[Nusantara] Kemajemukan: Dihargai dan Diapresiasi
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 03:01:12 2002
Kemajemukan: Dihargai dan Diapresiasi
Menghidupi dan menjalani kehidupan dalam sebuah negara
seperti Indonesia, kita tak bisa berbuat lain kecuali
menghidupi dan bahkan menikmati sebuah kemajemukan.
Sejak awal para pendiri bangsa ini menyadari benar
realitas seperti itu. Itulah sebabnya mengapa
Pancasila dijadikan dasar negara; dan bineka tunggal
ika menjadi sebuah semboyan yang acap dirujuk tatkala
kita menjelaskan tentang keberagaman bangsa ini.
Wajah Indonesia memang wajah yang menampilkan
kemajemukan dalam arti yang sesungguhnya.
Wilayah-wilayah di Tanah Air ini tak bisa lagi
mengklaim diri sebagai wilayah yang hanya dihuni oleh
satu kelompok saja, karena mobilitas penduduk telah
membuyarkan semua konsentrasi-konsentrasi kewilayahan
atau komunitas berdasarkan etnik, budaya dan agama. Di
Bali misalnya yang amat kental dengan tradisi Hindu,
tetap bisa hadir dan eksis agama-agama yang lain; di
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, Toraja
yang biasanya dikatakan sebagai "kantong-kantong
Kristen" hadir agama-agama lain.
Demikian juga di Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera
Barat, Jawa Barat yang dikenal sebagai daerah dengan
potensi Islam yang kuat, agama-agama non Islam juga
tetap hadir dan tumbuh di wilayah itu. Para penganut
berbagai agama itu bukan saja sekadar hadir dan tumbuh
di wilayah itu. Para penganut berbagai agama itu bukan
saja sekadar hadir, tetapi juga mampu mengembangkan
relasi harmonis di antara mereka.
Ke Indonesian, kebangsaan yang dibingkai oleh dasar
negara Pancasila telah memungkinkan umat dari berbagai
agama hidup berdampingan dengan damai, saling
menghormati dan menghargai satu sama lain. Kesadaran
tentang kemajemukan, sebab itu, harus terus-menerus
menjadi bagian integral dari degup kehidupan kita
sebagai bangsa.
Kata Kunci
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 memberikan
makna yang amat signifikan tentang kemajemukan. GBHN
Bab IV D Agama, butir 3 menegaskan bahwa arah
kebijakan bidang Agama adalah "meningkatkan dan
memantapkan kerukunan hidup antarumat beragama
sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan
saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui
dialog antarumat beragama dan pelaksanaan pendidikan
agama secara deskriptif yang tidak dogmatis untuk
tingkat perguruan tinggi.
"Istilah kemajemukan yang muncul dalam rumusan GBHN
1999 ini sudah seharusnya menjadi titik kesadaran baru
dan menjadi kata kunci yang perlu diimplementasikan
bagi pembangunan kehidupan beragama di Indonesia
menyongsong masa depan. Kesadaran dan penyadaran
tentang kemajemukan menjadi amat penting sehingga
sebuah format baru keberagaman yang bertumpu pada
realitas pluralitas, bisa dirajut dengan baik.
Jenderal (purn) Edi Sudradjat (1998) memberi
peringatan yang arif dalam konteks pluralisme
keagamaan di Indonesia ketika ia berkata: "Ikatan
sosial berupa agama tidak menutup kemungkinan untuk
berubah bentuk menjadi arogansi kelompok yang dapat
menciptakan disharmoni pada tingkat masyarakat.
Terutama dalam masyarakat yang bersifat plural seperti
Indonesia, fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat
harus diperlukan dengan cara-cara tertentu agar tidak
mengarahkan pemeluknya untuk mendominasi dan
menegaskan kelompok atau pemeluk agama lain".
