[Nusantara] Menjinakkan' Islam Radikal

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 26 08:34:50 2002


Bangsa Indonesia Mulai Kehilangan Nilai Solidaritas 
 
26-11-2002 @ 04:33 AM 
Dikirim oleh: Gigih Nusantara
Views:  
Menjinakkan' Islam Radikal 

Oleh : Laode Ida 

Kecurigaan Barat terhadap komunitas Islam tampaknya
semakin terekspresikan, bukan saja dengan cara-cara
terselubung, melainkan sudah lebih terbuka dengan
tidak segan-segan lagi menunjuk negara (pemerintah dan
masyarakat) Islam sebagai pihak yang menumbuhsuburkan
gerakan teroris. 

Kesimpulan seperti itu, setidaknya ditarik dari
analisis Alex Alexiev (seorang konsultan kebijakan
internasional yang banyak menulis tentang isu-isu
keamanan nasional AS) dalam The National Review (edisi
Oktober 2002) yang berjudul The End of an Alliance,
It's Time to Tell The House of Saudi Goodbye. 

Alexiev mensinyalir pemerintahan Wahabi di Arab Saudi
telah melakukan strategi infiltrasi di negara-negara
non-muslim (utamanya AS dan Eropa), dengan antara lain
mendonasi lembaga-lembaga pendidikan, membiayai
masjid-masjid, dan Islamic Center. Upaya-upaya
infiltrasi itu dilakukan juga melalui program khusus
dengan melakukan perubahan tabiat (converting)
terhadap black Americans di dalam penjara. Singkatnya,
secara keseluruhan program-program itu berimplikasi
pada penyebaran dan pembiayaan gerakan Islam radikal
di AS dan di dunia Barat pada umumnya. 

Sinyalemen Alexiev itu pada dasarnya merupakan
penegasan secara eksplisit dan agak bernada vulgar
dari pendapat Steven Amerson dalam bukunya American
Jihad, the Terrorists Living Among YS (Free Press, New
York, 2002). Amerson mengatakan pada dasarnya teroris
yang merupakan perwujudan nyata dari gerakan Islam
fundamentalis telah tinggal bersama orang-orang AS
dengan kegiatan yang terselubung (hidden activities).
Hanya saja Amerson tidak secara tegas menunjuk suatu
negara seperti halnya Alexiev, dan tidak secara tegas
membuat konklusi atau sebuah penyederhanaan dengan
menuduh 'atas nama' masyarakat Islam. 

Namun demikian keduanya telah berkontribusi besar
dalam mempengaruhi pola pikir orang-orang Barat yang
non-muslim; langsung atau tidak langsung, berimplikasi
negatif terhadap citra bangsa-bangsa yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Bahkan pada tingkat yang
lebih jauh bisa merupakan bagian dari 'politisasi'
untuk memarjinalisir komunitas Islam di tingkat
global. 

Akibatnya, adalah munculnya simplifikasi dalam melihat
sosok dan watak masyarakat Islam: menyeramkan karena
identik dengan kekerasan dan atau kebencian terhadap
dunia Barat yang non-muslim. Apalagi hampir setiap
hari media massa mengangkat berita-berita tentang
kekerasan dalam dunia Islam, termasuk di dalamnya
berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini, yang seolah-olah sudah
dipastikan bahwa itu dilakukan oleh jaringan
fundamentalis yang tumbuh subur di nusantara. 

Tetapi, sebenarnya kecurigaan berdasar ketidak tahuan
atau simplifikasi seperti itu akan segera berakhir
apabila orang-orang Barat yang awam Islam mau membaca
yang ditulis oleh Daniel Pipies yang berjudul Militant
Islam Reaches America (WW Norton & Company, New York,
2002). Pipes tidak membuat penyederhanaan, apalagi
menuduh secara langsung seperti Alexiev, dan juga pada
tingkat tertentu dilakukan oleh Amerson. Tidak juga
membuat generalisasi yakni berupa perang ideologi yang
bersifat global (clash of civilization) seperti Samuel
Huntington yang menyatakan bahwa ancaman pasca perang
dingin adalah konflik (perang) peradaban antara Barat
dan Islam. 

Pipes mencoba membuka mata orang-orang Barat untuk
secara benar memahami peta sosiologi masyarakat Islam
dalam kaitan dengan respon atau sikap mereka terhadap
peradaban Barat yang modern dan sekuler; seraya secara
baik memposisikan kelompok yang berpotensi teroris
karena wataknya yang defensif dan radikal. Singkatnya,
Pipes berusaha untuk jauh dari upaya mendramatisir
atau mempolitasi 'kekuatan Islam radikal' yang
seringkali digambarkan sebagai 'wajah Islam yang
sesungguhnya' itu. 

Islam ideologi 

Menurut Pipes, ada tiga respon utama umat Islam
terhadap Barat yang non-muslim beserta peradabannya.
Pertama, sekularisme, yang beranggapan bahwa
orang-orang (negara) Islam hanya bisa maju dengan cara
berusaha menyamai orang-orang Barat. Dengan kata lain,
kemajuan Barat bukanlah sesuatu yang haram dan harus
dihancurkan akibat suatu kecemburuan irasional yang
ideologis, melainkan sebuah tantangan untuk dikejar
sehingga masyarakat Islam bisa mencapai kesetaraan
dalam peradaban. Pada saat yang sama syariat tak
dijadikan sebagai ideologi koletif pada tingkat negara
melainkan lebih merupakan persoalan pribadi. 

