[Nusantara] Hukum, Keadilan Dan Kemanusiaan

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Nov 22 09:00:46 2002


Hukum, Keadilan Dan Kemanusiaan 

Oleh Ismail Saleh Selasa, 

19 November 2002 

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "kembali pada
hukum, keadilan dan kemanusiaan" (back to law, justice
and humanity). Apa maksudnya, karena tidak ada lagi
hu-kum, keadilan dan rasa kemanusiaan di Indonesia?
Apa proses hukum yang berintikan keadilan sudah jauh
menyimpang dari keadilan dan kemanusiaan? 

Atau karena ikut-ikutan latah saja, dikaitkan dengan
ungkapan back to basic dan ada lagi back to nature?
Atau mungkin ada alasan lain untuk menunjukkan, bahwa
dalam proses peradilan dan penegakan hukum di
Indonesia tidak ada yang "kebal hukum", siapa pun
harus diperiksa "tanpa pandang bulu" termasuk "setan
gundul" dan tidak perlu takut pada
backing-backing-nya? 

Atau mungkin ada sebab-sebab lain, seperti pelecehan
terhadap lembaga peradilan? Apakah kondisi hukum dan
keadilan di Indonesia sudah sedemikian ruwet
semrawutnya seperti benang-benang kusut, semakin
dibenahi semakin kisut? Atau karena aparat penegak
hukum, tidak berhasil mengejar para pelaku tindak
pidana korupsi, ibarat sulitnya mengejar layang-layang
yang putus benangnya? (nututi layangan pedot). 

Dalam kehidupan kita sehari-hari memang sering
terdengar orang berkeluh kesah, bagaimana mungkin
keadilan dapat ditegakkan di negeri kita, kalau
seorang pencuri ayam dihukum berat, sedangkan seorang
koruptor yang merugikan negara hanya dihukum ringan
saja? 

"Di mana letak keadilannya?" 

Masyarakat kita pada umumnya sangat sederhana dalam
pola pikirnya, terutama dalam masyarakat adat yang
hanya mampu mengucapkan kalimat yang singkat saja,
yaitu nyuwun adil (minta keadilan). Bahkan mitos yang
pernah berkembang dan pernah kita dengar di masyarakat
adalah "kapan datangnya ratu adil". Itu menunjukkan
bahwa keadilan adalah sesuatu yang bersifat mendasar
dalam kehidupan seorang manusia dan karena itu pula
masalah yang juga paling mendasar ialah bagaimana
"ukuran keadilan" itu sendiri. 

Persoalan ini sudah berkembang sejak munculnya
ilmu-ilmu sosial, dan sampai sekarang masih terus
diperdebatkan orang. Karena itu ada yang beranggapan,
bahwa ukuran keadilan itu "subyektif" dan "relatif".
"Subyektif", karena ditentukan oleh manusia yang
mempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkin
memiliki kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena
bagi seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang
lain dirasakan sama sekali tidak adil. 

Bangsa Indonesia tetap memandang keadilan dan
norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai
sesuatu yang luhur dan suci, yang dapat memberi
ketentraman dan ketenangan lahir dan batin, karena
keadilan memang merupakan kepentingan utama dalam
kehidupan manusia. Karena itu dapat dimengerti,
apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau
ukuran keadilan. 

Memang ada bermacam-macam teori dan pandangan mengenai
hukum dan keadilan yang dapat kita pelajari, namun
pertanyaan praktis yang timbul adalah: Apakah anggota
masyarakat yang meminta keadilan mendapat perlakuan
dan pelayanan secara wajar oleh polisi, jaksa dan
hakim? Apakah polisi, jaksa dan hakim melayani anggota
masyarakat tersebut secara jujur dan tidak memihak?
Apakah proses penangkapan, penahanan, penyidikan
sampai pemeriksaan di pengadilan tidak menyimpang dari
asas praduga tidak bersalah dan perlindungan hak asasi
manusia? Apakah proses tersebut tetap berada pada
bingkai atau pigura hukum? Saya tidak menggunakan
istilah koridor hukum, walaupun istilah tersebut
sering dipakai beberapa pakar hukum. 