Gereja-gereja menyadari benar, bahwa ia hadir dalam
masyarakat yang majemuk sekaligus juga di
tengah-tengah keragaman aliran gerejawi yang ada di
Indonesia. Dalam konteks seperti itu Gereja-gereja
berpartisipasi dan melayani dalam kehidupan bangsa
dengan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yaitu
kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persaudaraan,
perdamaian dan kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan
untuk dunia ini. Untuk mewujudkan hal itu
Gereja-gereja harus terus-menerus berjuang untuk
membarui, membangun dan mempersatukan diri dengan
mengupayakan kemandirian di bidang teologi, daya dan
dana.
Program pembangunan bertujuan menghadirkan masyarakat
industri modern yang adil, makmur, dan lestari
berdasarkan Pancasila. Usaha yang besar itu memerlukan
waktu puluhan tahun, tatkala ilmu dan teknologi akan
makin mempengaruhi kehidupan manusia. Masyarakat
industri modern yang dicita-citakan itu dihadapkan
pada bermacam-macam bahaya sebagai akibat masih adanya
jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin,
adanya ketidakadilan, kurangnya partisipasi rakyat,
kesenjangan antara pusat dan daerah, serta langkanya
kesempatan kerja.
Bahaya seperti itu akan mengakibatkan antara lain:
kegagalan total pembangunan; negara menjadi negara
industri modern tetapi militeristis dan totaliter yang
menghancurkan peradaban manusia; ketidakstabilan
politik dan terhentinya kehidupan ekonomi; kehancuran
lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi yang tidak
bertanggung jawab terhadap sumber-sumber daya alam dan
polusi.
Mencegah
Bangsa Indonesia berjuang untuk mencegah bahaya itu
dengan mengamalkan semua sila Pancasila secara
konsisten, serasi dan sebagai kesatuan yang utuh,
sehingga masyarakat industri modern yang adil, makmur
dan lestari tetap terwujud tanpa menafikan Pancasila
dan atau mengganti Pancasila dengan ideologi yang
lain.
Gereja-gereja di Indonesia dalam perspektif teologis
dan dilandasi tanggung jawab kepada bangsa dan negara,
berpartisipasi secara positif, kreatif dan realistis
dengan berjuang terus untuk mengamalkan secara
konsekuen dan konsisten semua sila dari Pancasila itu
dengan serasi dan seimbang. Gereja dan umat Kristen
Indonesia yang hidup di tengah-tengah realitas
kemajemukan harus mampu memainkan peran signifikan dan
kontributif bagi masyarakat bangsa dan negara.
Berdasarkan hal itu Gereja-gereja perlu mengembangkan
teologi kemajemukan, yang memberi tempat dan ruang
bagi kemajemukan denominasi Gereja, kemajemukan
agama-agama. Teologi itu dirakit dari bumi Indonesia
yang pluralis bukan Teologi Barat yang superior, yang
menafikan realitas empirik bumi Nusantara. Teologi
seperti ini amat memperhitungkan kejelataan,
apresiasif pada keragaman kultural, memberi ruang bagi
interaksi dengan berbagai potensi strategis dalam
masyarakat, memberi tempat pada pengembangan dialog
dan kerja sama dengan berbagai agama dan kepercayaan.
Gereja harus menjadi nabi bagi zamannya; yang mampu
bersikap kritis terhadap penyalahgunaan dan
penggumpalan kekuasaan, terhadap pelanggaran HAM,
terhadap pengerdilan harkat dan martabat manusia.
Gereja-gereja perlu memposisikan diri sebagai
institusi yang nonpartisan dan berdimensi universal.
Artinya Gereja tidak boleh menjadi sebuah lembaga yang
menyuarakan segelintir elite kepemimpinan. Gereja
tidak boleh mengidentifikasikan diri dengan kekuatan
partai politik apalagi menjadi corong dan instrumen
partai politik; bahkan partai politik Kristen
sekalipun.
Gereja perlu mendorong seluruh potensi bangsa untuk
mengapresiasikan kemajemukan; untuk memberi ruang bagi
keanekaragaman, untuk menanggalkan sikap primordial,
sektarian dan eksklusif. Di tengah realitas
kemajemukan itu Gereja hidup dengan penuh hikmat
terhadap orang luar, mempergunakan waktu yang ada dan
mengungkapkan kata-kata yang penuh kasih (Kol 4:5,6).
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com