[Nusantara] Indonesia di Peta Terorisme Global

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 03:01:08 2002


Indonesia di Peta Terorisme Global 

FENOMENA terorisme di Indonesia dilihat dari peta
gerakan terorisme global, sebenarnya tergolong baru.
Namun, guncangannya luar biasa, membuat Indonesia
kelimpungan. Sejauh ini, Indonesia hanya dilanda
teror, yang secara sosiologis dianggap lazim bagi
setiap bangsa di dunia. 

Bahkan, ada yang berpendapat, aksi teror seusia
sejarah peradaban manusia sendiri. Sedangkan terorisme
baru muncul jauh kemudian, sekitar abad ke-18. Namun,
ancaman terorisme berkembang semakin cepat dan
kompleks seiring dengan kemajuan peradaban dan
teknologi. 

Sebagai metode kekerasan, teror dan terorisme memang
dibedakan, meski sama-sama berasal dari istilah Latin:
terror/terrere, yang berarti membuat ketakutan
mendalam. Aksi teror bercorak spontan, tidak
terorganisasi rapi, dan cenderung bersifat perorangan.
Sebaliknya terorisme bersifat sistematis,
terorganisasi rapi, dan dilakukan sebuah organisasi
atau kelompok. 

Praktik teror sebenarnya termasuk salah satu ekspresi
watak dasar manusia yang ingin berkuasa, the will to
power. Manusia bisa menjadi serigala bagi yang lain,
homo homini lupus. 

Masih sulit diketahui persis kapan Indonesia mulai
terperangkap dalam jaringan terorisme. Namun, ada yang
berkeyakinan, peledakan bom Malam Natal 24 Desember
2000 merupakan indikasi awal kerja jaringan terorisme.
Keyakinan tentang kehadiran jaringan terorisme
internasional di Indonesia, semakin meningkat setelah
tragedi bom Bali 12 Oktober lalu. 

Perkembangan ini membuat orang menjadi masygul. Namun,
praktik kekerasan yang bersifat kultural maupun
struktural yang berlangsung dari waktu ke waktu di
Indonesia, dianggap telah menjadi lahan subur bagi
kehadiran gerakan terorisme. Gelombang kekerasan
begitu runyam, bellum omnium contra omnes, perang oleh
semua melawan semua. Sungguh konyol, pelaku dan korban
kekerasan justru sesama warga bangsa sendiri. 

Kekerasan seolah terus dilembagakan, institutionalized
violence. Gelombang kerusuhan dan aksi kekerasan
mengalami eskalasi seperti terlihat dalam urutan kasus
Jalan Ketapang-Jakarta, Kupang-Nusa Tenggara Timur
(NTT), Ambon-Maluku, Poso, dan sejumlah tempat di
Indonesia. 

Kemampuan mengelola konflik di kalangan bangsa
Indonesia terlihat memudar pula. Orang begitu
sensitif, mudah dihasut, cepat mengamuk, dan gampang
termakan isu. Ada kecenderungan bergerak liar, seolah
tidak ada aturan, tidak ada sopan santun, tidak ada
pemerintahan, tidak ada hukum, dan tidak ada sistem
nilai. 

Teror bukan terorisme 

Secara paralel, peristiwa teror juga meningkat. Aksi
teror berlangsung di pengadilan, dalam proses
pembebasan tanah, teror ninja, teror politik, hingga
aksi corat-coret di LBH Jakarta. 

Sejauh dilihat dampaknya, rangkaian kejadian itu lebih
menimbulkan sensasi bagi masyarakat luas ketimbang
ketakutan mencekam secara kolektif. 

Secara kualitatif pula, aksi pendudukan kaum militan
Republik Maluku Selatan (RMS) terhadap kantor-kantor
perwakilan RI di Belanda tahun 1970-an, masih berada
dalam koridor tindakan teror, bukan terorisme. 

Kualifikasi serupa tampaknya juga berlaku bagi tiga
kasus pembajakan pesawat di Indonesia. Aksi teror
udara paling dramatis menimpa pesawat DC-9 Woyla milik
Garuda Indonesia hari Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat
dengan nomor penerbangan GA-206 itu dibajak dalam
penerbangan dari Palembang ke Medan, dan kemudian
dipaksa mendarat di Penang, Malaysia, dan selanjutnya
ke Bandar Udara Don Muang Bangkok, Thailand. 

Sebelum kasus pembajakan pesawat Woyla, dua kasus
serupa pernah mengguncang dunia penerbangan Indonesia,
tetapi pesawat-pesawat itu tidak dipaksa terbang ke
luar negeri. Pembajakan pertama menimpa pesawat
Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines
tanggal 4 April 1971 dalam penerbangan dari Surabaya
ke Jakarta. Drama ini berakhir dengan tewasnya
pembajak oleh tembakan. 

Sekitar 5,5 tahun kemudian, pembajakan udara terjadi
lagi. 

Pesawat DC-9 Garuda dibajak seorang diri yang
diidentifikasi sebagai Triyudo (27 tahun). Dengan
sebilah badik, karyawan sipil honorer TNI-AU itu mulai
beraksi dengan menyandera seorang pramugari dalam
penerbangan Surabaya-Jakarta tanggal 5 September 1977.


