[Nusantara] Mahalkah Membuhul Kembali 'Sapu Nyere Pegat Simpai'
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Nov 27 11:00:21 2002
Mahalkah Membuhul Kembali 'Sapu Nyere Pegat Simpai'
Membaca, melihat, mendengar, dari semua hal yang
berkeliaran di seputar kita, mengenai perjalanan
sebuah negeri bernama NKRI, jika ditimbang, terasa
sekali betapa carut-marutnya negeri tersebut. Sama
sekali tak ada sesuatu yang bisa dibanggakan, atau
didongengkan kepada anak cucu, untuk bekal hidupnya di
kemudian hari. Bisa karena memang sudah tak ada lagi
yang perlu diceritakan, atau karena anak cucu kita pun
sudah melihat sendiri kenyataan bangsanya ini. Tragis.
Pelan-pelan, mampir di telingaku, dari kamar sebelah,
sebuah lagu Sunda, yang sudah sangat lama, 'sapu nyere
pegat simpai'. Entah, apa benar tulisannya demikian,
tetapi tema yang diangkat oleh lagu tersebut adalah
sebuah perceraiberaian sebuah ikatan, yang
dilambangkan dengan sebuah sapu lidi, yang putus tali
pengikatnya. Sapu itu berserakan lidi-lidinya, dan tak
sanggup lagi menjalankan fungsi yang seharusnya
dijalankan.
Negeri ini pun, sudah ancur-ancuran, ibarat tema lagu
tadi. Negeri ini sudah kehilangan makna magisnya, yang
pada jamannya pernah mengikat segenap warga bangsa ini
menjadi sebuah kekuatan, yang mampu melahirkan sebuah
negara bernama NKRI. Sosok sapu lidi bernama NKRI itu
pulalah, yang secara perlahan tumbuh menjadi sebuah
bangsa yang cukup disegani, dihormati.
Salah satu pengikat sapu lidi bernama NKRI tersebut
adalah sirnanya sebuah kepercayaan, baik kepada
institusi yang seyogyanya menjadi mesin-mesin
penggerak kemajuan bangsa ini, maupun kepercayaan
kepada sesama warga bangsanya. Bahkan akhir-akhir ini
juga memunculkan fenomena baru, yaitu kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri.
Padahal, tanpa adanya kepercayaan tersebut jelas tak
mungkin ada persatuan. Dan tanpa persatuan, boleh aku
gunakan kata serapah, 'bull shit' untuk memperoleh
kembali kehormatan terhadap sapu lidi bernama NKRI
ini. Boro-boro suaranya akan didengar oleh
bangsa-bangsa dan negara lain, mengurus dirinya
sendiri saja sudah jauh dari becus.
Berbagai tulisan yang aku baca sudah banyak
menceritakan mengenai apa nian penyebab 'pegat
simpai'-nya tersebut. Kekecewaan Aceh, lebih mengemuka
karena distribusi pembagian rejeki yang tak indah,
ditambah dengan beraksinya para rambo melalui DOM saat
Soeharto berkuasa.
Hal serupa, pembagian rejeki yang tak adil, juga
menjadi penyebab, dan menimbulkan rasan-rasan, untuk
'memegat simpai'-kan kerukunan berbangsa dan
kesetiakawanan nasional NKRI, dan mencoba
berangan-angan, apakah tidak lebih baik mundur dari
perjamuan NKRI ini?
Memudarnya kepercayaan juga terjadi, bukan semata-mata
masalah kedaerahan tersebut, tetapi juga hilangnya
solidaritas warga bangsa ini, untuk bersama-sama
menerima ajakan guna memajukan bangsa ini. Sejumlah
lembaga birokrasi telah menjadikan rasa persatuan yang
semula ada, gotong royong, holopis kuntul baris,
justru menjadi ajang 'persatean'. Mereka enak saja
menikmati satenya, dan menusuk-nusuk rakyat seenak
perutnya. Tak hanya rasa sakit, namun juga kecewa.
Sindiran 'hilang kambing, kalau lapor polisi malah
hilang sapi' sedemikian mencuat dan terasa sekali.
Banyak pihak menyaksikan, untuk kasus-kasus seperti
itu, tak hanya pihak penjahat yang bakalan kurus
diperas, namun juga pihak korban. Belum lagi aparat
birokrasi lainnya. Main sogok, korupsi, sudah
merupakan bagian dari budaya sehari-hari. Coba, apa
yang bisa diharap dari seorang PNS nanti, jika untuk
bisa lolos saringan penerimaannya mesti menyogok
hampir 20 juta sendiri?
Penyakit tamak, rakus, yang amat berlebihan, sudah
menjadi ciri di lembaga-lembaga yang seharusnya
menjadi 'public service'. Jika urusan mau lancar, ya
mesti tersedia pelicin, dong, sudah menjadi seuatu
yang tak aneh lagi.
