[Nusantara] Bukti Ilmiah Penyidikan Bom Bali
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Nov 24 10:01:01 2002
Bukti Ilmiah Penyidikan Bom Bali
Oleh Marwan Mas
Kamis, 21 November 2002 Ketika polisi menangkap Amrozi
karena diduga terlibat peledakan bom Bali, banyak
kalangan menilai kalau polisi hanya mencari "kambing
hitam". Jangan-jangan polisi kembali salah tangkap
seperti sebelumnya yang menangkap orang sakit ingatan
sehingga dilepas kembali. Tapi melalui analisis ilmiah
(teknologi) polisi berkesimpulan bahwa Amrozi diduga
keras terlibat peledakan bom Bali.
Ternyata polisi mampu bekerja keras karena tempat
kejadian perkara (TKP) dibuat bicara melalui
penelitian dan analisis ilmiah (teknologi), sehingga
sampai pada kesimpulan menunjuk tersangkanya.
Penyidikan dimulai dari penelusuran mobil Mitzubisi
L-300 yang diduga dijadikan salah satu sarana
peledakan. Meskipun nomor rangka/mesin sebelumnya
telah dihapus oleh tersangka, tapi karena TKP diolah
secara teknologi sehingga mobil yang bersangkutan
dapat diungkap kembali nomor rangka/mesinnya.
Hasil penelusuran polisi menemukan petunjuk bahwa
mobil Mitzubisi L-300 itu telah enam kali berpindah
tangan, dan terakhir ada di tangan Amrozi. Hal ini pun
didukung oleh salah seorang saksi (tetangga Amrozi) di
Lamongan, bahwa mobil tersebut pernah diparkir di
depan rumah Amrozi sebelum peledakan bom Bali pada 12
Oktober 2002.
Akan tetapi, hasil penyidikan polisi sejauh ini tetap
saja menimbulkan keraguan sejumlah kalangan dalam
masyarakat dan sempat muncul statemen bahwa kalau
hasil itu hanyalah sekedar "rekayasa". Bahkan, ada
yang menuding kalau sebelumnya sudah diatur sesuai
pesanan negara tertentu. Fenomena ini menunjukkan
bahwa sebagian warga masyarakat masih "tidak percaya"
terhadap polisi.
Kesangsian warga masyarakat itu tidak boleh disalahkan
begitu saja, karena kinerja polisi selama ini masih
banyak yang tidak memenuhi harapan masyarakat. Dapat
dilihat pada penyidikan sejumlah kasus besar seperti
peledakan bom dan pembunuhan yang lebih banyak tidak
terungkap, menjadi salah satu alasan keraguan warga
masyarakat. Jikapun ada kasus besar yang terungkap,
kadang menimbulkan kontroversi karena tidak melalui
prosedur hukum yang benar sehingga polisi sering jadi
sasaran tembak praperadilan. Begitu kasus bom Bali
mulai diungkap yang sebetulnya dilakukan secara benar
karena melalui uji teknologi sampai menunjuk
tersangkanya, tapi orang masih saja banyak yang
meragukannya.
Lantas apa yang perlu dilakukan polisi agar warga
masyarakat percaya atas hasil penyidikan? Paling
tidak, ada tiga hal yang diharapkan jadi perhatian
polisi agar tidak terus dinilai miring. Pertama, tidak
begitu saja percaya pada semua keterangan Amrozi yang
begitu terus terang mengakui keterlibatannya. Polisi
harus mencari alat bukti lain yang mendukung pengakuan
Amrozi. Apalagi Amrozi juga terkesan ingin mengecilkan
perannya karena memiliki alibi kalau saat peledakan ia
ada di Lamongan.
Yang perlu ditelusuri adalah bukti bahwa Amrozi
sebelum peledakan betul-betul ada di Bali dan
melakukan kegiatan yang terkait dengan peledakan. Juga
mencari saksi yang mengetahui atau melihat Amrozi
pernah menyewa kamar sebelum peledakan. Memang betul
Amrozi mengakui tiga kali pindah penginapan sebelum
peledakan, bahkan serbuk hitam yang ditemukan dari
tempat terakhir ia menginap identik dengan unsur yang
terkandung pada bom yang diledakkan. Tapi, itu belum
cukup bila bukti keberadaan Amrozi di Bali sebelum
peledakan tidak ditemukan.
Kedua, untuk menemukan tersangka lain yang menurut
hasil penyidikan (keterangan Amrozi) masih ada enam
orang, polisi diharapkan melibatkan partisipasi warga
masyarakat dengan tidak menimbulkan kesan "angker"
dalam melakukan penggerebekan. Kendati polisi diberi
"kewenangan khusus" oleh Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu Antiterorisme) dalam
melakukan penyidikan bom Bali, tapi polisi tetap harus
memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kewenangan yang cukup luas itu tidak
digunakan secara serampangan karena bisa menimbulkan
antipati warga masyarakat.