Rangkaian aksi pembajakan udara itu disebut teror
karena lebih dari sekadar tindakan kekerasan. Teror
atau terorisme tidak identik dengan kekerasan.
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is
the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi
tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. 

Tidak seperti perang, termasuk perang saudara, yang
bisa diramalkan dengan berbagai cara, aksi teror
justru berlangsung tiba-tiba dan di luar dugaan. 

Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase.
Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung,
sedangkan terorisme tidak. 

Korban tindakan terorisme sering orang tidak bersalah.
Kaum teroris hanya ingin menciptakan sensasi agar
masyarakat luas memperhatikan perjuangan mereka. 

Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang
motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula
dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup
mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem
loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi
pihak lain, terutama penguasa. 

Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang
menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru
suka mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka
ingin menarik perhatian masyarakat luas dan
memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan
perjuangannya. 

Namun, belakangan, kaum teroris tidak suka mengklaim
tindakannya. Kaum teroris tutup mulut mungkin karena
juga melakukan praktik mafia dalam upaya mengumpulkan
dana bagi kegiatannya. Kaum teroris semakin
membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya. 

Munculnya terorisme 

Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer
abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah
baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political
Terrorism (1982), manifestasi terorisme sistematis
belum muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru
mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen
kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798,
terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror. 

Istilah itu lebih merefleksikan perilaku Pemerintahan
Teror (Reign of Terror) yang berlangsung antara
tanggal 5 September 1793 sampai 27 Juli 1794.
Pemerintahan represif yang berdiri berdasarkan Dekrit
5 September 1793 itu bermaksud untuk menghukum dan
membunuh mereka yang melawan Revolusi Perancis (1789).


Titik balik perkembangan terorisme mulai muncul
pertengahan abad ke-19 di Rusia ketika muncul
organisasi Narodnaya Volya (Perjuangan Kita) pimpinan
Mikhail Bakunin. Semula organisasi yang dianggap
sebagai organisasi terorisme modern pertama ini
menentang Tsar, tetapi karena gagal menghancurkan
basis kekuasaan Tsar, lalu mengampanyekan anarki dan
konsep nihilisme. 

Dialektika perkembangan terorisme semakin menarik
karena terorisme yang semula digunakan untuk melawan
pemerintah dan negara, seperti dalam kasus Narodnaya
Volya, justru kemudian balik digunakan negara dan
penguasa untuk menindas masyarakat. 

Di pihak lain, organisasi terorisme telah bermunculan
di mana-mana di dunia, dengan pelbagai alasan.
Terorisme benar-benar menjadi gejala global. Gerakan
kelompok terdahulu sering kali memberi inspirasi bagi
pembentukan dan kegiatan kelompok yang lebih kemudian.


Bahkan, di kalangan kelompok terorisme itu terdapat
jalinan kerja sama. Richard Deacon dalam The Israeli
Secret Service menyatakan, Tentara Merah Jepang
(Sekigun) mendukung operasi gerilyawan Palestina
dengan tenaga personal. Tahun 1971, Sekigun mengirim
Nona Fusako Shigenobu, salah seorang perempuan yang
menjadi tokoh "Komisi Arab Sekigun." 

Secara kualitatif, terorisme sudah banyak berubah
dibandingkan dengan di masa lalu, terutama karena
kemajuan teknologi. Pembajakan pesawat yang menjadi
salah satu aktivitas teroris yang paling dramatis,
banyak sekali terjadi abad ke-20, lebih-lebih tahun
1960-an dan 1970-an. 

Tidaklah berlebihan kalau Grant Wardlaw menyatakan,
terorisme merupakan sebuah komoditas yang bisa
diekspor, terrorism is now an export industry. Memang,
terorisme ibarat industri yang bisa dikembangkan di
mana-mana. Tetapi industri itu, menurut Collin Wilson
dan Donald Seamen, sebagai the world's most sinister
growth industry, industri kekejaman dunia yang paling
berkembang. 

Sedangkan pelaku teror atau terorisme, menurut
analisis Anthony Storr, umumnya penderita psikopat
agresif. Gangguan psikologis yang parah membuat pelaku
aksi teror menjadi manusia yang kehilangan nurani,
bersikap kejam, agresif, sadistis, dan tanpa ampun.
Seluruh perasaan takut seolah dibunuh habis, termasuk
perasaan takut terhadap kematian atas dirinya sendiri,
apalagi kematian orang lain. 

Bahkan, pengamat masalah terorisme Uri Ra'anan dalam
buku Hydra of Carnage, International Linkages of
Terrorism (1986), mengingatkan kemungkinan kaum
teroris membikin bom nuklir yang bisa dibawa-bawa
dalam koper (suitcase nuclear bomb), atau bahan
ledakan nuklir sederhana yang bisa dipasang di jantung
sebuah kota dan meledakkannya. Benar-benar seram!
(Rikard Bagun) 



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com