[Nusantara] Berpihak pada Perikemanusiaan

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 03:00:55 2002


Berpihak pada Perikemanusiaan 

Oleh Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media
Indonesia 

WAJAH di tayangan televisi itu tampak apik, cerah, dan
ramah. Ada senyuman. Ada lambaian tangan. Itukah
penampilan orang yang bisa dihadang hukuman mati? Yang
disangka terlibat dalam aksi pembunuhan besar-besaran
yang menggemparkan? Penonton bertanya-tanya. Menteri
Luar Negeri Australia Alexander Downer tak habis pikir
dan terang-terangan menyatakan kecewa. Dia bertanya,
bagaimana perasaan keluarga para korban menyaksikan
interogasi yang disela canda dan tawa? Terkesan tidak
ada kesantunan. Yang tidak terpikirkan oleh banyak
orang, begitulah mungkin cara efektif untuk membuat
Amrozi bicara. Apalagi, sesuai keterangan Kapolri, itu
bukan interogasi. Itu untuk klarifikasi. 

Lain ladang, lain belalang. Untuk menggali kebenaran,
ada yang melakukannya dengan gertakan. Ada yang dengan
intimidasi. Ada yang dengan siksaan. Dalam hal
mendapatkan klarifikasi dari Amrozi, ada yang bilang,
itulah gaya Jawa Timur-an. Gaya pendekatan santai itu
telah membuat tersangka berkata apa adanya. Seperti
diberitakan harian ini, misalnya, kepada Kapolri
tersangka malahan balik bertanya, mengapa wajahnya
muncul dalam sketsa? Dia tidak hadir pada saat
peledakan. Dijawab, sketsa wajahnya dibuat dari apa
yang orang ketahui ketika dia membeli sepeda motor di
Bali. ''Wah, ternyata pinter juga polisi,'' Amrozi
sambil senyum menimpali. Komentarnya sembrono, di luar
kebiasaan yang dilakukan seorang tersangka. 

Menilai pribadi serta sikap dan perilaku teroris
tentulah tidak bisa memakai tolok ukur biasa. Apa yang
membuat Amrozi menjadi teroris murah senyum, kita
hanya bisa menerka. Ada orang yang menutupi
kegugupannya dengan tersenyum atau tertawa. Dia salah
satunya. Terlepas dari soal senyuman, Amrozi menjadi
teroris barangkali karena dia melihat ketidakadilan
yang kasatmata dan merasa menjadi korbannya. Selain
karena kebandelannya, bisa juga pendidikan formal dan
informalnya yang terbatas menyebabkan nalarnya tidak
jalan. Tidak mampu menjangkau nilai-nilai universal.
Atau mungkin dia memiliki ikatan batin yang kuat
dengan orang-orang yang dikaguminya, yang kebetulan
memiliki dan menyebarkan ideologi yang bersifat
menyimpang. Kecenderungannya, teroris umumnya lebih
asyik dengan emosinya daripada mendengarkan nurani dan
akalnya. 

Drama tentang Tragedi Bali masih akan berlangsung lama
dan masih akan menjadi buah bibir di mana-mana.
Kontroversi pun dengan liar menyebar. Yang
mengecewakan, ada suara-suara yang terkesan berpihak
justru kepada yang melakukan kekerasan. Dengan dalih
dan argumentasi yang terukur dan tertata ditinjau dari
segi hukum, ekonomi, politik, moral maupun
intelektual, yang bersifat nasional maupun
internasional, mereka tampaknya menafikan kenyataan
bahwa ledakan-ledakan kekerasan yang mencirikan awal
abad ke-21 ini tentunya bertentangan dengan
perikemanusiaan ataupun ajaran-ajaran agama. 

Dalam bincang-bincang antarteman diskusi belum lama
ini, ada yang mengatakan, alangkah baiknya apabila
para tokoh agama secara serempak memberikan fatwa yang
tegas-tegas menolak radikalisme dan terorisme dan
menunjukkan keberpihakan kepada perikemanusiaan.
Apabila fatwa macam ini diberikan berulang-ulang,
selain masyarakat dicerahkan, diharapkan secara
berangsur akan hapuslah kebiasaan sebagian pendakwah
yang gemar memilih tema-tema memuat hasutan, yang bisa
menjurus pada sikap radikal atau bahkan tindak
kekerasan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya
dengan Islam. 

Celetukan Gus Dur sekali-sekali yang mengesankan
keberpihakannya patut dipuji. Dalam ceramahnya di
Hamburg pertengahan minggu ini dia menegaskan, segala
bentuk aksi terorisme di Indonesia tidak ada
hubungannya dengan Islam. Pernyataan itu mengandung
arti, janganlah para perencana dan pelaku kekerasan
itu menggunakan Islam sebagai kuda tunggangan. 

Seandainya para pengacara pun tidak terlalu
menunjukkan antusiasme pembelaannya kepada mereka yang
dianggap bersalah menurut logika orang biasa, dapat
dipastikan sikap itu akan membantu menyejukkan
suasana. Lacurnya, mereka begitu gigih dengan
pembelaannya sehingga masyarakat menjadi gamang: mana
yang salah, mana yang benar. Ada kelompok atau
golongan masyarakat yang tidak mampu berpikir panjang.
Tidak terpikirkan bahwa yang benar menurut hukum,
belum tentu benar ditilik dari sisi kemanusiaan.
Begitu pun sebaliknya. Kegamangan ini bisa menumbuhkan
rasa ketidakpuasan. Dalam bentuk radikal,
ketidakpuasan akan mengganggu ketertiban. 

Sebenarnya yang juga banyak diharapkan bisa mencegah
merebaknya kekerasan di Indonesia adalah tokoh-tokoh
partai politik. Tetapi karena kekerasan-kekerasan
beberapa tahun terakhir ini menggunakan Islam sebagai
tunggangan, tokoh-tokoh partai yang biasa ribut dan
dinamis, dalam kaitan ini tiba-tiba menciut. Sekitar
87% penduduk Indonesia beragama Islam. Itu mungkin
alasan mereka bersikap hati-hati dalam pernyataan yang
menyangkut Islam, lebih-lebih menjelang 2004. Malahan
masih ada saja ucapan-ucapan yang menyangsikan aparat
yang ditugasi menyelesaikan perkara Tragedi Bali.
Alangkah idealnya seandainya mereka ini menggalang
kesatuan pendapat dan tindakan demi keamanan negeri
ini. Juga demi keberpihakan pada perikemanusiaan.*** 




=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com