[Nusantara] Sumber Citra Negatif Indonesia

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Nov 24 10:01:16 2002


Sumber Citra Negatif Indonesia 

Oleh M. Jamiluddin Ritonga 

Tragedi Bali telah menambah citra buruk Indonesia di
luar negeri. Citra buruk itu merupakan akumulasi dari
banyaknya peristiwa berdarah yang terjadi di Tanah
Air, terutama sejak terjadi konflik antaretnis di
Kalimantan. Sejak itu, bangsa Indonesia dinilai oleh
masyarakat internasional sebagai bangsa kanibal, yang
gemar kekerasan dan tega ”memangsa” sesama bangsanya. 

Konflik antaretnis dan antaragama di Ambon serta
konflik antaragama di Poso yang menewaskan ribuan
nyawa manusia dan harta benda, semakin menambah
panjang daftar hitam tentang kebengisan dan kebuasan
anak bangsa ini. Belum lagi rentetan ledakan bom yang
terjadi di berbagai penjuru tanah air, yang kemudian
membuat sebagian warga dunia semakin yakin bahwa
perilaku sebagian anak bangsa ini memang sangat tidak
bermoral dan tidak beradab. 

Citra yang serbanegatif tentang Indonesia itu tentu
sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan
para guru di sekolah. Para guru begitu kerap
menceritakan tentang profil bangsa Indonesia yang
serbabaik dan karenanya patut di contoh oleh
bangsa-bangsa lain. Bangsa ini digambarkan sangat
agamis, toleran, sopan, ramah, penolong, beradab, dan
alergi dengan kekerasan. Semua yang digambarkan para
guru itu belakangan ini tentu sudah sulit ditemui di
negeri ini. Realitas yang menonjol dalam keseharian di
negeri ini justru sikap-sikap dan perilaku yang tidak
agamis, tidak toleran, tidak sopan, tidak ramah, tidak
penolong, dan tidak beradab. 

Realitas demikian yang terus-menerus mengemuka di
tanah air, sehingga bagi masyarakat internasional dan
bahkan bangsa sendiri sudah sangat sulit menerima dan
mengakui profil bangsa Indonesia seperti yang
digambarkan para guru itu. Kenapa? Kalau anak bangsa
ini mau jujur dan mau menggunakan akal sehat tentu
akan sulit untuk mengakui bahwa bangsa ini beradab.
Apalagi setelah kita menyaksikan di antara anak bangsa
tampak begitu bangga saat menenteng kepala manusia dan
mengaraknya dengan sepeda motor. Peristiwa memalukan
dan tidak beradab tersebut terjadi ketika sedang
berkecamuk konflik antaretnis di Kalimantan dan saat
isu dukun santet marak di Malang. 

Tragedi hitam yang dimuat media massa nasional dan
asing itu dengan sendirinya telah membentuk citra
negatip bangsa ini di mata masyarakat internasional.
Citra negatif itu semakin menguat di benak masyarakat
internasional seiring berlarut-larutnya konflik di
Ambon, Poso, dan Aceh. Khusus konflik di Ambon, yang
telah mene-waskan ribuan jiwa manusia dan kerugian
harta benda yang sudah tidak terhitung nilainya, tentu
semakin meyakinkan masyarakat internasional bahwa
bangsa Indonesia memang sangat tidak beradab. 

Melihat dengan begitu mudahnya sesama anak bangsa ini
saling membunuh, tentu semakin menguatkan penilaian
masyarakat internasional bahwa bangsa ini adalah
bangsa barbar. Lihat pula media massa nasional yang
berisi serba-bad news. Bangsa ini setiap hari dijejali
berita-berita yang berisi cacimaki di antara sesama
anak bangsa, khususnya sesama elitee. Para elitee
dalam mengeluarkan pernyataan tidak lagi mencerminkan
sebagai sosok yang agamis. Bahkan sopan santun yang
seharusnya dijunjung tinggi para elite tampak
diabaikan begitu saja. 

Begitu pula dalam hal toleransi, para elite bangsa ini
tampak hanya pandai dalam bicara tetapi nihil dalam
perilaku. Para elite negeri ini juga tidak
menggambarkan sebagai sosok penolong. Para elite
negeri ini hanya pandai berteriak pentingnya
memberdayakan wong cilik, namun hingga kini belum
terlihat tindakan nyata dari mereka. Buktinya, belum
pernah terdengar para elite baik perorangan maupun
melalui urun rembuk menyisihkan penghasilan mereka
untuk membantu memberdayakan wong cilik. Kalau pun
para elite berteriak pentingnya memberdayakan wong
cilik, itu hanyalah kampanye yang syarat dengan
kepentingan politik para elite itu sendiri. 

Kecenderungan para elite tidak toleran terhadap wong
cilik juga tergambar dari semakin ”menggilanya”
korupsi di negeri ini. Para elite tanpa punya rasa
malu menikmati hasil korupsi dengan berfoya-foya
bersama keluarga dan kelompoknya. Mereka memamerkan
hasil uang haram itu di tengah-tengah penderitaan
mayoritas anak bangsa ini. Perilaku para elite ini
kiranya setara dengan perilaku biadab yang dilakukan
orang-orang yang gemar membunuh nyawa manusia, karena
mereka tega menari-menari di atas penderitaan orang
lain atau di atas bangkai orang lain. 

