[Nusantara] Inklusivisme Politik
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:04 2002
Inklusivisme Politik
Oleh Mun'im A Sirry
SEJAK detik-detik awal setelah runtuhnya rezim
Soeharto, muncul antusiasme cukup luas terhadap
demokrasi. Banyak kalangan, jika tidak boleh dikatakan
seluruhnya, meyakini pandangan, demokrasi dan pemilu
akan menyediakan solusi bagi problem ekonomi dan
politik yang tengah menghantam negeri ini. Namun, kini
kita disadarkan, transisi demokrasi memang fase yang
sulit.
Kesulitan itu sebagian karena transisi demokrasi bukan
hanya menuntut perubahan dalam institusi-institusi
politik, tetapi juga perubahan dalam kultur politik.
Pada masyarakat di mana konsep kekuasaan dan
kepemimpinan mengakar kuat dalam keyakinan-keyakinan
keagamaan, seperti Indonesia, transformasi kultur
politik menuntut suatu refleksi teologis yang serius.
Pertarungan berbagai paham dan tafsir keagamaan
berlangsung secara terbuka, yang berimplikasi terhadap
perkembangan politik. Selama hampir empat dekade,
rezim otoritarian Orde Baru melakukan depolitisasi dan
domestikasi Islam. Kesarjanaan dan kesalehan personal
didorong sedemikian rupa, tetapi pada saat yang sama
wacana politik Islam dibatasi ketat.
Ironisnya, ekspansi pendidikan dan refleksi sebagian
sarjana Muslim tentang peran Islam dalam sistem dunia
modern ternyata punya kontribusi signifikan terhadap
perkembangan gerakan demokrasi yang muncul sebagai
kekuatan politik penting menyusul krisis ekonomi tahun
1997. Generasi baru sarjana Muslim, awalnya
dilokomotifi Nurcholish Madjid, mengembangkan basis
dan komitmen teologis guna menyokong demokrasi,
pluralisme agama, dan kultural.
Gelombang intelektualisme ini masuk ke doktrin dan
peradaban Islam untuk menguak wawasan keindonesiaan
dan kemodernan, termasuk soal relasi Islam dan negara.
Relasi Islam dan demokrasi Sejak bergulirnya reformasi
pada tahun 1998, secara tak terelakkan terjadi ledakan
partisipasi warga melalui mobilisasi retorika
Islamisme yang memunculkan Islam politik di Indonesia.
Geliat arus Islam politik begitu mengharu-biru,
sehingga seolah menafikan model perjuangan kultural
yang telah tumbuh sebelumnya. Lebih dari itu, retorika
Islamisme cenderung agresif dan mengesankan sebagai
suatu tafsir tunggal, termasuk menyangkut relasi Islam
dan negara. Padahal, setidaknya, ada tiga arus
pemikiran yang menganalisis hubungan antara agama dan
negara.
Pertama, analisis yang menyebutkan bahwa Islam tidak
bisa dipisahkan dari negara. Kendati keduanya
menempati ruang berbeda, Islam dan negara secara
organik saling terkait. Islam merepresentasi bukan
hanya agama, tetapi juga negara. Para pendukung pola
ini mengidentikkan Islam dengan D3, yakni din, dunya,
daulah (agama, dunia, negara). Dengan demikian,
pemimpin agama dan negara menikmati status yang sama,
meski peran mereka berbeda. Mereka sama-sama
bertanggung jawab mewujudkan pemerintahan yang baik.
Kedua, analisis yang meneguhkan, agama dan negara itu
terpisah, serta tak dapat dicampuradukkan. Ini
merupakan konsep dasar sekularisme, cara memahami dan
mengelola negara yang tipikal Barat. Namun, sebenarnya
filosofi ini punya basis dalam Islam; hanya tidak
sekuat di Barat. Model ini menekankan, seluruh urusan
publik harus diatur secara rasional dan sekuler,
sementara agama dianggap ada dalam domain privat.
Karena itu, agama tidak dapat ikut campur secara legal
atau formal dalam proses politik.
Ketiga, arus pemikiran yang cukup unik karena
menegaskan, agama dan negara saling tumpang tindih.
Biasanya, pemikiran semacam ini menjadi dasar
masyarakat Syi'ah. Bagi mereka, dalam kenyataannya
antara agama dan negara memang sulit dibedakan,
apalagi dipisahkan. Watak relasi Islam dan demokrasi
juga sama kontroversialnya.
Ada kalangan yang memandang Islam sebagai
anti-demokrasi, bahkan superior terhadap demokrasi.
Sebab, ajaran-ajaran agama diyakini bersifat Ilahiah
dan kebenaran final ada di tangan Tuhan seperti
terdapat dalam kitab-kitab suci, para Nabi, dan
pemimpin agama. Mereka tidak mengakui suara rakyat
(vox populi). Karena itu, bentuk pemerintahannya
bersifat teokratik dan dikelola oleh orang-orang agama
yang bertindak atas nama Tuhan.
