003 yang lebih bermuara pada
LoI-IMF.
Namun demikian, itu pun bukan berarti, bahwa kita
harus terus menerus dibelaskasihani negara lain.
Misalnya, dengan terus menerus melakukan negosiasi,
memohon bantuan keringanan atau pengampunan utang.
Agaknya, kita telah sepakat, bahwa harga diri kita
sebagai suatu bangsa terlalu mahal untuk ditebus
dengan rengekan "pengampunan" yang tak berkesudahan.
Mengapa? Karena kita harus percaya, dan
seyakin-yakinnya akan kemampuan sendiri untuk memikul
tanggung jawab itu sebaik-baiknya. Sekalipun, dalam
pelaksanaannya harus dibayar mahal dengan keprihatinan
seluruh masyarakat Indonesia.
Kita memang tak perlu menutup mata terhadap upaya
gencar pemerintah dalam mengatasi kemelut utang dan
kesulitan ekonomi yang bertubi-tubi. Ini dilakukan
pemerintah bukan semata-mata untuk menjamah titik
soalnya. Namun juga untuk memenuhi amanat GBHN, bahwa
pinjaman luar negeri sebagai unsur pelengkap dana
pembangunan dapat diterima sepanjang tidak ada ikatan
politik, syarat-syaratnya tidak memberatkan serta
dalam batas kemampuan untuk membayar kembali. Selain
itu, penggunaannya diarahkan pada proyek yang diberi
prioritas, produktif dan bermanfaat bagi masyarakat
dan negara.
Sekalipun untuk memenuhi amanat GBHN itu memang cukup
berat, hasilnya pun tak cukup dikatakan
menggembirakan. Pembangunan memang masih tetap
berlanjut, namun stabilitas ekonomi belum terjaga
dengan baik. Walapupun pemerataan hasil pembangunan
dapat diperluas, namun kondisi neraca pembayaran tak
pernah lepas dari ancaman defisit. Bahkan dengan
menurunnya devisa dari ekspor nonmigas (termasuk
pariwisata) paska tragedi Pulau Dewata, mengakibatkan
cadangan devisa menjadi riskan dan rapuh. Dan,
terpenting adalah pembayaran cicilan utang dan
bunganya yang kian hari dirasakan kian mencekik leher.
Beberapa upaya pemerintah, tentu perlu mendapat
dukungan para pelaku ekonomi nasional. Keberadaan para
pelaku ekonomi, baik BUMN, Koperasi maupun Swasta
Nasional, kiranya lebih mampu berperan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi, memperluas pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya, termasuk memperluas kesempatan
berusaha dan lapangan kerja.
Kesulitan ekonomi dan krisis angsuran utang, tampaknya
akan tetap menjadi bagian lengket dalam perjalanan
pembangunan kita. Namun demikian, betapapun sulitnya
keadaan yang dihadapi. Bagaimana pun jlimet-nya
masalah yang harus diatasi, kita harus tetap berdiri
tegar, realistis, optimis dan percaya diri, bahwa itu
semua dapat diperjuangkan dengan selamat.
Dalam hal soal utang-mengutang atau berjuang melawan
kesulitan ekonomi, mantan Presiden Soeharto jagonya.
Sepuluh tahun yang lalu dalam suatu pidatonya sempat
bertutur puitis. "Jalan yang kita tempuh tidak
selamanya lapang. Tidak sedikit bukit yang kita daki.
Banyak lembah yang kita turuni. Tak kurang sungai
telah diseberangi. Dalam perjalanan yang panjang dan
melelahkan itu, tubuh kita kadang terluka. Namun kita
tidak merasa lelah, karena kita adalah bangsa
pejuang," begitu tutur Soeharto. ***
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi,
alummus Fikom Unpad dan karyawan Telkom Bandung).
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com