[Nusantara] Globalisasi, Fundamentalisme dan Tuntutan Demokratisasi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Nov 28 05:36:10 2002


Globalisasi, Fundamentalisme dan Tuntutan
Demokratisasi 
Oleh Mh Nurul Huda 

Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial,
budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan
dinamika global. Kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial.
Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada
penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada
penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai,
identitas, dan kepentingan individu. 

Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya
memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan
kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta
prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern
hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi
institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir
dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai
demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi
manusia. Meski beberapa negara yang kurang memiliki
tradisi demokrasi menolak proses globalisasi ini,
namun demikian saat ini, seperti ditunjukkan
Huntington (1991), hampir tidak ada negara yang tidak
mendukung demokrasi sebagai sistem yang kurang lebih
ideal guna mengatur kehidupan masyarakat. 

Sayangnya, di tengah sambutan gegap gempita terhadap
proses demokratisasi, ada paradoks yang menyertai
perkembangan global ini, yaitu semakin terdegradasinya
kualitas demokrasi negara-negara di dunia. Paradoks
ini misalnya, dikemukakan Robert W McChesney (Rich
Media, Poor Democracy, 2000) bahwa kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi di satu sisi memberi
kemudahan bagi publik dalam mengakses informasi,
mengembangkan segenap potensinya serta tuntutan
perjuangan hidupnya, tapi di sisi lain, globalisasi
telah menjadi instrumen negara-negara industri maju
dan kekuatan elite minoritas pemilik modal guna
melakukan hegemoni dan dominasinya atas kehidupan
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. 

Dewasa ini, kekuatan kapitalisme global dan
perusahaan-perusahaan transnasional bergerak melampaui
batas-batas teritorial suatu negara guna melakukan
ekspansi ekonomi di berbagai pelosok dunia. Hal mana
pada level tertentu telah membawa implikasi makin
melemahnya posisi kekuatan ekonomi lokal. Dengan
demikian globalisasi juga mengarah pada penguasaan
ekonomi di tangan sekelompok kecil pemilik modal, dan
akhirnya menuju pada proses homogenisasi. Dalam
perspektif cultural studies, hegemoni ini tampak dalam
penciptaan pola hidup konsumeristik, dan pop culture,
yang memposisikan manusia sebagai objek distribusi
produksi belaka. Demokratisasi 

Meski demikian, yang menjadi titik penting arti
globalisasi adalah bahwa ia juga telah memungkinkan
tuntutan ke arah demokratisasi transnasional di
seluruh penjuru dunia makin meningkat. (Anthoni
Giddens, 2000). Tuntutan persamaan hak dan
kesejahteraan hidup, kesetaraan derajat, dan desakan
terbentuknya keseimbangan tatanan dunia yang lebih
adil kian kencang disuarakan. Globalisasi telah
membuat dunia makin terbuka, dan melahirkan aneka
tuntutan perluasan partisipasi dan pemberdayaan rakyat
yang lebih besar. Fenomena ini juga diiringi oleh
munculnya berbagai bentuk penegasan kembali
identitas-identitas komunal masyarakat. Adanya
tuntutan pengakuan atas identitas komunal dan hak
budaya lokal sekaligus membuktikan, ada resistensi
atas kecenderungan peminggiran, dominasi dan
homogenisasi global. 

Di antara bentuk artikulasi penegasan identitas tampak
paling radikal pada gerakan fundamentalisme agama yang
tengah marak akhir-akhir ini. Dengan demikian, hal ini
berarti bahwa kelahiran fundamentalisme agama secara
fenomenologis bukan an sich akibat dampak interpretasi
tekstual-skripturalistik atas dogma dan doktrin
keagamaan, melainkan juga akibat respons radikal atas
dinamika perkembangan global yang dominatif dan
eksploitatif dengan menggunakan agama sebagai basis
legitimasi. Prof Bassam Tibi (1998), seorang
intelektual Muslim Syria yang bermukim di Jerman,
menunjukkan bahwa fundamentalisme Islam adalah
perlawanan atas hegemoni peradaban Barat, yang
direpresentasikan oleh ketidakmampuan negara-bangsa
dalam menyelesaikan problem-problem ekonomi, budaya,
dan sosial politik. "Solusi Islam" bagi mereka adalah
antitesis dari tatanan Barat yang dianggap bobrok dan
amoral. 