Di antara para elite juga ada yang berpikir dan
berperilaku irasional. Ada elite yang bangga membelah
mati-matian elite lain yang sudah di vonis oleh hakim
tiga tahun. Meskipun belum ada putusan pengadilan yang
tetap, namun pembelaan yang berlebihan itu memberikan
kesan kuat bahwa masih banyak elite negeri ini yang
berpikir kontra logika Pola pikir itu pula yang
dipertontonkan menteri agama ketika melakukan
penggalian harta karun di Istana Batu Tulis, Bogor.
Sang menteri tanpa malu menjelaskan bahwa penggalian
harta karun itu untuk menutupi kekurangan anggaran
pembangunan dan belanja negara. 

Celakanya, perilaku buruk yang kerap dipertontonkan
para elite itu diikuti pula oleh anak bangsa yang non
elite. Dengan iming-iming uang Rp 20.000 saja,
sebagian di antara anak bangsa ini mau melakukan
demonstrasi dan melontarkan kata-kata yang bernada
kasar. Dengan imbalan seadanya mereka rela mencacimaki
orang lain, dan tidak jarang hingga baku hantam.
Padahal mereka tidak mengetahui maksud dari demo yang
dilakukan. Mereka melakukan semua itu hanya berdasakan
pesan dari pihak sponsor. Anehnya, mereka sendiri
tidak mengetahui siapa yang menjadi pihak sponsor dari
demonstrasi yang mereka lakukan. 

Gambaran tersebut kiranya lebih memperjelas bahwa
citra buruk Indonesia di luar negeri pada dasarnya
akibat ulah atau sikap dan perilaku anak bangsa ini
sendiri, bukan karena hasil rekayasa orang asing.
Sikap dan perilaku anak bangsa ini yang terkesan gemar
membunuh, mencacimaki, dan korupsi, telah memberi
kontribusi besar dalam membentuk citra seperti itu.
Karena itu, tentu sangat irrasional dan memalukan bila
sebagian anak bangsa ini ”kebakaran jenggot” manakala
orang asing atau masyarakat internasional menilai
bangsa dan negara Indonesia serba negatif. Apalagi
kemarahan anak bangsa ini diembel-embeli dengan
argumentasi demi harga diri bangsa, demi nasionalisme,
demi patriotisme, dan demi-demi lainnya. Semua
demi-demi itu justru menunjukkan kita sebagai bangsa
yang kerdil, bangsa yang tidak toleran terhadap
kritik, bangsa yang merasa paling baik dan benar
seperti layaknya malaikat. 

Sangat lucu pula bila ada anak bangsa ini yang
mengkritik bangsanya sendiri lantas di cap tidak
mempunyai rasa nasionalisme. Bahkan anak bangsa
seperti itu kerap dituduh sebagai antek-antek asing
yang ingin menggadaikan negaranya demi recehan dolar.
Semua tuduhan itu lagi-lagi menggambarkan bahwa kita
sebagai bangsa belumlah dewasa. Kita kerapkali belum
bisa menilai kritik dengan jernih,. Dalam menilai
kritik kita lebih banyak mengacu pada prasangka,
sehingga semua kritik dinilai secara negatip. 

Kalau masih seperti itu sikap dan perilaku anak bangsa
ini, maka akan sulit untuk merubah citra negatip
Indonesia di luar negeri. Tidak ada gunanya menyewa
konsultan public relations (PR) yang paling hebat
untuk merancang kampanye yang paling canggih tentang
Indonesia ke luar negeri bila anak bangsa ini masih
gemar berperilaku barbar, korupsi masih merajalela,
cacimaki masih berlanjut, hukum masih dapat dibeli,
dan tidak siap menerima kritik secara rasional.
Kampanye seperti itu selain hanya membuang uang, juga
sangat potensial terjadinya efek bumerang. Jadi, kalau
citra negatif Indonesia ingin cepat sirna di benak
masyarakat internasional, maka yang perlu dibenahi
terlebih dahulu adalah sikap dan perilaku barbar
bangsa ini. Saat berinteraksi kita harus dapat
menunjukkan sikap dan perilaku yang agamis, toleran,
sopan, ramah, penolong, beradab, dan anti kekerasan. 

Bila semua itu dapat kita wujudkan dalam perilaku
sehari-hari, maka hasilnya akan jauh lebih ampuh
daripada kampanye yang dirancang konsultan PR yang
paling canggih sekali pun. Selain lebih ampuh,
pengaruhnya juga dapat bertahan lama. Kiranya citra
positif seperti itu yang dibutuhkan Indonesia,
sehingga apa yang kerap diceritakan para guru di
sekolah benar adanya dan memang dapat dirasakan oleh
siapa saja yang berkunjung ke Indonesia. 

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi di pada beberapa
perguruan tinggi di Jakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus – Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com