Pandangan lain menyebutkan, meski Islam bersumber dari
Tuhan, namun ajarannya kompatibel dengan demokrasi.
Sejarah Nabi Muhammad SAW dan kandungan Al Quran penuh
praktik dan pesan doktrin yang menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi. Misalnya, akuntabilitas publik,
check and balances, dan prinsip-prinsip lain yang
menjadi fondasi demokrasi modern.
Pengalaman Indonesia merupakan contoh menarik tentang
kompatibilitas Islam dan demokrasi. Islam masuk
Indonesia melalui para saudagar asing, sehingga
tradisi dan budayanya banyak dipengaruhi suasana
dagang, seperti egalitarianisme, dinamisme,
entrepreneurship, dan bebas. Semua itu berpengaruh
terhadap ideologi dan praktik Islam secara signifikan.
Akibatnya, masyarakat Indonesia memiliki pandangan
yang cukup egalitarian, suatu unsur penting bagi
berfungsinya demokrasi.
Meski Islam adalah agama mayoritas, para pendiri
negeri ini sepakat-dan didukung masyarakat
luas-Republik Indonesia tidak akan menjadi negara
teokrasi. Sebaliknya, mereka bersepakat negara
Indonesia hendaknya berasaskan nilai-nilai
kepahlawanan, kemanusiaan, dan keagamaan sekaligus.
Tentu saja ini pilihan tepat mengingat Indonesia bukan
saja multi-etnik, tetapi juga multi-agama.
Kondisi prasyarat Pilihan itu berimplikasi pada
pengakuan bahwa perbedaan merupakan kondisi prasyarat
agar demokrasi berfungsi secara sukses. Kita mengakui
agama dan politik berbeda, namun kita juga meyakini
keduanya memiliki relasi fungsional yang akan membantu
menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).
Agama memainkan peran penting dalam domain privat,
sementara, urusan pemerintahan diatur menurut cara dan
institusi modern serta negara-negara demokratis di
seluruh dunia.
Dengan kata lain, Islam lebih mengedepankan dukungan
moral daripada sebagai ideologi negara. Hal itu bisa
dibuktikan sepanjang sejarah, Islam Indonesia berjuang
melawan kekuatan luar atau tiran-tiran yang memimpin
negeri ini, dan menjadi kekuatan pendobrak masyarakat
vis-a-vis pemerintahan yang zalim.
Menjamurnya organisasi-organisasi keagamaan yang punya
akar rumput pada tahun-tahun terakhir, membuktikan
betapa Islam sepenuhnya committed terhadap
pengembangan civil society. Memang, jauh panggang dari
api untuk mengatakan demokrasi telah berfungsi. Namun,
era reformasi jelas merupakan jendela kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.
Menjamurnya partai-partai politik mengindikasikan,
jalan menuju demokrasi telah terbuka, kendati kita
menyadari banyak rintangan tak terelakkan yang harus
dihadapi. Rintangan semacam itu ternyata juga dihadapi
tiap negara yang berusaha membangun masyarakat
demokratis. Persoalannya adalah bagaimana agar
munculnya retorika Islamisme atau kehadiran
partai-partai agama ini tidak menjadi penghambat
proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.
Ada kekhawatiran yang cukup beralasan, seperti
dikemukakan Mark R Woodward, guru besar politik Asia
Tenggara asal Arizona State University, munculnya
retorika Islamisme di Indonesia justru akan mendorong
eksklusivitas keberagamaan yang meruntuhkan
sendi-sendi demokrasi. Dalam bahasa Woodward," The
emergence of Islamist rhetoric and self-proclamed
jihads are the most troubling developments in the new
Indonesia" (SAIS Review, 2001).
Oleh karena itu, mutlak diperlukan inklusivisme
politik dan politics of tolerance yang memungkinkan
partai-partai politik bisa diakses semua orang tanpa
membedakan agama. Dalam konteks itu, agama hendaknya
tidak dijadikan variabel pembeda yang justru dapat
meruncingkan politik aliran. Agar dapat memberi sinar
pencerahan, agama perlu mengambil jarak dari politik.
Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan
keagamaan yang akan diterima sebagai suatu gerakan
politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan
berlindung di balik agama dan memangsa kehidupan
masyarakat, sebagaimana telah mereka lakukan. Sejak
dulu, para manipulator telah mempergunakan agama untuk
memperbudak manusia. Sementara agama mempunyai peran
penting sebagai kekuatan sosial dan moral. Arena
politik hendaknya menjadi ruang partai-partai politik.
Hal ini akan memungkinkan Islam berfungsi sebagai
kekuatan moral dan kontrol kekuasaan, serta menghindar
jangan sampai dijadikan alat perebutan kekuasaan.
Relasi antara negara dan agama di dunia Islam masih
akan terus dihadapkan pada sejumlah tantangan. Kita
harus menavigasi antara keduanya agar tidak terperosok
ke dalam sekularisme absolut atau fundamentalisme
ekstrem.
MUN'IM A SIRRY Peneliti Yayasan Paramadina
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com