Kedua, reformisme, yang beranggapan bahwa kemajuan
peradaban Barat pada dasarnya sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, hanya saja orang-orang Islam
sendiri yang salah arah sehingga tertinggal. Padahal
sebenarnya, menurut mereka, esensi modern science
yakni matematika yang sebelumnya al-jabar, merupakan
karya orang Islam. Hanya saja belakangan diambil alih
akibat kreativitas masyarakat Barat. Dengan kata lain,
tanggapan ini lebih merupakan otokritik terhadap diri
sendiri, sehingga oleh karena itu yang dilakukan
adalah kembali mendalami ilmu pengetahuan itu sendiri.


Ketiga, dan inilah yang merupakan kekuatan yang
berpotensi untuk membangun gerakan terorisme, adalah
fundamentalisme atau Islam militan, dengan tiga watak
utamanya: ketaatan terhadap hukum Islam yang sakral,
penolakan terhadap pengaruh Barat, dan kembali pada
kepercayaan terhadap Islam sebagai ideologi. Mereka
beranggapan bahwa banyak diantara peradaban Barat
modern (kebiasaan, filosofi, kelembagaan politik, dan
nilai-nilainya) bertentangan dengan cara-cara hidup
Islam. 

Untuk itu, gagasan utama yang dikembangkan adalah
kembali hidup secara utuh (living fully) sesuai dengan
syariat Islam tanpa kekecualian, karena hanya dengan
cara seperti itulah umat Islam dianggap akan kembali
pada kejayaan masa lalunya. Namun, pada saat yang
sama, mereka juga memerlukan teknologi modern yang
bisa menunjang perjuangan ideologi mereka dalam
mengkonfrontasi dominasi Barat. Makanya tidak heran di
antara mereka banyak yang terpelajar dan menguasai
ilmu dan teknologi canggih. Dengan kata lain, mereka
ini merupakan Islam ideologi bergaya modern
(modern-style ideology), di mana dengan kemampuan
canggih bergaya seperti itulah yang dikendalikan
dengan ideologi Islamis yang mengarahkan mereka untuk
melakukan berbagai aksi teror yang canggih. 

Pemetaan seperti itu, pada dasarnya juga bisa
menjelaskan kondisi Islam di Indonesia sekarang ini,
yang harus dipahami oleh semua pihak (termasuk para
pemimpin negara-negara non-mulim Barat) sebagai
kenyataan pluralisme, di mana varian dari setiap
kelompoknya bisa lebih rumit lagi untuk dipahami.
Kalau memasuki wilayah komunitas Islam lebih jauh,
maka akan sangat jelas telihat bahwa kelompok ketiga
jumlahnya sangat terbatas. 

Hanya saja karena kekuatan mereka dari segi jaringan
dan 'kenekatan' karena sebuah keyakinan atas kebenaran
dari ajaran yang dianutnya, secara psiko-sosial daya
tahannya akan sangat kuat. Apalagi pihak pemerintah
berupaya menjaga jarak, mencurigai dan atau tidak mau
mengakomodasi aspirasi politik mereka. Mereka semakin
liar di tengah label yang harus mereka terima. 

Apa yang mau dikatakan di sini adalah, pertama,
manajemen politik dalam masyarakat Islam sebenarnya
haruslah mencoba menciptakan kedekatan dengan semua
kelompok muslim, sehingga semua kekuatan bisa selalu
berinteraksi satu sama lain, dan kekuatan yang
berpotensi radikal bisa dijinakkan. Ini artinya, modal
sosial berupa kesolidan dan saling percaya (trust each
other) harus benar-benar diperhatikan dalam mengelola
masyarakat Islam yang plural sekarang ini. 

Dengan kata lain, kalau manajemen politik pemerintah
tidak seperti itu, maka sama halnya pemerintah turut
berjasa dalam mengembangkan masyarakat Islam ideologis
yang liar dan berpotensi melakukan 'penyimpangan' dari
ajaran agamanya. Ini juga sekaligus merupakan
kelemahan ulama yang tidak mentransformasi dirinya di
tengah dinamika dan progresivitas umatnya yang
melampaui watak tradisi yang dipahami oleh para ulama.


Kedua, generalisasi yang dilakukan untuk memvonis atau
memberi label terhadap Islam adalah merupakan suatu
kekeliruan yang cenderung sangat berbahaya. Apalagi
itu dilakukan mereka yang memiliki pengaruh luas dalam
kampanye di tingkat global, karena bisa mengarah pada
sikap diskriminasi terhadap suatu golongan, yang
merupakan bagian substansial dari pelanggaran HAM (hak
azasi manusia). 

Padahal, mereka dikenal sebagai pengembang gerakan
HAM, yang sudah pasti akan sangat berlawanan dengan
hakekat keberadaannya itu. Karena, generalisasi keliru
yang dibuatnya sendiri (dan atau yang mempengaruhinya)
terhadap eksitensi Islam, tanpa mau peduli dengan
kenyataan sosiologis yang eksis dalam intern
masyarakat Islam. 

Penulis adalah Direktur Pusat Studi Pengembangan
Kawasan (PSPK) Jakart
 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com