[Nusantara] Menggugat Monopoli Tafsir Al-Qur'an Kitab Suci Manusia
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Nov 24 10:01:06 2002
Menggugat Monopoli Tafsir Al-Qur'an Kitab Suci Manusia
Oleh Nur Rofiah
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia...(al-Baqarah,
185). omen Nuzul Al-Qur'an adalah saat paling tepat
untuk merenungkan kembali makna kehadiran Al-Qur'an
dalam kehidupan manusia.
Terhitung sejak ayat pertama turun (tahun 10 sebelum
Hijrah), Al-Qur'an telah bergaul dengan manusia selama
kurang lebih 1.433 tahun. Sebagai pedoman hidup, tak
pelak asumsi-asumsi awal tentang Al-Qur'an turut
mewarnai dengan pekat sikap-sikap Muslim di berbagai
belahan dunia. Sebagaimana kitab samawi lainnya,
Al-Qur'an mengklaim diri sebagai petunjuk manusia di
sepanjang sejarah.
Klaim ini sesungguhnya menegaskan bahwa masyarakat
tertentu yang menjadi setting sejarah kehadirannya
hanyalah sebuah "sasaran antara" menuju sasaran
utamanya yaitu manusia secara umum. Atas dasar itu,
komitmen Kitab Suci sesungguhnya berada pada
nilai-nilai kemanusiaan hakiki, bukan nilai-nilai
kemanusiaan primordial. Karenanya, konsekuensi
kultural dari penggunaan bahasa Arab mesti dipahami
sebagai sarana, bukan substansi pesan Al-Qur'an.
Pada masa pewahyuan, perbedaan dua jenis komitmen ini
tidak begitu kentara. Bahkan komitmen kemanusiaan
hakiki itu menjadi aktual dan komunikatif justru
karena disampaikan dengan simbol-simbol primordial.
Tidaklah Kami utus seorang Rasul melainkan dengan
bahasa kaumnya (QS. Ibrahim: 4) adalah sebuah ayat
yang mengingatkan betapa pentingnya pembumian
prinsip-prinsip universal melalui budaya lokal. Karena
itu Asghar Ali Engineer mengingatkan perlunya
membedakan pe-san-pesan normatif dan kontekstual yang
dikandung Al-Qur'an.
Muslim Arab tidak begitu mengalami kesenjangan kedua
jenis pesan ini karena struktur budaya mereka dengan
Al-Qur'an relatif sama sehingga pesan kontekstual
Al-Qur'an secara otomatis kontekstual bagi masyarakat
Arab. Namun demikian perkembangan budaya dan teknologi
yang dialami masyarakat Arab pascaturunnya Al-Qur'an
tak jarang membawa Muslim modern Arab pada kegamangan
yang sama.
Karakteristik Problem penafsiran Al-Qur'an dalam
banyak hal berawal dari perkembangan karakteristik
Al-Qur'an modern. Pertama, Al-Qur'an hadir tidak
secara berangsur-angsur tapi sekaligus. Ketika orang
kafir mempermasalahkan kenapa tidak diturunkan
sekaligus, Al-Qur'an menegaskan alasannya agar Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami bacakan secara
tartil (QS. Al-Furqan: 32).
Graduasi ini memungkinkan Al-Qur'an merespons secara
langsung perkembangan yang dihadapi masyarakat selama
turunnya Al-Qur'an sehingga berdampak pada eratnya
ikatan emosional audiens Al-Qur'an baik yang menolak
maupun yang menerimanya. Sebaliknya ketika Al-Qur'an
datang sekaligus pada Muslim modern, maka Al-Qur'an
tidak lagi secara langsung merespons problem sosial
yang mereka hadapi sehingga petunjuk Al-Qur'an tidak
lagi bersifat instan.
Sementara itu persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
Muslim modern di berbagai belahan dunia sangat beragam
dan terus bertambah. Tak pelak Muslim seringkali
kesulitan dalam memperoleh petunjuk literal mengenai
sesuatu hal. Kedua, Al-Qur'an telah ada sebelum
mereka. Al-Qur'an menjadi bagian dari tradisi yang
cenderung dihayati secara taken for granted.
Penghayatan terhadap pesan Al-Qur'an cenderung
bersifat ritual dan kehilangan greget
transformatifnya.
Dimensi sosial syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji
yang begitu kentara pada saat munculnya menjadi kabur
ketika dihayati sebatas aktivitas ritual. Di samping
itu terobosan-terobosan dalam pemaknaan Al-Qur'an
menjadi sama tabunya dengan pelanggaran terhadap
tradisi. Muslim menjadi tidak terbiasa dengan
kemungkinan munculnya pemaknaan alternatif selain
pemaknaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Nasib pahit yang menimpa banyak pemikir Islam adalah
bukti otentik mengenai hal ini.
Ketiga, khusus bagi Muslim non Arab, Al-Qur'an tidak
menggunakan bahasa mereka. Perbedaan bahasa ini
melahirkan kesenjangan luar biasa. Al-Qur'an seakan
tidak bicara sepatah kata pun pada Muslim yang tidak
menguasai bahasa Arab. Budaya lokal yang mereka miliki
bukanlah budaya yang dipakai Al-Qur'an dalam mengemas
nilai-nilai kemanusiaan hakiki sehingga penerapan
pesan normatif Al-Qur'an dalam bingkai lokal mereka
tak jarang melahirkan benturan dengan pesan
kontekstual Al-Qur'an.