Dengan demikian, makin jelas sekarang, bahwa lemahnya
posisi negara dalam percaturan ekonomi dan politik
global yang berakibat pada terabaikannya kesejahteraan
dan keadilan sosial, menjadi alasan sekaligus la- han
subur bangkitnya radikalisme agama. Pengalaman sejarah
memperlihatkan, tidak mudah mengeliminasi gerakan
fundamentalis agama, karena ia melegitimasi diri pada
kebenaran agama dan cita-cita memperbaiki
"demoralisasi" tatanan sosial. Sama halnya jika
membiarkan globalisasi lepas kendali serta menindas
budaya dan identitas lokal, maka gerakan penegasan
kembali identitas akan semakin tajam. 

Oleh karena itu, ada dua upaya kultural untuk
mengantisipasi dampak negatif perkembangan global ini.
Pertama, pribumisasi agama (Islam). Gagasan yang
pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid ini menjadi
demikian relevan dalam menghadapi fenomena bangkitnya
radikalisme agama dewasa ini. Ia merupakan gerakan
budaya yang mau meletakkan pemahaman keagamaan dalam
bingkai kultur dan budaya masyarakat. Agama dipahami
sebagai etika moral yang berakulturasi dan menyatu
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tanpa perlu
memformalkannya dalam hukum normatif. 

Tentu, gagasan ini tidak perlu meninggalkan
"otentisitas Islam", sebagaimana digembar-gemborkan
kalangan fundamentalis. Malahan otentisitas dalam arti
"nilai-nilai profetis" keagamaan justru mewarnai dan
melebur dalam ragam budaya masyarakat, tanpa "melukai"
adat istiadat yang mereka anut sebelumnya. Namun lebih
dari itu, gagasan pribumisasi Islam secara sosial
politik sesungguhnya adalah ruang di mana ekspresi
lokalitas memperoleh tempat semestinya dalam ruang
publik. Masyarakat diberi hak untuk menghayati
keberagamaannya secara historis sesuai dengan tradisi
dan kepentingan kulturalnya. 

Begitu pula kebudayaan tidak lantas menjadi
subordinasi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya
saling berdialog satu sama lain dan saling mengisi
membentuk lapis kebudayaan yang membebaskan dan lebih
emansipatoris. Pribumisasi Islam bukanlah suatu
radikalisme agama, apalagi suatu pendangkalan agama,
tapi kekuatan budaya masyarakat Islam yang bertolak
pada realitas sosio-kulturalnya. 

Kedua, dominasi kekuatan ekonomi global yang ikut
berperan pada proses degradasi demokrasi ini harus
diimbangi dengan penguatan civil society yang lebih
mapan dan mandiri. Pengertian otonomi masyarakat di
sini adalah, ia bukan hanya independen dari intervensi
negara, tapi juga mandiri dalam pengertian lepas dari
dominasi kekuatan paradigma serta nalar budaya dan
ekonomi sistem global yang eksploitatif, yang bercorak
kapitalistik. 

Pembangunan civil society diorientasikan pada
terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis dan
pluralis, di mana masyarakat berbagi norma-norma dan
nilai-nilai dasar dalam sebuah konsensus bersama yang
mempertemukan mereka dengan pihak lain berdasarkan
kemajemukan dan kesetaraan. 

Penting artinya bagi masyarakat sipil untuk
mengembangkan daya kekuatan sendiri guna
mengantisipasi fragmentasi kultural akibat derasnya
arus globalisasi. Hal ini dapat meningkatkan
solidaritas antarkelompok dalam mengembangkan
kreativitas usaha-usaha kemasyarakatan, sekaligus
karakter budaya dan kemandirian ekonominya. Hak Sosial
Akhirnya, mengutip ungkapan David Held dalam Democracy
and The Global Order: From the Modern State to
Cosmopolitan Governance (1995), bahwa otonomi
masyarakat hanya bisa dicapai melalui dua cara. 

Pertama, pengakuan atas hak asasi manusia yang
diperluas mencakup hak sosial, ekonomi dan budaya.
Kedua, adanya keterlibatan masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan yang tidak hanya dibatasi pada
institusi-institusi pemerintah, tapi diperlebar sampai
menyentuh institusi-institusi dan proses
sosial-ekonomi. 

Semua ini berarti menunjukkan, bahwa fenomena maraknya
gerakan fundamentalis agama, sebagai salah satu bentuk
ekspresi penegasan identitas komunal yang mengiringi
derasnya globalisasi, mengindikasikan makin besar pula
tuntutan "pedalaman demokrasi" dalam segala bidang
kehidupan. 

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF)
Driyarkara, Koordinator Kajian pada Forum Studi 164
Jakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com