Ketiga, polisi harus menemukan siapa "otak" di balik
tragedi itu untuk mengungkap jaringan terorisme di
Indonesia. Minimal berguna untuk menghambat kian
melebarnya aksi terorisme, karena bila otak peledakan
tidak ditemukan, tidak menutup kemungkinan kasus
serupa akan terus terjadi. Polisi tidak boleh terus
bergantung kepada Perpu Antiterorisme yang memberikan
"kewenangan khusus", karena Perpu itu sendiri
mengandung persoalan dalam pelaksanaannya. Tetap
dibutuhkan komitmen, kemampuan profesional yang
tinggi, jujur, transparan, dan tidak terpengaruh oleh
tekanan asing.
Kritikan atas Perpu Terlepas dari niat baik pemerintah
mengeluarkan Perpu Antiterorisme seperti untuk mengisi
kekosongan hukum, tapi Perpu itu tetap saja menyisakan
persoalan hukum. Salah satu yang banyak disorot oleh
berbagai kalangan adalah kekhawatiran bila diterapkan
seperti UU Subversi saat Orde Baru. Jangan sampai
diwujudkan sebagai pasal haatzaai artikelen atau
"pasal karet" yang bisa menangkap dan menahan orang
semaunya. Atau menafsirkan suatu perbuatan yang
kebetulan dilakoni seseorang untuk memperjuangkan
demokrasi, tapi digolongkan sebagai perbuatan teroris
karena desakan negara asing.
Ada dua hal mendasar pada materi Perpu yang perlu
dikritisi karena tidak sejalan dengan teori ilmu hukum
dan asas hukum yang berlaku. Pertama, terkait dengan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, bahwa Perpu berada di
bawah UU. Ketentuan Perpu tidak boleh meniadakan atau
bertentangan dengan ketentuan UU yang hierarkisnya
lebih tinggi daripada Perpu. Tapi beberapa ketentuan
Perpu bertentangan dengan UUD 1945, KUHP, dan KUHAP.
Salah satu pasal Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang tidak
sejalan dengan Pasal 184 KUHAP, adalah Pasal 26 ayat
(1) bahwa "laporan intelijen" dapat dijadikan "bukti
permulaan" untuk melakukan penyidikan. Padahal, Pasal
184 KUHAP hanya mengenal lima alat bukti, yaitu
"keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa".
Kendati laporan intelijen harus ditetapkan oleh
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri, tapi tetap saja
disangsikan kemampuan Ketua/ Wakil Ketua Pengadilan
Negeri menilai suatu laporan intelijen untuk dijadikan
dasar sebagai bukti permulaan yang cukup untuk
dilakukan tindakan penyidikan. Jangan sampai laporan
intelijen belum bernilai sebagai "alat bukti" yang
menunjukkan adanya bukti permulaan untuk dilakukan
penyidikan, tapi terlanjur ditetapkan oleh pengadilan
sebagai bukti untuk melakukan upaya paksa berupa
penangkapan atau penahanan. Apalagi, pemberlakuan
Perpu Antiterorisme bukan hanya pada tragedi Bali,
tapi juga berlaku pada aksi teror berikutnya.
Karena Perpu adalah peraturan yang lebih rendah dari
KUHAP, sehingga secara teoretis (hukum) Pasal 26 ayat
(1) Perpu Nomor 1/2002 harus diabaikan pemberlakuannya
karena menyalahi Pasal 184 KUHAP. Perpu Antiterorisme
juga tidak boleh digolongkan sebagai "aturan khusus"
karena syarat bagi "aturan khusus" harus sederajat
dengan aturan umum, sementara Perpu lebih rendah
hirarkisnya ketimbang UUD 1945 dan UU. Pasal 28-I UUD
1945 dan Pasal 1 ayat 1 KUHPidana sebagai aturan umum
lebih tinggi hirarkisnya ketimbang Perpu yang melarang
asas retroaktif. Olehnya itu, disayangkan kenapa
perumus Perpu tidak melihat itu sebagai hal yang dapat
melemahkan pemberlakuan Perpu dan merendahkan
efektivitasnya.
Kedua, Perpu Antiterorisme tidak sejalan dengan
prinsip supremasi hukum dan tertib hukum dalam negara
yang berdasar atas hukum, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (amandemen ketiga), bahwa
"Negara Indonesia adalah negara hukum." Bila ingin
konsisten pada supremasi hukum, maka pasal-pasal Perpu
Antiterorisme yang bermasalah karena bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, harus ditolak DPR
pada sidang berikutnya agar tidak mengacaukan sistem
hukum yang ada. Bukankah salah satu sasaran utama
gerakan reformasi ingin menegakkan supremasi hukum,
sehingga wajar bila DPR mengawal kehendak reformasi.
Akhirnya, karena Perpu Antiterorisme terlanjur
dikeluarkan, maka satu hal yang perlu diwaspadai
adalah bagaimana hasil penyidikan polisi betul-betul
mencari "kebenaran dan keadilan". Bukan "pembenaran"
atas intervensi negara tertentu untuk melindungi
kepentingannya dengan membelenggu gerakan
demokratisasi. Kepercayaan yang diberikan kepada
polisi yang mulai menyibak tabir peledakan bom Bali,
hendaknya terus dijaga dengan menghargai hak-hak
mendasar manusia (HAM). Bila tidak, polisi akan
kembali menghadapi "krisis kepercayaan" yang
sebetulnya sudah mulai menampakkan sisi positif.
*** (Marwan Mas SH MH adalah dosen Fakultas Hukum
Universitas 45 Makassar)
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com