Terlebih ketika konteks kehidupan Muslim modern
semakin beragam. Perbedaan karakteristik tersebut pada
akhirnya menuntut kesadaran adanya relativitas
pemaknaan Al-Qur'an yang cukup tinggi. Al-Qur'an yang
sama telah melahirkan berjilid-jilid kitab tafsir dan
ribuan rumusan pemaknaan yang tak jarang bertentangan
satu sama lain. Produk penafsiran Al-Qur'an semakin
beragam ketika perspektif teologi dan politik ikut
bermain.
Ditambah lagi dengan munculnya beberapa metodologi
baru yang membuat aktivitas penafsiran Al-Qur'an
semakin semarak. Karena itu disadari atau tidak,
dihambat atau tidak, selama Al-Qur'an diyakini mampu
menjawab segala tantangan zaman, aktivitas penafsiran
sesungguhnya terus berlangsung. Beragamnya penafsiran
Al-Qur'an ini sudah barang tentu perlu disikapi dengan
kritis.
Perkembangan konteks sosial yang dihadapi Muslim
modern dapat berdampak pada dua hal yang berlawanan.
Di satu sisi hal ini menyebabkan penerapan petunjuk
literal Al-Qur'an seringkali justru bertentangan
dengan semangat awalnya. Konsep naskh-mnasukh dan
asbabun nuzul dalam banyak hal telah menunjukkan tidak
memadainya pemahaman literal Al-Qur'an. Penolakan
penerapan syariat Islam tak lain disebabkan
kekhawatiran adanya kecenderungan yang kuat untuk
memaknai teks-teks agama secara literal sehingga
komitmen syariat Islam bukan lagi pada nilai-nilai
kemanusiaan hakiki melainkan pada bunyi teks.
Di sisi lain, perkembangan konteks sosial Muslim
modern justru memungkinkan pemaknaan yang lebih
progresif. Klaim Kitab Suci manusia sepanjang masa,
dapat pula berarti bahwa simbol-simbol bahasa dalam
Al-Qur'an mempunyai potensi untuk dikembangkan secara
tak terbatas bagi kesejahteraan manusia. Dengan
beragam bakat, keahlian dan keterampilan di berbagai
disiplin ilmu, manusia dapat memperoleh kesan
masing-masing ketika berdialog dengan Tuhannya melalui
Al-Qur'an.
Bagi sastrawan, ayat kauniyyah (tentang alam semesta)
mungkin akan memberi kesan tingginya nilai bahasa
Al-Qur'an, tetapi ayat yang sama bisa memberikan
petunjuk yang lebih signifikan pada pembaca yang
menguasai disiplin kosmologi, biologi, matematika,
kimia, fisika, dan lain-lain. Asumsi Al-Qur'an hanya
sebagai Kitab Moral agaknya perlu dipertanyakan
kembali karena bisa jadi asumsi ini justru
mengkerdilkan potensi Al-Qur'an dalam memberikan
kontribusi pada perubahan yang terus terjadi sepanjang
kehidupan manusia.
Sebagai sebuah Kitab yang berasal dari Dzat Maha-Tahu,
Al-Qur'an tidak mustahil memiliki potensi yang jauh
lebih luas dalam kapasitasnya sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia. Persoalannya tinggal sejauhmana
manusia mampu menangkap makna simbol-simbol bahasa
Al-Qur'an yang tentu saja tergantung pada kapasitas
ilmu yang dimilikinya. Jika wacana Qur'ani yang muncul
ke permukaan selama ini hanya wacana moral, tentu saja
karena penafsiran Al-Qur'an selama ini dimonopoli
kelompok agamawan yang ladangnya adalah persoalan
moral.
Sayangnya kelompok agama pada umumnya tidak menguasai
perkembangan teknologi dan ilmu humaniora yang
sesungguhnya sangat diperlukan dalam perumusan
moralitas. Pada kasus aborsi misalnya, kelompok agama
cenderung segera mendefinisikannya sebagai pembunuhan
tanpa peduli pada fakta-fakta yang berkembang di dunia
kedokteran dan ilmu- ilmu sosial.
Sudah saatnya penafsiran Al-Qur'an dipahami sebagai
hak setiap manusia yang mempercayainya (beriman)
sebagai petunjuk. Demikian pula sudah saatnya Muslim
memandang ilmu-ilmu lain sama pentingnya dengan ilmu
agama dalam memproduksi makna Al-Qur'an. Jika
signifikansi Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
paralel dengan kontribusinya dalam menyelesaikan
persoalan manusia, maka memahami realitas kekinian
mereka dengan segala perkembangan mutakhirnya menjadi
syarat yang tak kalah pentingnya dalam penafsiran
Al-Qur'an.
Untuk itu kelompok agamawan mesti bekerja sama dengan
kelompok disiplin ilmu lain dalam mengembangkan wacana
Al-Qur'an. Disiplin ilmu agama tidak bisa sendirian
dalam menafsirkan Al-Qur'an jika wacana Al-Qur'an
ingin menyentuh persoalan kemanusiaan yang begitu
kompleks dan terus berkembang.
Wallahu a'lam!
Penulis adalah alumni Universitas Ankara, Turki;
Peneliti P3M Jakarta.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com