Akibatnya terasa sekali, hampir tak pernah ada program
yang bisa memperoleh simpati, dan mendorong dukungan
partisipatif. Bagaimana mau bener, jika masih begitu
banyak kelakuan-kelakuan 'jigo' seperti itu kita
jumpai.
Jika ada pemeo 'tak ada pesta yang tak usai', maka
rasanya, yang terjadi saat ini, adalah pesta yang tak
pernah usai, bahkan makin menggila. Rasa
curiga-mencurigai sudah sedemikian kental, sehingga
semakin banyak orang yang lebih suka mendengar sesuatu
yang hanya ingin ia dengarkan. Sesejuk apa pun Aa Gym
ingin mengajak menampilkan agama Islam yang sejuk,
tetapi tetap saja ada sesuatu yang mengganjal untuk
tak segera percaya. Mana ada, sih, yang begituan?
Ya, kita boleh marah terhadap tuduhan bahwa NKRI ini
adalah negeri barbar, ettapi rasanya, marah saja tetap
tidak menyelesaikan. Satu-satunya cara adalah dengan
mencoba mencari jalan, untuk mengembalikan 'sapu
nyere' yang sudah 'pegat simpai' ini menjadi terbuhul
kembali.
Caranya ?
Mari kita mulai dengan mencari persamaan-persamaan
yang ada di kita masing-masing. Bisa kelompok, bisa
agama, bisa daerah, atau yang lain. Kita upayakan
men-sinergi-kan persamaan-persamaan tersebut, menjadi
sebuah kepentingan bersama. Jika kita rajin, kita
sebenarnya masih menyimpan kekuatan dahsyat tersebut,
persamaan-persamaan dalam kebinekaan. Hal ini saya
percayai akan menghadirkan kepercayaan, jika dilakukan
melalui bukti-bukti nyata.
Aparat-aparat birokrasi, yang menjadi penyelenggara
kenegaraan harus juga mulai mengembalikan citranya.
TNI ya jangan lagi sok petentang-petenteng,
mentang-mentang berseragam dan bersenjata, lalu enak
saja main potong jalan, memintasi larangan, dengan
jumawa. Polisi harus lebih correct, bukan lagi polisi
yang hanya menghadirkan cibiran, yang biasanya hanya
menghadirkan deg-degan jika kita melihatnya.
Korupsi, juga demikian. Elite bangsa ini pun juga
harus memberi teladan, sebab pada merekalah kita
percayakan, akan ke mana nasib bangsa ini. Mereka
sudah memperoleh sebuah hak untuk tetap menjadi elit,
sesuatu yang sulit diraih oleh rakyat kecil, sehebat
dan seindah apa pun moral dan cita-cita rakyat kecil
tersebut.
Para ulama, panutan rohani, menduduki temat sangat
terhormat dan berarti bagi sebuah bangsa yang masih
menjunjung rasa Ketuhanannya ini. Dari mereka
diharpakn ketedyhan, bukan kata-kata kasar,
hardikan-hardikan, dan penafian-penafian terhadap
kelompok dan agama lain. Bukan tangan yang mengepal,
tetapi sekedar rangkulan, atau salaman saja, sudah
sangat cukup.
Bukankah semua upaya tersebut sebenarnya sangat
sederhana, dan murah? Tidak korupsi, apakah kita akan
kehilangan sesuatu dari diri kita? Gaji kita toh tidak
dipotong? Kehormatan kita pun semakin diapresiasi?
Tidak petentang-petenteng kan tetap memperoleh respek,
karena kualitas pekerjaan kita diakui?
Sesungguhnya memang tidak mahal, untuk mengikat
kembali persatuan warga bangsa ini. Yang harus
benar-benar dilakukan hanya kesediaan diri, untuk
menempatkan kepentingan warga bangsa, katimbang
kepentingan pribadi dan kelompok. Syiar agama justru
akan memperoleh kesempatannya yang baik, indah, dan
sangat ditunggu-tunggu, dibanding dengan suara-suara
keras, marah, yang malah menimbulkan kecurigaan
belaka.
Saya kira, biar lambat, kesepakatan untuk menjalin
kembali 'sapu nyere' agar tak lagi 'pegat simpai'
harus dilakukan. Bukan sekedar omongan. Mari kita
tebarkan sikap, ucapan, tindak-tanduk, yang
bebar-benar mencerminkan kedamaian dan kesejukan,
sebagai langkah awal mebuang sekat-sekat yang
menghalangi munculnya kembali kepercayaan. Senyum
adalah salah satunya.
(Tetapi, siapa akan menggubris ? Gigih itu siapa?)
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com