Koridor menurut tatabahasa artinya suatu lorong yang
menghubungkan gedung yang satu dengan yang lain.
Lorong tidak selalu lurus dan terang, tapi ada kalanya
berbelok-belok yang ujungnya gelap, tidak kelihatan
transparan. Kelakar sementara orang, jangan-jangan
prosesnya menjadi "Uud-45" (Ujung-ujungnya duit,
dikasih 4 minta 5). Keadilan pada hakekatnya merupakan
perasaan yang luhur yang tidak bisa diperoleh melalui
pembelian uang atau nilai kebendaan lainnya. 

Oleh karena itu apabila ada orang yang membeli
keadilan melalui uang atau menjual keadilan, langsung
saja perasaan kita tersinggung. Nurani kita tergores.
Dan, jika ini terjadi secara alamiah akan terjadi
perlawanan dalam kalbu kita. Para penegak hukum harus
lebih tanggap dan cekatan dalam menangani rasa
keadilan masyarakat. Kendati demikian, kita tidak
boleh menutup mata, bahwa proses penegakan keadilan
belum lagi sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan
kita. Itu terbukti dari masih adanya kejadian-kejadian
yang merusak citra keadilan, seperti masih adanya
perbuatan yang tercela dari beberapa hakim. Padahal
jabatan hakim adalah jabatan yang tidak mungkin dapat
dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya oleh
orang-orang yang amat terpilih saja. 

Di antara jabatan duniawi yang disebut secara terbatas
di dalam Kitab Suci, adalah hakim dan karena itu tidak
jauh dari maksud Kitab Suci, bahwa peradilan itu
dilaksanakan "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa." Para hakim juga sadar, bahwa berbagai ragam
cobaan dan godaan akan selalu menghadang mereka yang
akan mencoba mempengaruhi keteguhan imannya, dengan
antara lain mau menerima imbalan sesuatu. 

Apabila hal tersebut terjadi, maka putusan keadilan
yang diucapkan, adalah keadilan semu dan keadilan yang
tidak adil, karena didasarkan atas imbalan materi, dan
tidak didasarkan atas keyakinan terhadap salah atau
tidaknya seseorang. Martabat hakim akan jatuh di mata
para pencari keadilan, baik karena para hakim mau
menerima sesuatu malahan meminta sesuatu, ataupun
karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin
persidangan. 

Menegakkan keadilan dan kebenaran atas dasar imbalan
tertentu, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang
bersifat nista dan tidak layak dilakukan oleh seorang
hakim. Itulah sebabnya dalam pertemuan CGI di Jakarta
bulan November 2001, ditekankan perlunya segera
dilaksanakan program reformasi di sektor peradilan.
Dalam salah satu presentasi bahkan diungkapkan bahwa
75 % penduduk Indonesia berpendapat sektor peradilan
adalah sektor yang korup. 

Ada ungkapan yang berbunyi, What this country needs is
not more judges, but more judgment. Itulah sebabnya
mengapa penegakan hukum merupakan upaya menumbuhkan
dan menegakkan keadilan dalam ukuran obyektif dengan
alur pikir yang rasional. Jauh dari rasa emosional,
apalagi irasional, tidak berdasarkan akal yang sehat,
malahan berkesan akal-akalan. 

Mantan Hakim Agung Johansyah mengakui terkadang
terdapat inkonsistensi putusan di Mahkamah Agung
karena kelemahan administrasi dan banyaknya penafsiran
hukum untuk kasus yang berbeda tapi jenis perkara yang
sama. (Media Indonesia, 13 November 2002). 

Beban-beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan
dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan
masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan
keadilan, perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk
lebih memantapkan prinsip "kembali pada hukum,
keadilan dan kemanusiaan." 

*** 

(Penulis adalah mantan Jaksa Agung dan mantan Menteri
Kehakiman). 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com